Rafael duduk terdiam di sudut kamarnya, matanya menatap kosong ke layar ponsel yang gelap. Hatinya masih penuh dengan kemarahan yang memuncak sejak hari itu. Setiap kali ia menutup matanya, bayangan wajah Karel yang selalu tersenyum ramah seakan hidup kembali, namun itu berubah menjadi mimpi buruk yang tak bisa ia lupakan—wajah adiknya yang terluka, tubuhnya yang tergeletak tak bernyawa. Setiap kali ia mengingatnya, ia merasakan sakit yang tajam, seakan-akan ia sedang terperangkap dalam siksaan batin yang tidak bisa lepas.
Sudah hampir sebulan sejak kejadian itu, namun rasa sakit dan kemarahan itu tak juga reda. Rafael tahu bahwa semuanya belum berakhir, dan ia akan membuat mereka yang menyebabkan semua ini merasakan akibat dari perbuatan mereka. Semua itu karena orang-orang yang telah menghancurkan adiknya—orang-orang yang dulu disebut teman oleh Karel, orang-orang yang mengira mereka bisa menghabiskan hidup Karel begitu saja tanpa harus membayar harga yang setimpal.
Karel tidak bisa dibiarkan pergi begitu saja. Rafael tahu, meskipun ia berusaha keras untuk tidak membayangkan kenyataan pahit itu, ia tak bisa menahan amarah yang terus menggelegak. Hatinya dipenuhi dendam yang semakin hari semakin membara. Rafael tak akan membiarkan pembuli-pembuli itu lolos begitu saja, dan ia tahu bahwa balas dendam adalah hal yang harus dilakukan.
Namun, Rafael juga tahu bahwa ia tidak boleh gegabah. Ia harus lebih cerdik dari mereka, lebih licik, dan lebih terencana. Mereka telah menghancurkan Karel dengan kekerasan fisik dan kata-kata kasar, tapi Rafael akan merencanakan segalanya dengan hati-hati. Ia tidak akan menyerahkan balas dendamnya secara terburu-buru. Semuanya harus berjalan sesuai rencana yang telah ia pikirkan.
Rafael duduk di mejanya, menatap beberapa catatan yang sudah ia susun. Dalam beberapa hari terakhir, ia telah merencanakan setiap langkah dengan cermat. Ia sudah menyiapkan segala sesuatunya—mulai dari informasi tentang para pelaku bullying Karel, hingga cara untuk mengintimidasi mereka secara perlahan tanpa mereka tahu siapa yang mengancam mereka.
Di luar, malam semakin larut. Suasana di dalam rumah terasa semakin tegang, seolah-olah ada sesuatu yang mengintai di sudut-sudut ruang. Rafael meraih ponselnya dan mengirim pesan yang baru saja ia buat. Pesan itu akan dikirim ke nomor pelaku yang membuli Karel.
"Kalian tidak bisa lari dari apa yang kalian lakukan. Mereka yang berani menganiaya orang lain, pasti akan mendapatkan balasannya."
Tidak ada nama pengirim, hanya pesan yang penuh ancaman. Rafael merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tahu ini bukanlah pesan biasa. Sejak Karel meninggal, semuanya terasa begitu asing—seperti ada bayangan gelap yang mengelilingi hidupnya. Ia merasa seperti seseorang sedang mengawasinya, bahkan meski ia tidak tahu siapa itu. Mungkin ini adalah peringatan bagi mereka, pembuli-pembuli itu. Mereka yang dulu mengira Karel adalah orang lemah, yang tak bisa melawan.
Namun, Rafael sadar, meski tubuhnya gemetar karena amarah yang semakin membesar, ia tahu satu hal—semuanya akan dibalas dengan cara yang lebih mengerikan daripada yang mereka bayangkan.
Di tempat lain, para pembuli mulai merasakan kegelisahan yang sama. Mereka yang selama ini merasa aman, kini mulai dihantui oleh perasaan takut yang datang begitu tiba-tiba. Ponsel mereka dipenuhi pesan-pesan misterius yang mengancam. Ada pesan-pesan yang mereka anggap tidak penting di awal, namun lama kelamaan pesan-pesan itu menjadi semakin mengganggu, dan mereka merasa ada yang tidak beres.
Vince, salah satu dari mereka yang terlibat dalam perundungan terhadap Karel, membuka pintu rumahnya pada suatu pagi dan mendapati di depan pintu ada secarik kertas yang tergeletak begitu saja. Kertas itu tampak biasa, namun saat ia melihat lebih dekat, ia merasa ada sesuatu yang ganjil. Tali merah melilit kertas itu, seakan memberi kesan bahwa ini bukanlah pesan sembarangan. Saat ia membuka lipatan kertas itu, matanya langsung tertuju pada tulisan tebal yang hanya berisi satu kalimat yang mencengkeram hatinya.
"Ini baru permulaan."
Raut wajah Vince langsung berubah pucat. Kertas itu berbau busuk, seakan membawa aroma yang menyengat. Ia merasa mual, dan detak jantungnya berdetak lebih cepat. Seketika, ketakutan menyelimuti dirinya. Ia mulai merasakan ada sesuatu yang mengintai, dan ia tahu bahwa ini bukan hanya perasaan paranoia. Sesuatu yang tidak kasatmata kini mulai menghampiri mereka. Semua orang yang terlibat dalam perundungan itu akan merasakannya. Ini adalah hukuman untuk apa yang telah mereka lakukan pada Karel.
Bukan hanya Vince, namun juga teman-temannya—Davin, Edo, Bima, dan Raka—mulai merasakan hal yang sama. Mereka semua merasa diteror oleh ancaman-ancaman yang tidak diketahui asal-usulnya. Mereka yang dahulu mengira Karel hanyalah seseorang yang bisa mereka bully tanpa ada konsekuensi, kini mulai hidup dalam ketakutan. Mereka semua tahu bahwa ini bukan lagi sekadar ancaman kosong. Sesuatu yang lebih besar dan lebih menakutkan mulai membayangi mereka.
Rafael tidak akan berhenti sampai semua ini berakhir. Mereka akan merasakan balas dendam yang jauh lebih mengerikan daripada apa yang mereka bayangkan. Semua yang telah mereka lakukan pada Karel, kini akan kembali pada mereka. Rafael sudah merencanakan setiap langkahnya dengan matang. Mereka tidak akan tahu apa yang akan menimpa mereka berikutnya.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Bayangan Dendam
Misteri / ThrillerKarel Pratama adalah seorang siswa SMA yang hidup di bawah bayang-bayang rasa takut dan penghinaan. Setiap hari, ia menjadi sasaran bullying dari sekelompok siswa yang tak kenal belas kasihan. Meski memiliki sahabat setia, Rey, yang selalu mendukung...