Bab 44: Kemenangan yang Terlambat

0 0 0
                                    


Suasana rumah yang sebelumnya penuh dengan ketegangan kini terdiam, hanya suara hujan yang masih terdengar di luar, mengalun lemah seiring dengan turunnya malam. Semua yang terjadi dalam beberapa jam terakhir meninggalkan bekas yang dalam, dan rumah itu kini sepi, hanya menyisakan dua tubuh yang terkapar di lantai.

Namun, meski semua harapan
terasa telah musnah, ada sesuatu
yang tak terduga. Ketika semua
tampak berakhir, suara langkah kaki
tiba-tiba terdengar di lorong rumah.
Langkahnya tenang, namun penuh
ketegangan. Tangan yang
memegang pisau, seakan siap untuk
melanjutkan pekerjaan yang belum
selesai.

Rafael yang berdiri di tengah ruangan, penuh dengan darah dan kemarahan yang masih membara, mendengus, menatap kedua tubuh yang tergeletak. la berpikir sudah mengakhiri segalanya. Raka dan Bima sudah terjatuh di bawahnya, tak ada yang bisa melawan. Namun, masih ada sesuatu yang mengganggu pikiran Rafael- kekosongan yang tak bisa ia penuhi.

Tiba-tiba, sosok yang tidak diduga muncul di ambang pintu. Rey. Dia berdiri di sana, wajahnya tersembunyi dalam bayangan, hanya sorot matanya yang terlihat penuh kemarahan dan penyesalan. Rafael terkejut, seolah tak percaya bahwa Rey masih hidup, dan lebih mengejutkan lagi, ia berdiri di sini, di tengah-tengah pertempuran yang sedang berlangsung.

"Lo..." Rafael melangkah maju, suara dinginnya terdengar menggelegar. "Kenapa lo di sini? Pihak mana lo pilih, Rey?"

Rey tersenyum tipis, senyuman yang sarat dengan penyesalan. "Gue di sini bukan untuk mendukung lo, Rafael. Gue di sini untuk menebus kesalahan gue."

Rafael memicingkan mata, mencoba mencari kelemahan dalam pandangan Rey. "Lo pikir lo bisa berhenti? Lo tahu apa yang udah gue lakukan. Gue nggak akan berhenti sampai semua selesai."

Rey mengangkat tangannya, mengulurkan tangan kosong ke depan, seolah tidak berniat untuk melawan. "Tapi semua ini nggak akan selesai dengan cara ini," katanya dengan suara tenang. "Gue tahu lo sakit, Rafael. Tapi ini bukan cara untuk menghapus semua rasa sakit lo."

Rafael tertawa kecil, lalu berbalik ke arah tubuh Bima dan Raka. "Mereka semua cuma alat. Kalau lo masih berpikir lo bisa menghentikan gue, lo salah," ujarnya dengan suara penuh kebencian.

Namun, Rey tidak gentar. Dengan cepat, ia melangkah maju, dan dalam satu gerakan cepat, ia menyambar pisau yang tergeletak di lantai, pisau yang sebelumnya digunakan Rafael untuk membunuh Raka dan Bima.

"Lo salah, Rafael. Ini saatnya lo berhenti," kata Rey, suaranya kini penuh dengan keteguhan.

Tanpa ampun, Rey melangkah lebih dekat dan mengarahkannya ke Rafael. Rafael terkejut dengan gerakan Rey yang begitu cepat, namun ia mencoba menghindar. Terjadi pergumulan sengit antara keduanya, masing-masing berusaha saling mengalahkan.

"Lo nggak akan menang, Rey. Lo nggak bisa lawan gue,” teriak Rafael dengan suara penuh amarah, namun Rey tetap bergerak dengan tenang, menghindar dari setiap serangan yang datang.

Namun, Rey akhirnya berhasil melumpuhkan Rafael dengan sebuah serangan tajam. Pisau itu menancap di sisi perut Rafael, menyebabkan pria itu terjatuh, darah mengucur deras dari luka yang baru saja dibuat.

Rafael terduduk di lantai, matanya menatap penuh kejutan pada Rey. "Gue... nggak nyangka..." bisiknya, suaranya serak.

Rey berdiri di atasnya, tatapannya dingin, namun ada penyesalan di dalamnya. "Lo memilih jalan lo sendiri, Rafael. Semua ini hasil dari pilihan lo."

Rafael mencoba bangkit, namun tubuhnya terlalu lemah. "Lo nggak bisa menghentikan apa yang udah terjadi, Rey," ia berkata dengan suara tercekat.

Rey hanya diam. Hujan yang turun dengan deras dari luar kini seolah menjadi saksi bisu atas kekalahan yang tak terhindarkan. Rafael akhirnya jatuh ke tanah, tak mampu lagi melawan, meninggalkan dunia ini dengan sejuta pertanyaan yang tak terjawab.

Setelah Rafael terjatuh, Rey mendekati tubuh Raka dan Bima. la memeriksa mereka, wajahnya penuh dengan keprihatinan. Keduanya tak bisa diselamatkan lagi. Mereka telah tewas, menjadi korban dari perang yang tak pernah mereka inginkan.

Rey berdiri, menatap langit yang dilapisi hujan, seolah mengingat kembali semua keputusan yang pernah ia buat. "Gue gagal melindungi kalian," katanya pelan. Namun ia tahu, tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain mengakhiri penderitaan yang telah berlarut-larut.

Di luar rumah, suara hujan semakin keras, seolah alam ikut menangisi malam itu. Keputusan yang terlambat, rasa penyesalan yang tak terhapuskan, dan korban yang tak terhitung jumlahnya. Begitulah akhir dari cerita ini-sebuah kisah tentang pengkhianatan, balas dendam, dan akhirnya, penyesalan yang datang terlambat.

Di Balik Bayangan DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang