Bab 34: Di Ujung Nafas

0 0 0
                                    


Angin malam membawa aroma hujan ketika Davin duduk di tepi tempat tidurnya, matanya terus menatap ke arah jendela kamar. Luka-luka kecil di tangannya sudah diperban, tapi rasa nyeri di dadanya tetap menghantui. Bima dan Raka juga dalam kondisi serupa, namun mereka semua tahu luka fisik bukanlah hal yang paling mengerikan.

"Kita nggak bisa terus begini," gumam Davin pelan, meskipun tak ada siapa pun di kamar itu yang mendengarnya.

Di Tempat Lain

Rafael berdiri di sebuah kamar sempit yang penuh dengan benda-benda acak: peta kota, foto-foto masa lalu, dan barang-barang yang tampaknya ia curi selama pelariannya. Di depan cermin, ia melihat pantulan dirinya, wajah yang kini dipenuhi guratan luka kecil dari pergulatannya tadi.

"Kita belum selesai, Davin," bisiknya pada bayangan di cermin. "Kalian semua harus bayar untuk ini."

Di meja kecil di sampingnya, terdapat tiga foto yang sudah usang. Wajah Davin, Bima, dan Raka menatap balik kepadanya dari foto-foto itu, masing-masing dengan tanda silang besar di atasnya. Rafael mengambil satu foto-foto Raka-dan menyeringai lebar.

"Gue akan mulai dari lo."

Keesokan Harinya

Di sekolah, suasana menjadi tegang. Ketiganya berkumpul di ruang kelas yang sepi untuk membahas langkah berikutnya.

"Kita nggak bisa terus sembunyi," ujar Bima dengan nada geram. "Dia udah nyaris bunuh kita semalam. Kalau kita nggak ngelakuin sesuatu, dia bakal terus ngejar."

"Terus apa yang lo mau? Kita pergi ke polisi lagi?" tanya Raka skeptis. "Mereka bahkan nggak bisa nangkep dia waktu itu."

"Kita butuh bantuan," kata Davin, suaranya terdengar lebih serius dari biasanya. "Seseorang yang tahu gimana cara nangkep dia."

"Siapa?" Raka mengernyitkan dahi.

Davin terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Keluarga Karel."

Di Rumah Keluarga Karel

Rumah keluarga Karel berada di ujung jalan yang sepi. Tua, besar, dan terasa suram. Ketiganya berdiri di depan pintu, ragu-ragu sebelum mengetuk.

Seorang wanita tua dengan wajah dingin membuka pintu. Mata tajamnya menatap mereka bertiga.

"Kalian siapa?" tanya wanita itu dengan nada tajam.

"Kami teman Karel," jawab Davin pelan. "Kami butuh bantuan.”

Wanita itu menatap mereka dalam-dalam, sebelum akhirnya membuka pintu lebih lebar. "Masuk."

Di dalam, mereka bertemu dengan paman Karel, seorang pria bernama Victor. Wajahnya menunjukkan kesan keras, tapi ada sesuatu di matanya yang tampak lelah, seolah ia juga menyimpan rasa sakit dari kehilangan Karel.

"Kalian temannya Karel?" tanya Victor, matanya memperhatikan luka-luka di tubuh mereka.

Davin mengangguk. "Kami butuh bantuan. Rafael... dia memburu kami."

Nama itu membuat Victor membeku sesaat. la menatap Davin dengan tajam. "Apa yang kalian lakukan sampai Rafael mengejar kalian?"

Davin ragu sejenak sebelum menjawab, "Kami nggak sengaja nyakitin Karel. Sekarang Rafael mau balas dendam."

Victor menghela napas panjang, lalu bangkit dari kursinya. "Rafael selalu seperti itu. Dia nggak pernah bisa menerima kehilangan. Kalau dia sudah memutuskan sesuatu, dia nggak akan berhenti sampai selesai."

"Jadi, apa yang harus kami lakukan?" tanya Bima.

Victor memandang mereka dengan serius. "Kalian harus buat dia datang ke tempat kalian mau. Hanya ada satu cara untuk menghentikan Rafael: jebak dia. Kalau nggak, kalian semua akan mati."

Malam Itu

Raka berjalan sendirian di jalan sepi, tangannya memegang ponsel. Ini bagian dari rencana mereka. la adalah umpan.

"Gue beneran nggak yakin ini ide bagus," gumamnya sambil terus berjalan, berharap Rafael benar-benar muncul sesuai prediksi.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari belakang. Jantung Raka mulai berdegup kencang. la menoleh, tapi hanya melihat bayangan panjang di bawah cahaya

lampu jalan.

"Raka," suara dingin Rafael memanggil namanya dari kegelapan.

Raka berhenti. Tangannya gemetar saat ia memegang tongkat kecil yang disembunyikan di balik jaketnya.

"Kenapa lo nggak lari?" Rafael bertanya, langkah kakinya semakin mendekat.

"Gue nggak takut sama lo," jawab Raka, meski suaranya bergetar.

Rafael muncul dari kegelapan, pisau di tangannya berkilau di bawah cahaya lampu jalan. la menyeringai, penuh percaya diri.

"Kalau gitu, kita selesaikan sekarang."

Raka memejamkan mata sejenak, berharap Davin dan Bima sudah siap di tempat mereka bersembunyi. Rafael mendekat, pisaunya terangkat tinggi.

Namun, sebelum Rafael sempat menyerang, tali jebakan yang dipasang oleh Davin dan Bima menghentikan langkahnya. Rafael terjerat, tubuhnya terangkat beberapa inci dari tanah.

"Sekarang, Victor!" teriak Davin.

Victor muncul dari balik bayangan, membawa senjata bius di tangannya. Dalam satu tembakan, Rafael terjatuh ke tanah, tak sadarkan diri.

Di Akhir Malam

Ketiganya duduk di sebuah ruangan kecil di rumah Victor, napas mereka masih tersengal setelah apa yang baru saja terjadi.

"Kita berhasil?" tanya Bima, matanya melirik ke arah Rafael yang kini terikat di sebuah kursi di sudut ruangan.

Victor mengangguk pelan. "Untuk sementara. Tapi ini belum selesai."

Davin menatap Rafael yang tertidur dengan wajah penuh kebencian. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa perang ini masih jauh dari kata selesai.

......

Di Balik Bayangan DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang