Malam itu, gudang tua di pinggiran kota berdiri sunyi, diselimuti bayangan kegelapan yang hanya diterangi oleh lampu jalan redup di kejauhan. Rafael tiba dengan langkah penuh keyakinan. Ia tidak membawa siapa pun, hanya pisau yang selalu menjadi senjatanya.
“Ayo, tunjukkan permainan kalian,” gumam Rafael sambil memasuki gudang itu.
Namun, suasana di dalam lebih sunyi daripada yang ia duga. Udara di dalam terasa berat, seolah menyimpan rahasia yang siap meledak kapan saja. Di salah satu sudut ruangan, ada sebuah meja kayu kecil dengan sebuah lampu minyak menyala di atasnya. Di meja itu, terdapat amplop dengan tulisan tangan yang tebal:
“SELAMAT DATANG, RAFAEL.”Ia menyeringai, membuka amplop itu tanpa ragu. Di dalamnya, sebuah pesan pendek berbunyi:
“Satu per satu, kau akan merasakannya.”Sebelum Rafael sempat bereaksi, lampu minyak di atas meja tiba-tiba padam, dan gudang itu menjadi gelap gulita.
---
Di Luar Gudang
Davin, Bima, dan Raka bersembunyi di balik reruntuhan tidak jauh dari lokasi gudang. Mereka membawa beberapa barang seadanya: tali, alat perekam, dan tongkat kayu.
“Lo yakin ini bakal berhasil?” bisik Bima dengan suara gemetar.
“Kalau nggak berhasil, kita semua tamat,” jawab Davin tegas. “Gue tahu dia bakal masuk ke dalam tanpa curiga. Sekarang tinggal kita tunggu dia lengah.”
Raka menatap ke arah gudang dengan ekspresi gelisah. “Gue nggak suka ini. Rasanya kayak kita malah masuk perangkap dia.”
“Tenang aja, Rak. Kali ini kita yang kendaliin permainan.” Davin mencoba meyakinkan, meski ia sendiri tak sepenuhnya percaya pada kata-katanya.
---
Di Dalam Gudang
Rafael meraba-raba dalam kegelapan, mencoba menyesuaikan matanya. Ia tahu ini bukan kebetulan. Mereka sudah menyiapkan ini.
“Keluar!” teriaknya, suaranya menggema di gudang kosong. “Lo pikir gue takut sama trik kayak gini?!”
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Rafael berbalik cepat, tapi tak ada siapa pun. Langkah kaki itu semakin keras, seolah mengelilinginya, membuatnya bingung mencari asal suara.
“Davin? Raka? Bima?!” teriaknya lagi, kali ini dengan nada lebih tajam.
Tawa kecil terdengar dari sudut gelap ruangan, suara yang dibuat oleh alat perekam yang disembunyikan oleh ketiganya.
“Lo pikir bisa ngalahin gue?!” Rafael berteriak, tapi suaranya mulai mengandung nada keraguan.
Seketika, sesuatu menimpa Rafael dari atas—jaring yang terbuat dari tali tebal menjebaknya. Ia terjatuh ke lantai dengan keras, mencoba melepaskan diri, tapi jaring itu terlalu kuat.
---
Di Luar Gudang
Davin melihat sinyal dari alat rekamannya bahwa jaring sudah mengenai target. Ia memberi isyarat kepada Bima dan Raka. “Ayo, sekarang saatnya.”
Mereka bertiga memasuki gudang dengan hati-hati. Dalam kegelapan, mereka melihat Rafael terjebak di dalam jaring, menggeliat seperti binatang buas yang marah.
“Lo pikir ini bakal menghentikan gue?!” teriak Rafael, matanya memancarkan kemarahan yang tak tertahankan.
Davin maju mendekatinya, mencoba mengesankan keberanian. “Kita tahu semua ini tentang Karel. Lo balas dendam karena dia.”
Rafael tertawa kecil, nadanya menghina. “Lo nggak tahu apa-apa tentang apa yang gue rasain. Karel adalah segalanya buat gue, dan lo semua ngerusak hidupnya.”
“Karel mati bukan karena kita!” seru Raka, suaranya bergetar. “Itu kecelakaan, Rafael. Lo tahu itu!”
“Tapi kalian yang bikin dia menderita! Kalian yang bikin dia merasa sendirian!” Rafael membalas dengan teriakan, suaranya memenuhi seluruh ruangan.
Suasana hening untuk beberapa detik. Ketiganya saling berpandangan, mencoba memutuskan langkah berikutnya.
“Davin, sekarang apa?” bisik Bima, matanya tak lepas dari Rafael yang terus berontak.
Davin maju sedikit lebih dekat, menatap Rafael dengan sorot mata tegas. “Lo harus berhenti. Kalau nggak, lo bakal nyesel.”
“Berhenti?!” Rafael menyeringai dingin. “Belum mulai pun gue nggak bakal berhenti.”
---
Tiba-tiba, Semua Berubah
Rafael yang pura-pura terjebak dalam jaring ternyata memegang pisau kecil di tangannya. Dalam satu gerakan cepat, ia memotong tali jaring dan melompat ke arah Davin.
Semua kacau dalam hitungan detik. Rafael menyerang membabi buta, sementara Davin, Bima, dan Raka mencoba melindungi diri. Tongkat kayu yang mereka bawa tidak cukup untuk menahan amukan Rafael yang dipenuhi dendam.
Bima terkena pukulan di kepala, membuatnya tersungkur. Raka mencoba melawan, tapi tangannya tertoreh pisau Rafael. Kini hanya Davin yang tersisa, berdiri gemetar di depan Rafael.
“Lo pikir bisa ngejebak gue, Davin?” bisik Rafael dengan suara rendah, sambil mengangkat pisaunya.
“Kalau ini akhirnya, gue nggak takut,” jawab Davin, meski tubuhnya gemetar hebat.
Namun, sebelum Rafael sempat melukai Davin, suara sirene polisi menggema di kejauhan. Bima yang terluka ternyata sempat menekan tombol darurat di ponselnya.
Rafael mundur perlahan, menyadari situasi yang tak lagi menguntungkannya. Dengan langkah cepat, ia melarikan diri ke kegelapan malam, meninggalkan Davin, Bima, dan Raka dalam kondisi kacau.
---
Di Luar Gudang
Beberapa menit kemudian, polisi tiba di lokasi. Mereka menemukan ketiganya dalam keadaan terluka, tapi masih hidup. Rafael berhasil lolos untuk sementara waktu, tapi permainan kucing dan tikus ini masih jauh dari selesai.
“Ini belum selesai,” gumam Davin sambil menatap ke arah kegelapan di luar gudang.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Bayangan Dendam
Mystery / ThrillerKarel Pratama adalah seorang siswa SMA yang hidup di bawah bayang-bayang rasa takut dan penghinaan. Setiap hari, ia menjadi sasaran bullying dari sekelompok siswa yang tak kenal belas kasihan. Meski memiliki sahabat setia, Rey, yang selalu mendukung...