Bab 2: Luka yang Terpendam

3 0 0
                                    

Pagi itu, hujan gerimis mengguyur kota Jakarta. Langit yang kelabu seolah mencerminkan perasaan Karel Pratama. Dengan tas selempang di punggung, dia berjalan perlahan menuju sekolah bersama Rey. Jalanan basah dan udara dingin membuat perjalanan terasa lebih lama dari biasanya.

“Karel,” Rey memecah keheningan. “Lo serius nggak mau ngadu ke guru? Atau minimal ke kakak lo?”

Karel menggeleng pelan. “Nggak ada gunanya, Rey. Kalau aku lapor, Vince pasti makin parah ngerjain aku.”

Rey menggigit bibirnya, menahan frustrasi. Dia ingin membantu Karel, tetapi merasa terjebak dalam situasi yang sama sulitnya.

Saat mereka tiba di sekolah, suasana sudah mulai ramai. Karel melangkah ke kelas dengan kepala tertunduk, berharap bisa melewati hari itu tanpa masalah. Namun, langkahnya terhenti saat mendapati bangkunya sudah penuh dengan coretan spidol hitam.

“Banci,” “Bodoh,” “Tidak Berguna.”

Tulisan-tulisan itu tertera jelas, mencabik hatinya yang rapuh. Kelas langsung dipenuhi tawa beberapa siswa, terutama Vince dan gengnya yang berdiri di sudut kelas sambil menonton reaksi Karel.

“Wah, seni abstrak baru, nih!” ledek Vince sambil tertawa. “Gimana, Karel? Suka nggak dengan dekorasi kita?”

Karel terdiam, tidak tahu harus berbuat apa. Sementara itu, Rey yang baru saja masuk kelas segera berdiri di samping Karel.

“Lo nggak ada kerjaan lain, Vince?” bentak Rey, mencoba menahan amarah.

Vince hanya menyeringai. “Santai aja, Rey. Kita cuma bercanda, kan?”

Namun, Rey tidak menyerah. Dia menarik lengan Karel dan berbisik, “Ayo kita lapor guru sekarang.”

Karel menahan Rey. “Jangan, Rey. Jangan sekarang.”

Di luar kelas, Rafael Pratama sedang berjalan menuju ruang OSIS untuk menyerahkan beberapa laporan. Sebagai wakil ketua OSIS, Rafael memiliki jadwal yang padat, tetapi tanggung jawab itu adalah sesuatu yang dia nikmati. Baginya, perannya adalah melindungi dan membantu semua siswa di sekolah ini.

Tanpa sengaja, Rafael melihat Karel keluar dari kelas dengan wajah lesu. Dia memperhatikan adiknya yang berjalan cepat menuju toilet, diikuti oleh Rey. Naluri kakaknya langsung muncul. Ada sesuatu yang tidak beres.

“Karel!” Rafael memanggil, tetapi adiknya terus berjalan tanpa menoleh.

“Rel, tunggu!” Rafael mempercepat langkahnya, tetapi sebelum dia sempat menyusul, Karel sudah masuk ke toilet.

Di dalam toilet, Karel menatap bayangannya di cermin. Matanya yang sembab, wajahnya yang pucat, semuanya mencerminkan kelelahan yang dia rasakan. Rey berdiri di sampingnya, mencoba menenangkan.

“Karel, sampai kapan lo mau terus-terusan begini?” tanya Rey dengan nada penuh kekhawatiran.

Karel tidak menjawab. Dia hanya menyalakan keran air dan mencuci wajahnya, berusaha menghapus rasa sakit yang tak terlihat.

Di luar toilet, Rafael berdiri, menunggu Karel keluar. Saat pintu terbuka, dia langsung menatap adiknya dengan cermat.

“Rel, lo kenapa?” tanya Rafael, matanya penuh kekhawatiran.

“Enggak, Bang. Aku cuma mau cuci muka,” jawab Karel cepat.

Rafael merasa ada yang tidak beres, tetapi dia memilih untuk tidak memaksa adiknya bicara. Dia menepuk pundak Karel dan berkata, “Kalau ada apa-apa, cerita ke Abang, ya.”

Karel hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa.

Hari itu berlalu dengan lambat. Saat jam istirahat, Vince dan gengnya kembali beraksi. Mereka menjatuhkan buku Karel di lorong sekolah, lalu menendangnya hingga terlempar jauh. Karel memunguti buku-bukunya sambil menahan air mata.

“Karel, cepatlah sedikit! Atau mungkin lo mau kita tambahin dekorasi buku lo?” ejek Raka sambil tertawa.

Rey, yang sedang melihat kejadian itu dari jauh, hampir maju untuk membela Karel. Namun, Rafael tiba-tiba muncul dari arah lain.

“Vince, lo lagi ngapain?” suara Rafael terdengar tegas, membuat Vince dan gengnya terkejut.

“Eh, nggak apa-apa, Kak Rafael. Cuma bercanda kok,” kata Vince dengan nada pura-pura ramah.

Rafael menatap mereka tajam. “Gue nggak peduli bercanda atau enggak. Kalau lo macam-macam sama sama karel lagi, gue pastikan lo bakal kena sanksi dari sekolah.”

Mata Karel membelalak. Rafael akhirnya tahu.meskipun dia ngak mau bilang kalau Rafael adalah abang nya kecuali sih Rey.

“Rel, lo nggak apa-apa?” Rafael bertanya sambil membantu Karel memunguti bukunya.

“Aku nggak apa-apa, Bang,” jawab Karel, meskipun hatinya terasa semakin hancur.

---

Di Balik Bayangan DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang