Bab 25 - Menghadapi Ketakutan

1 0 0
                                    

Hari-hari berlalu dengan perasaan cemas yang semakin mendalam. Setiap langkah yang diambil, setiap sudut yang dilalui, terasa penuh dengan ancaman yang mengintai. Meskipun mereka berusaha untuk tetap melanjutkan rutinitas, perasaan waspada tidak pernah hilang, dan rasa takut itu semakin menguasai mereka.

Edo masih belum pulih sepenuhnya. Wajahnya masih tampak pucat, matanya kosong seolah-olah ia sedang berusaha melupakan sesuatu yang menghantuinya. Ketiga temannya, Davin, Bima, dan Raka, berusaha untuk terus mendukungnya, namun mereka juga tak bisa menghindari kenyataan bahwa mereka sendiri semakin terjebak dalam permainan ini.

Di ruang rumah sakit, mereka sedang duduk bersama, mencoba mencari solusi untuk mengatasi teror yang datang.

“Gue nggak bisa diem aja. Kita harus melakukan sesuatu,” ucap Davin, suaranya terdengar penuh tekad, meskipun perasaan cemas masih membayanginya.

Bima, yang sudah mulai kehabisan akal, menggelengkan kepala. “Tapi kita nggak tahu siapa yang kita hadapi. Kita nggak tahu apa tujuan mereka. Kalau kita salah langkah, kita malah makin terperosok.”

“Apa kita masih nggak sadar juga? Kita semua diincar oleh orang yang sama,” kata Raka, dengan suara yang penuh tekanan. “Apa kalian nggak merasa ada yang aneh? Semua ini terjadi setelah kejadian itu. Semua ini dimulai dengan Karel.”

Davin mengerutkan dahi. “Maksud lo?”

“Gue rasa, ada hubungan antara Karel dan semua ini,” ujar Raka dengan tegas. “Semua yang terjadi, semua ancaman, pasti ada kaitannya dengan dia. Mungkin keluarga Karel atau seseorang yang ingin membalas dendam.”

“Jadi lo yakin Karel masih hidup?” tanya Bima, matanya tajam menatap Raka.

Raka terdiam sejenak. “Mungkin bukan Karel yang melakukannya, tapi ada yang melibatkan dirinya. Mungkin orang ini tahu lebih banyak dari yang kita kira tentang Karel.”

Davin menggigit bibirnya, berpikir keras. “Tapi kita nggak bisa terus mengasumsikan itu. Kita harus cari bukti, cari tahu siapa orang di balik ini. Kita nggak bisa terus bersembunyi.”

Bima mengangguk setuju. “Tapi itu berarti kita harus siap menghadapi apapun yang terjadi.”

---

Sementara itu, di tempat yang jauh dari mereka, Rafael sedang merencanakan langkah selanjutnya. Ia duduk di kursi tua di ruang sempit yang penuh dengan gambar-gambar dan potongan koran yang menggambarkan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Di tangannya, ia menggenggam foto Karel yang telah lama menguning.

Rafael tak bisa menahan senyumnya. Semua ini sudah hampir selesai. Ia sudah mengatur semuanya dengan cermat. Teror terhadap Edo adalah langkah pertama, tetapi ada langkah besar yang sedang ia persiapkan.

“Semua akan berakhir segera,” katanya pelan, matanya menyipit penuh perhitungan.

Tiba-tiba, ponsel di meja berdering. Rafael memeriksa layar dan menemukan pesan singkat dari seseorang yang tak dikenalnya. “Mereka semakin curiga. Apa yang akan kita lakukan?”

Rafael tersenyum dingin dan mengetik balasan. “Lanjutkan rencana. Semua berjalan sesuai rencana.”

Setelah mengirim pesan, ia berdiri dan melihat ke luar jendela. Angin malam yang dingin berhembus, membawa ketenangan yang hanya sementara. Perasaannya semakin kuat, seakan kemenangan sudah di depan mata.

---

Keesokan harinya, Edo pulang ke rumah setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Ia merasa lelah, namun rasa takut itu masih terus mengikutinya. Setiap kali ia melangkah keluar, pikirannya kembali teringat pada suara yang pernah ia dengar di taman—suara tertawa yang menghantui dirinya, yang kini terasa lebih dekat dari sebelumnya.

Davin, Bima, dan Raka datang mengunjunginya di rumah. Mereka duduk bersama di ruang tamu, suasana tegang meliputi ruangan.

“Edo, kita harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Lo inget apa yang terjadi di taman itu?” tanya Davin dengan nada penuh harap.

Edo menggigit bibirnya, berusaha mengingat kejadian itu. “Gue ingat suara tertawa, dan seseorang yang bilang, ‘Lo pikir lo bisa lari?’ Gue... gue nggak tahu siapa dia.”

Raka mengernyit. “Tapi lo pasti merasa dia dekat banget kan? Seperti dia bisa mengontrol lo?”

Edo mengangguk pelan. “Iya, dan gue merasa kayak ada yang nggak beres. Semua ini berhubungan dengan Karel, kan? Semua kejadian ini terjadi setelah dia... Meninggal.”

Davin menatapnya dengan serius. “Lo merasa ada yang sengaja mengincar kita?”

“Pasti,” jawab Edo. “Ada yang menginginkan kita merasa takut, dan kita nggak bisa terus melawan tanpa tahu siapa mereka.”

Bima menekan pelipisnya. “Gue rasa kita harus cari tahu siapa yang ada di balik semua ini. Kalau kita terus menyelidiki, mungkin kita bisa menemukan petunjuk.”

---

Di luar rumah, senja mulai turun, dan langit semakin gelap. Rafael berdiri di balik pohon besar di ujung jalan, mengamati mereka dengan penuh perhatian. Rencana yang ia buat semakin matang, dan ia tahu waktunya akan segera tiba. Tak ada yang bisa menghentikannya. Ia tersenyum pada dirinya sendiri, lalu melangkah pergi, membiarkan ketegangan itu tumbuh semakin besar.

---

Di Balik Bayangan DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang