Bab 29: Teror yang Terungkap

0 0 0
                                    

Keheningan yang tegang itu akhirnya pecah dengan suara langkah kaki yang semakin mendekat. Hati mereka berdetak cepat, tubuh mereka kaku, siap menghadapi apa pun yang datang. Davin, Bima, Raka, dan Edo saling berpandangan, tapi tak ada satu pun dari mereka yang berani berbicara.

Mereka bisa merasakan, entah bagaimana, ini bukan sekadar teror biasa. Rafael-dan apa yang dia bawa-membuat seluruh suasana semakin mencekam.

Tiba-tiba, suara pintu yang terbuka pelan memecah kegelapan yang menyelimuti mereka. Seseorang masuk, tetapi mereka tidak bisa melihat wajahnya dalam kegelapan itu.

"Siapa itu?" tanya Davin, suaranya teredam ketegangan.

"Tunggu..." Edo berbisik, matanya terbuka lebar. "Gue kenal suara itu."

Namun, sebelum mereka sempat merespon lebih jauh, senter yang mereka pegang mulai menyala dan menerangi ruang itu, memperlihatkan sosok yang tidak asing lagi. Rafael berdiri di pintu, matanya penuh kebencian, senyum tipis yang terukir di wajahnya.

"Selamat malam, teman-teman," katanya dengan suara yang dingin dan penuh ancaman. "Aku pikir kalian sudah cukup lama hidup dalam ketenangan. Sekarang, waktunya kalian merasakan sedikit penderitaan."

Davin, Bima, dan Raka langsung berdiri, tubuh mereka menegang. Sementara itu, Edo terlihat semakin terpojok, wajahnya pucat karena ketakutan yang sudah lama menggerogoti hatinya. Rafael memandang mereka dengan tatapan yang penuh kebencian.

"Rafael, kenapa lo melakukan ini?" tanya Davin, berusaha tetap tenang meskipun hatinya berdebar hebat.

Rafael tertawa pelan, langkahnya mantap saat ia mendekat. "Kenapa? Karena kalian pantas mendapatkannya. Kalian semua terlalu sibuk dengan kehidupan kalian, sementara gue terjebak dalam bayangan masa lalu yang penuh dengan kepahitan. Karel-dan kalian-semua adalah bagian dari alasan kenapa gue harus seperti ini."

"Apa maksud loh?" Raka bertanya dengan wajah bingung, mencoba mengerti.

Rafael berhenti sejenak, tatapannya terfokus pada mereka. "Karel adalah Adek gue. Tapi kalian membuli dia sampai dia pergi begitu saja. Kalian tidak tahu apa yang dia rasakan-betapa dia merasa terluka oleh kalian. Semua yang kalian lakukan pada dia, semua perlakuan kalian terhadap Karel... kalian pikir itu nggak akan ada konsekuensinya?"

Davin, yang mulai mengerti, menatap Rafael dengan serius. "Karel adalah bagian dari masa lalu kita, Rafael. Kita nggak bisa mengubah itu. Tapi apa yang kamu lakukan sekarang, nggak bisa dibenarkan."

Rafael hanya tersenyum lebar, tanpa rasa penyesalan. "Dan itu baru permulaan. Kalian tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku akan membuat kalian merasakan setiap rasa sakit yang pernah Karel dan aku  rasakan."

Tanpa memberikan kesempatan untuk berbicara lebih lanjut, Rafael melangkah maju, tangannya bergerak cepat meraih sebuah pisau kecil yang tersembunyi di balik jaketnya. Dengan gerakan yang terlatih, dia mengayunkan pisau itu dengan presisi, mengarahkannya pada Bima.

Bima terkejut, namun berhasil menghindar tepat waktu, meskipun pisau itu hampir saja melukai lengannya. "Kita nggak bisa biarin dia terus kayak gini!" teriak Bima, menghindar lebih jauh.

"Tapi kita nggak bisa melawan dia langsung!" Davin berteriak, berusaha menjaga jarak.

Rafael tertawa, senyumnya semakin lebar. "Kalian pikir bisa menghindar dariku? Aku sudah bermain dengan ketakutan kalian cukup lama.

Sekarang, waktunya kalian merasakan apa yang sebenarnya aku inginkan."

Mereka berlima terlibat dalam sebuah perkelahian singkat, Rafael bergerak gesit, menggunakan pisau kecilnya untuk menyerang. Davin dan Bima berusaha bertahan, sementara Raka dan Edo mencoba mencari cara untuk menghindar.

Namun, Rafael bukan lawan yang mudah. Dia terlatih, lebih cepat, dan lebih kuat. Dalam satu gerakan cepat, Rafael berhasil menjatuhkan Raka, dan memaksa Edo mundur dengan ketakutan yang semakin menguasai dirinya.

"Lo nggak bisa lari, Edo!" Rafael berteriak, semakin mendekat.

Namun, sebelum Rafael bisa melangkah lebih jauh, Davin berhasil menjatuhkan sebuah benda berat ke arah Rafael, membuatnya terhuyung mundur. "Kita nggak akan biarkan lo menang, Rafael!" kata Davin, suara penuh tekad.

Rafael merasakan sakit di punggungnya, namun senyum tipis itu tidak luntur. "Kalian pikir ini akan berhenti begitu saja? Belum selesai, Davin. Belum selesai."

Davin menghela napas dalam, matanya menyala penuh amarah. "Kalau lo nggak berhenti, kita akan pastikan lo berhenti, Rafael.”

Rafael tidak menjawab, tetapi langkahnya mundur pelan, matanya masih mengawasi mereka dengan intens. "Kalian akan tahu. Ini baru permulaan. Aku akan kembali, dan kali ini, kalian semua akan tahu rasa sakit yang sebenarnya."

Dia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan mereka yang masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi.

Keesokan Harinya

Keesokan harinya, di sekolah, suasana semakin mencekam. Rasa takut sudah menguasai mereka semua, terutama setelah insiden malam itu. Tidak ada yang bisa menepis perasaan cemas yang menggelayuti setiap langkah mereka. Dan yang lebih mengkhawatirkan, Rafael masih mengintai.

Davin, Bima, Raka, dan Edo, tahu bahwa mereka tidak akan bisa menghindari apa yang akan datang selanjutnya. Rafael tidak akan berhenti sampai semua yang ada di daftar namanya mendapat balasannya.

Namun, dalam hati mereka, ada satu harapan kecil: mereka harus bersatu untuk menghadapinya, karena jika mereka terpisah, maka semuanya akan berakhir dengan sangat buruk.

Di Balik Bayangan DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang