Hari-hari berlalu, dan meskipun Rafael berusaha sekuat tenaga untuk melindungi Karel, suasana di sekolah semakin mencekam. Setiap kali Karel melangkah ke gerbang sekolah, ada perasaan berat yang selalu menghantui dirinya. Ia tak pernah merasa aman, bahkan dengan kehadiran Rafael di sana. Bullying dari Vince dan gengnya semakin menjadi-jadi, dan Karel merasa semakin terperangkap dalam ketakutannya.
Pada suatu pagi yang cerah, Karel berangkat sekolah lebih awal, berharap bisa menghindari keramaian. Namun, saat ia masuk ke kelas, seperti biasa, tatapan jijik dari teman-temannya langsung menghujam dirinya. Meskipun tidak ada yang berani mengganggunya langsung, namun bisik-bisik dan tatapan sinis terus mengikuti langkahnya.
Di tengah semua itu, Karel merasa sangat kesepian. Bahkan teman-teman yang dulu sempat dekat dengannya, kini menjauhkan diri. Hanya Rey, teman dekatnya, yang masih berusaha ada untuknya.
Namun, Rey pun tidak bisa berbuat banyak. Meskipun dia selalu ada untuk mendengarkan keluh kesah Karel, dia tidak memiliki cukup keberanian untuk melawan Vince dan gengnya. Rey selalu merasa takut dengan konsekuensi yang akan diterimanya jika berani berbicara atau melawan.
Saat istirahat, Rey mengajak Karel untuk duduk di bangku pojok dekat taman sekolah. Mereka duduk di sana, jauh dari keramaian, dengan suasana yang terasa semakin sunyi.
"Karel, gue tahu lo nggak enak, tapi lo harus kuat," kata Rey dengan suara pelan. "Lo nggak sendirian. Gue bakal selalu ada buat lo."
Karel hanya mengangguk pelan, matanya menatap kosong ke depan. Ia merasa lelah, lelah dengan semuanya. Bahkan dukungan dari Rey terasa tak cukup menghapus rasa sakit yang ada di hatinya.
Tiba-tiba, suara langkah kaki berat terdengar. Vince, yang datang bersama teman-temannya, berhenti tepat di depan Karel dan Rey. Senyuman sinis terukir di wajah Vince.
"Eh, Rey, lo beneran mau berteman sama sampah kayak dia?" Vince berkata, memandang Karel dengan jijik.
Rey tampak tertekan, namun dia tetap berusaha menjawab. "Lo nggak boleh gitu, Vince. Lo harusnya berhenti gangguin Karel."
Vince tertawa terbahak-bahak. "Gue gangguin dia? Gue cuma ngasih pelajaran biar dia tahu tempatnya. Lo pikir lo bisa ngelindungin dia, Rey? Lo nggak bisa apa-apa!"
Dengan gerakan cepat, Vince mendorong Karel dari belakang hingga tubuhnya jatuh ke tanah. Tawa teman-teman Vince terdengar keras, sementara Rey hanya bisa diam, terjebak dalam rasa takut yang begitu besar.
Karel yang terjatuh, merasakan panas di matanya. Air mata perlahan mengalir, tetapi ia mencoba menahan diri agar tidak terlihat lemah di hadapan Vince dan teman-temannya.
"Lo nggak usah sok-sokan di sini, Karel," kata Vince dengan penuh penghinaan. "Kalo lo nggak bisa terima, mending lo cabut dari sekolah ini aja!"
Rey dengan cepat membantu Karel bangkit. "Jangan dengerin dia, Karel. Gue di sini buat lo."
Namun, kata-kata itu sudah terlambat. Karel merasa terhina, terjatuh lebih dalam dalam perasaan tak berdaya. Dia merasa Vince benar. Dia bukan siapa-siapa, hanya seorang anak yang tak berarti.
---
Sore itu, Karel pulang dengan langkah lesu, merasa dunia semakin berat untuk dijalani. Rafael yang baru pulang dari sekolah merasa ada yang berbeda. Dia melihat wajah adiknya yang muram, dan hatinya langsung mengeras. Sambil menatap Karel yang berjalan dengan lesu di depan pintu, Rafael bertanya, "Karel, ada apa? Lo kenapa?"
Karel tidak langsung menjawab. Dia hanya duduk di sofa dengan tatapan kosong. Rafael mendekat dan duduk di sampingnya, menggenggam bahunya. "Lo nggak bisa terus-terusan kayak gini, Karel. Lo harus kuat. Gue di sini, kan?"
Karel akhirnya menatap kakaknya dengan mata yang penuh keresahan. "Aku nggak kuat, Bang. Aku nggak tahu lagi harus gimana. Rasanya semua ini terlalu berat. Mereka bener, Bang. Aku nggak ada artinya di sini."
Rafael merasa hatinya hancur mendengar kata-kata Karel. Dia tidak pernah tahu betapa dalam perasaan adiknya. Rafael menyentuh pipi Karel dengan lembut, mengusap air mata yang perlahan menetes.
"Lo penting, Karel," kata Rafael dengan suara penuh penegasan. "Lo berharga. Lo punya aku, dan kita akan melalui semua ini bersama."
Namun, Karel tidak menjawab. Hatinya semakin terbenam dalam kegelapan yang mengelilinginya.
---
Hari-hari berikutnya, Karel semakin terasing dari teman-temannya. Vince dan gengnya tidak hanya membuli Karel secara fisik, tetapi mereka juga merusak reputasinya di sekolah. Semua yang berhubungan dengan Karel menjadi bahan tertawaan. Setiap langkah Karel terasa semakin berat, seolah-olah dia sedang berjalan di atas pasir yang padat, semakin tenggelam dan terjepit.
Karel tidak tahu lagi harus berbuat apa. Rasa sakitnya begitu dalam, dan ia merasa tidak ada yang bisa membantunya. Bahkan Rafael, yang selalu ada untuknya, seolah tidak cukup untuk menghapus rasa sakit itu.
Karel merasa terpojok. Tidak ada jalan keluar.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Bayangan Dendam
Mystery / ThrillerKarel Pratama adalah seorang siswa SMA yang hidup di bawah bayang-bayang rasa takut dan penghinaan. Setiap hari, ia menjadi sasaran bullying dari sekelompok siswa yang tak kenal belas kasihan. Meski memiliki sahabat setia, Rey, yang selalu mendukung...