Bab 40:"Bayang-Bayang Kematian"

0 0 0
                                    


Malam itu, Davin tidak bisa tidur. Perasaan waspada menyelimuti pikirannya setelah Rafael datang ke rumahnya. Suara hujan di luar jendela menjadi latar belakang yang tak menenangkan, malah membuat pikirannya semakin kalut.

Dia duduk di meja kerjanya, memandangi layar ponsel yang memperlihatkan pesan-pesan dari Raka dan Bima. Mereka sama-sama panik setelah mendengar bahwa Edo ditemukan tak bernyawa di taman beberapa hari lalu.

Raka: Lo yakin ini bukan Rafael? Dia kelihatan banget dendam sama kita.

Bima: Kalau iya, kita harus ngelakuin sesuatu. Kita nggak bisa cuma nunggu dia nyerang!

Davin mengetik balasan, tapi berhenti di tengah jalan. Kata-kata Rafael terus terngiang di telinganya. "Lo pikir lo bisa kabur dari apa yang kalian lakuin?"

Dia menggigil. Ingatan tentang Karel kembali menghantui-bagaimana mereka semua mem-bully Karel sampai anak itu menangis di depan semua orang, lalu pergi meninggalkan sekolah. Davin tahu, semuanya sudah terlalu jauh, tapi dia tidak pernah menyangka balasan dendam akan datang sekeras ini.

Di Tempat Lain

Rafael berdiri di tengah ruangan gelap. Cahaya redup dari lampu gantung di atas kepala membuat bayangannya terlihat besar dan mengintimidasi. Di depannya, sebuah papan kayu dengan foto Davin, Raka, dan Bima terpasang, masing-masing dengan coretan merah menyilang di wajah mereka.

Pisau kecil yang menjadi senjata utamanya berada di tangannya, berkilauan karena cahaya lampu. Rafael menghela napas panjang, lalu melangkah mendekati papan tersebut.

"Davin," gumamnya sambil menatap foto itu. "Lo yang paling licik, paling pintar memanfaatkan kelemahan Karel."

Dia mengambil spidol merah dan menuliskan kata "segera" di bawah foto Davin.

"Tapi lo nggak akan bisa lari dari gue."

Keesokan harinya

Davin memutuskan untuk bertemu dengan Raka dan Bima di sebuah kafe kecil yang jarang dikunjungi orang. Ketiganya terlihat tegang, tidak ada pembicaraan santai seperti biasa.

"Gue rasa kita harus lapor polisi," Bima membuka pembicaraan dengan nada takut.

"Lapor polisi buat apa? Kita nggak punya bukti kalau Rafael yang ngelakuin semua ini!" Davin menjawab dengan nada frustrasi.

"Tapi kita tahu dia pelakunya! Gue nggak mau jadi korban berikutnya," sahut Raka sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di meja.

Davin menarik napas panjang. "Kalau kita lapor, malah bisa balik ke kita. Lo lupa apa yang kita lakuin ke Karel? Kalau polisi tahu, habis kita semua."

Perkataan Davin membuat suasana semakin sunyi. Ketiganya tahu apa yang mereka lakukan pada Karel sudah melampaui batas, tapi tidak ada yang siap menerima konsekuensinya.

"Jadi kita harus gimana?" tanya Bima dengan suara lirih.

"Kita hadapi dia," Davin akhirnya berkata. "Rafael nggak mungkin sekuat itu kalau kita bertiga."

Raka dan Bima saling berpandangan, ragu. Tapi tidak ada pilihan lain.

Malam Hari

Davin kembali ke rumahnya dengan langkah cepat. Hujan turun deras, membuatnya menggigil meski sudah mengenakan jaket tebal. Dia membuka pintu dan segera mengunci semua kunci yang ada, memastikan tidak ada yang bisa masuk.

Dia berjalan menuju kamarnya dan berhenti sejenak di depan cermin besar di lorong. Wajahnya pucat, kantung matanya menunjukkan kurang tidur. Saat dia hendak melanjutkan langkahnya, cermin itu memantulkan sesuatu.

Bayangan seseorang berdiri di belakangnya.

Davin berbalik dengan cepat, tapi lorong itu kosong. Hanya dirinya dan suara hujan di luar.

"Gue mulai gila," gumamnya sambil memijat pelipisnya.

Tapi sebelum dia bisa melangkah lagi, lampu rumahnya berkedip-kedip. Ketegangan di tubuhnya semakin meningkat.

"Siapa di sana?!" teriak Davin, mencoba terdengar berani.

Tidak ada jawaban, hanya suara lampu yang berdecit pelan.

Dia mengambil langkah ke arah ruang tamu, mencoba mencari sesuatu yang bisa dijadikan senjata. Tapi sebelum dia sempat menemukan apa pun, suara langkah kaki terdengar dari lantai atas.

Davin mematung. Dia tinggal sendirian. Tidak seharusnya ada orang lain di rumah.

"Rafael..." bisiknya, matanya membulat karena ketakutan.

Dengan gemetar, dia mengambil lampu meja kecil sebagai alat pertahanan dan mulai menaiki tangga, langkahnya berat dan pelan. Setiap langkah terasa seperti mendekati kematian.

Sampai akhirnya dia sampai di lantai atas. Pintu kamar tidurnya terbuka sedikit, dan cahaya redup terlihat dari dalam.

Davin mengatur napas, lalu mendorong pintu itu dengan keras. Tapi kamar itu kosong.

Dia berbalik untuk meninggalkan kamar, tapi tiba-tiba suara pintu menutup dengan keras membuatnya terperangkap.

Rafael berdiri di sana, wajahnya dingin tanpa emosi. Pisau kecil berlumuran darah di tangannya.

"Lo udah lama gue tunggu," Rafael berbisik, nadanya penuh kebencian.

.........

Di Balik Bayangan DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang