Bab 43: Malam yang Kelam

0 0 0
                                    


Suasana semakin mencekam di dalam rumah yang kini gelap gulita. Hujan yang turun di luar menambah kesan suram pada keadaan, seperti alam pun merasakan ketegangan yang menggantung di udara. Raka dan Bima terdesak, tubuh mereka hampir tak mampu lagi bertahan melawan amukan Rafael. Waktu terasa berjalan lambat, detik demi detik seolah menghimpit mereka.

Raka terjatuh lagi setelah serangan Rafael, tubuhnya dipenuhi rasa sakit yang luar biasa. la menggigit bibirnya, berusaha menahan tangisan. Darah yang mengalir dari bahunya semakin banyak, membasahi lantai kayu di bawahnya. Di sisi lain, Bima sudah terkapar dengan tubuh yang tak berdaya, napasnya terengah-engah setelah tendangan keras yang tadi diterimanya.

Rafael berdiri di hadapan mereka, wajahnya penuh kebencian yang murni, seperti tak ada sedikit pun penyesalan dalam hatinya. la memandang keduanya dengan tatapan dingin yang menusuk, seolah mereka hanyalah sampah yang bisa dia hancurkan kapan saja.

"Kalian tidak tahu betapa aku sudah menunggu ini," ujar Rafael, suaranya berat dan penuh amarah. "Kalian pikir, dengan begitu banyak darah yang sudah tumpah, kalian masih bisa hidup? Kalian pikir kalian bisa melarikan diri dari takdir ini?"

Raka menggeliat, berusaha bangkit meski dengan tubuh yang hampir lumpuh. "Kami... nggak akan biarin lo... terus nyiksa kita... dan orang-orang di sekitar kita," katanya, suaranya serak namun penuh tekad.

Bima yang terbaring lemah, menatap Raka dengan tatapan yang penuh kekhawatiran, namun ia tidak berkata apa-apa. Kedua mata mereka masih terfokus pada Rafael yang perlahan mendekat. Pisau di tangan Rafael berkilau, seakan menunggu kesempatan untuk menambah lagi daftar nyawa yang harus dibayar dengan darah.

Rafael mendekatkan pisau itu ke dada Raka, namun sebelum ia sempat menikam, Bima yang tersungkur di lantai teriak, "Jangan...! Jangan bunuh dia!"

Rafael menatap Bima dengan jijik, lalu mendekatkan pisau itu pada wajah Raka. "Kalian masih berani bicara? Ini semua karena kalian, semua ini akan berakhir dengan tubuh kalian yang tak bernyawa," ucapnya dengan penuh kebencian.

Tapi, Raka tidak mau menyerah. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia menyentak tangan yang memegang tongkat besi yang tergeletak tak jauh darinya. Dengan satu gerakan cepat, Raka menggenggam tongkat itu dan mengayunkannya sekuat tenaga ke arah Rafael.

"RAFFAAAAEEEEL!" Raka berteriak dengan penuh kemarahan. Tongkat besi itu menghantam Rafael di bagian samping tubuhnya, namun Rafael hanya sedikit terhuyung ke samping, tetap memegang kendali.

"Lo kira ini bisa menghentikan gue? Kalian sudah terlalu jauh untuk berharap pada kesempatan lain!" teriak Rafael, matanya berbinar penuh amarah. la menyambar pisau itu dengan gerakan cepat, langsung mengarah ke Raka yang tak sempat menghindar.

"RAKA!" teriak Bima.

Suara pisau yang menyentuh tubuh Raka sangat jelas terdengar di tengah keheningan malam. Suara itu seperti suara belati yang menembus daging, nyeri yang begitu tajam. Raka menjerit kesakitan, matanya terbelalak saat pisau itu masuk ke dalam tubuhnya.

Tapi ia masih bertahan. Dengan tangan yang sudah gemetar, Raka mencoba untuk menggenggam pisau yang tertancap di tubuhnya, seolah berusaha menahan rasa sakit yang luar biasa. "Kami nggak akan mati di tangan lo, Rafael...!" katanya dengan suara tertahan, darah menetes dari bibirnya.

Namun, Rafael hanya tersenyum sinis. la menarik pisau itu keluar dan mengayunkannya lagi, kali ini ke arah Bima yang berusaha bangkit.

"Lo udah kalah! Kalian udah kalah!" Rafael berseru.

Bima, yang masih berusaha bergerak meskipun tubuhnya hampir tak bisa digerakkan, menatap Raka untuk terakhir kali. "Jaga diri lo, Raka... maaf... kita nggak bisa... lawan dia..." kata Bima lemah, sebelum mata Bima terpejam dan tubuhnya terkulai lemas.

Raka tidak punya banyak waktu. Luka-lukanya terlalu parah. Sebelum ia sempat melakukan apa pun, Rafael kembali mendekat dan menyerang dengan pisau itu sekali lagi, kali ini tepat ke dada Raka.

Dengan napas yang semakin berat dan kesadaran yang mulai menghilang, Raka hanya bisa tersenyum pahit. "Tapi kita nggak mati sia-sia..." gumamnya, sebelum semua kegelapan itu menutupi pandangannya.

Dalam keheningan yang mencekam, hanya terdengar suara hujan yang terus mengguyur dan denting jarum jam yang terus berjalan. Sebuah cerita panjang penuh darah dan pengkhianatan akhirnya mencapai akhir yang tak terelakkan.

.......

Di Balik Bayangan DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang