Keesokan harinya, Karel tidak berani masuk sekolah. Dia merasa seolah-olah dunia menutupnya rapat-rapat. Setiap kali dia berpikir tentang apa yang terjadi kemarin, rasa sakit itu kembali menghantuinya. Vince dan gengnya mungkin akan menunggu di sekolah, siap untuk mempermalukan Karel lagi.
Di rumah, Rafael merasa cemas. Dia tahu adiknya tidak akan bisa bertahan lama jika terus-terusan dibuli seperti itu. Tetapi dia juga tahu bahwa Karel bukanlah orang yang mudah untuk membuka diri. Semalam, Karel tidak mengatakan apapun, hanya terdiam dengan mata yang kosong.
“Lo nggak akan selamanya bisa lari dari masalah, Karel,” kata Rafael dengan serius, mencoba mencari cara untuk berbicara dengan adiknya.
Namun, Karel hanya memandangnya dengan tatapan hampa. “Gue nggak kuat lagi, Bang.”
Rafael merasakan sakit yang dalam di hatinya. Adiknya, yang dulu ceria dan penuh semangat, kini menjadi bayangan diri yang hancur. Perasaan marah, kecewa, dan frustasi bercampur jadi satu.
Rafael pun memutuskan untuk pergi ke sekolah lebih awal, berharap bisa menghadapi Vince dan gengnya secara langsung. Begitu dia sampai di sekolah, suasana sudah sangat tegang. Karel tidak ada, dan itu membuat Rafael semakin cemas.
Tak lama setelah dia memasuki halaman sekolah, Vince muncul dengan senyum sinis. “Mau apa lo, Rafael? Lo pikir lo bisa ngelindungin Karel dari gue?” Vince menantang.
Rafael menatap Vince dengan tatapan penuh amarah. “Kalo lo nyentuh Karel lagi, lo nggak bakal gue kasih ampun.”
Vince tertawa sinis. “Amal lo cuma ngomong, Rafael. Lo pikir lo bisa ngelawan gue? Lo aja bukan siapa siapa nya karel yang lemah itu.”
Rafael menahan amarahnya. Dia tahu bahwa Vince hanya berusaha mempermalukan Karel lebih jauh. “Lo lebih rendah dari anjing, Vince!” Rafael menyebutkan kata-kata kasar yang sudah lama dia tahan. “Lo nggak tahu apa artinya menghargai orang lain.”
Vince sepertinya tidak terima dengan hinaan itu. Tanpa aba-aba, dia memukul Rafael di wajah dengan tangan kanannya. Suara benturan keras terdengar, diikuti dengan suara terjatuh yang memekakkan telinga. "LO PIKIR LO KEREN GITU?!" teriak Vince.
Rafael terhuyung ke belakang, merasakan perih di pipinya. Darah mulai mengalir dari sudut mulutnya, namun itu hanya membuat amarahnya semakin membesar. "Sialan!" teriak Rafael, sambil bangkit kembali. "Lo bakal menyesal!" Dia melangkah maju dengan cepat, memukul Vince di perut.
Vince terhuyung dan hampir jatuh, namun segera menenangkan dirinya. “Bangsat!” kata Vince sambil tersenyum, menunjuk Rafael dengan jari telunjuknya.
Geng Vince pun mulai mendekat, siap membantu temannya. Rafael tahu dia tidak bisa menang dalam pertarungan ini, tapi dia tidak peduli. Apa yang lebih penting adalah dia harus melindungi Karel. “Lo bakal bayar atas semua yang udah lo lakuin ke Karel, Vince!” Rafael mengancam.
Saat itu, beberapa teman Karel yang kebetulan lewat melihat kejadian tersebut. Mereka terlihat terkejut, namun tidak ada yang berani membantu. Suasana semakin tegang, dan Rafael semakin marah. Namun, ia tahu bahwa dia tidak bisa terus terlibat dalam kekerasan seperti ini. Dia perlu menemukan cara untuk mengakhiri semua ini.
Rafael menarik napas panjang dan menatap Vince dengan tatapan penuh dendam. "Lo nggak akan pernah menang. Gue akan pastiin lo merasakan sakit yang lo kasih ke Karel." Rafael berjanji dalam hati.
Sesaat setelah itu, dia berjalan pergi, meninggalkan Vince dan gengnya yang masih terdiam di tempat. Namun, di dalam hatinya, Rafael tahu bahwa ini baru permulaan. **Api dendam ini tidak akan padam sampai dia berhasil mengalahkan mereka.**
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Bayangan Dendam
Mystery / ThrillerKarel Pratama adalah seorang siswa SMA yang hidup di bawah bayang-bayang rasa takut dan penghinaan. Setiap hari, ia menjadi sasaran bullying dari sekelompok siswa yang tak kenal belas kasihan. Meski memiliki sahabat setia, Rey, yang selalu mendukung...