Bab 8: Teror di Luar Sekolah

2 0 0
                                    

Hari itu, Karel memutuskan untuk pulang lebih lambat dari biasanya. Dia berharap Vince dan gengnya sudah pergi. Namun, harapannya pupus ketika langkahnya terhenti di depan gerbang sekolah. Di kejauhan, dia melihat Vince dan teman-temannya bersandar di motor mereka, seolah-olah menunggu seseorang.

Insting Karel berteriak untuk berbalik dan mencari jalan lain, tapi itu sudah terlambat. “Eh, si pengecut muncul juga!” seru Raka, suaranya menggema di antara tawa teman-temannya.

Karel mencoba mempercepat langkah, tetapi Vince segera menghampirinya, mencegat dengan motornya. “Lo mau ke mana, hah? Kita belum selesai!”

“Please, gue cuma mau pulang,” gumam Karel, suaranya bergetar.

Namun, permohonannya tidak digubris. Vince turun dari motornya, merangkul bahu Karel dengan kasar. “Lo tau apa yang gue nggak suka dari lo, Karel? Lo tuh lemah, nyebelin, dan nggak guna!”

“Gue nggak mau cari masalah,” kata Karel sambil berusaha melepaskan diri.

Sayangnya, usahanya malah memancing kemarahan. Vince mendorong Karel hingga terhuyung ke arah gang kecil di samping sekolah. Di tempat sepi itu, dia dikelilingi oleh geng Vince.

“Kalau lo nggak mau cari masalah, kenapa hidup lo aja nggak selesai? Lebih baik lo hilang aja!” ejek Bima, dengan nada penuh kebencian.

Raka menyeringai dan melempar tas Karel ke tanah. “Lihat, apa isi tas ini? Mungkin kita bisa cari sesuatu yang seru!”

Mereka mulai mengacak-acak tas Karel, membuang buku-bukunya ke genangan air. Karel hanya bisa berdiri kaku, air mata mulai menggenang di matanya.

“Tendang dia, Vince. Biar kapok!” ujar Raka.

Vince tidak menunggu lama. Dengan satu gerakan, dia menendang lutut Karel, membuatnya jatuh berlutut ke tanah. Kemudian tendangan lain menyusul, tepat di punggungnya. Karel terbatuk kesakitan, tapi tidak berani melawan.

“Ayo, berdiri, pengecut!” teriak Vince sambil menarik rambut Karel, memaksa wajahnya menghadap mereka.

“Lo nggak pantas ada di sini. Ngerti?” Vince meludah tepat di wajah Karel sebelum melepaskannya.

Sementara itu, Rey, yang kebetulan lewat, melihat dari jauh aksi tersebut. Namun, dia terlalu takut untuk mendekat. Dalam hatinya, Rey merasa bersalah karena tidak pernah bisa melindungi Karel, meskipun dia adalah satu-satunya teman Karel.

Rey mengambil langkah berani dan menghubungi Rafael. "Bang, Karel dalam bahaya. Vince dan gengnya lagi ngebully dia di belakang sekolah!"

Rafael segera berlari keluar rumah. Dalam pikirannya hanya ada satu hal: keselamatan adiknya. Dia tahu ini tidak bisa dibiarkan lagi.

Namun, ketika Rafael sampai, Vince dan gengnya sudah pergi, meninggalkan Karel terkapar sendirian di gang. Rafael melihat adiknya, wajahnya penuh luka dan seragamnya kotor.

“Karel!” teriak Rafael sambil berlari menghampiri.

Karel hanya menunduk, tidak mampu menatap mata abangnya. “Bang... maafin aku...,” bisiknya.

Rafael memeluk Karel erat, menahan amarah dan rasa bersalah yang mulai meluap. Dia bersumpah dalam hati: **“Gue nggak akan biarin mereka ngerusak hidup lo lagi.”**

Di Balik Bayangan DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang