Bab 36: Langkah Terakhir

0 0 0
                                    


Pagi datang membawa kabut tebal yang menyelimuti hutan di belakang gudang tua itu. Udara dingin menggigit kulit, menambah ketegangan yang sudah membuncah sejak malam sebelumnya. Di dalam gudang, Rafael masih terikat di kursinya. Tatapannya tajam, penuh kebencian, tapi juga menyiratkan sedikit kemenangan.

Di sudut ruangan, Davin, Bima, dan Raka berdiri dengan wajah tegang. Victor masuk membawa sebuah tas besar. la meletakkannya di meja, membuka ritsletingnya perlahan. Isi tas itu membuat ketiganya menelan ludah: tali, lakban, dan sebilah pisau panjang yang terlihat baru diasah.

"Kita serius mau ngelakuin ini?" Bima bertanya, suaranya hampir bergetar.

"Kita nggak punya pilihan," jawab Victor datar. "Kalau Rafael dibiarkan hidup, dia nggak akan berhenti. Ini satu-satunya cara."

"Tapi... bunuh dia?" Raka memandang Victor dengan mata membelalak. "Lo yakin nggak ada cara lain?"

Victor menghela napas berat. "Kalau kalian punya ide lebih baik, gue dengar sekarang. Tapi inget, ini bukan cuma soal kita. Ini soal semua orang yang dia ancam, semua nyawa yang dia ambil."

Rafael Tersenyum

Sementara mereka berdebat, Rafael hanya tersenyum kecil. "Lihat kalian. Hebat, ya? Sok jadi pahlawan, tapi nggak punya keberanian buat ambil keputusan besar."

"Diam lo!" Davin membentak, tapi Rafael hanya tertawa.

"Davin, lo selalu jadi yang paling pengecut di antara mereka. Lo pikir keputusan ini bakal nyelamatin lo? Lo semua sama aja kayak gue. Lo pikir dengan ngebunuh gue, semuanya bakal selesai?" Rafael mencondongkan tubuhnya ke depan sejauh tali mengizinkan. "Kalian cuma menunda yang nggak terhindarkan."

Victor menghampiri Rafael, mencengkeram kerah bajunya. “Lo pikir gue nggak bakal ngelakuin ini?"

"Tentu saja lo bakal ngelakuin,” jawab Rafael, matanya penuh keyakinan. "Tapi lo bakal kehilangan sesuatu dalam prosesnya.”

Persiapan Dimulai

Victor memutuskan bahwa mereka harus segera bergerak. la menginstruksikan Davin dan Raka untuk memastikan area di sekitar gudang aman, sementara Bima tetap di dalam untuk mengawasi Rafael.

Di luar, Davin dan Raka berjalan di antara pohon-pohon dengan hati-hati. Kabut membuat pandangan mereka terbatas.

"Gue masih nggak yakin ini keputusan yang benar," kata Raka pelan.

"Gue juga,” jawab Davin. "Tapi kita nggak bisa biarin dia terus-terusan meneror kita. Ini udah terlalu jauh.”

"Kita bakal jadi pembunuh, Davin."

Davin terdiam. Kata-kata Raka menghantam keras di dadanya. Tapi ia tahu, dalam situasi ini, moralitas terasa seperti kemewahan yang tak bisa mereka miliki.

Di Dalam Gudang

Bima duduk di kursi, menjaga Rafael dengan gelisah. la menggenggam tongkat besi di tangannya, mencoba terlihat tenang. Tapi Rafael, dengan tatapan tajamnya, berhasil membuatnya goyah.

"Lo gemetar, Bima," Rafael mengejek. "Lo nggak punya nyali buat bunuh gue, kan?"

"Diam," jawab Bima pendek.

"Tahu nggak, gue sebenarnya kasihan sama lo. Lo ini cuma pengikut. Selalu nurut sama apa kata Davin atau Victor. Lo nggak pernah punya pendirian sendiri."

Bima berdiri tiba-tiba, tongkat besi di tangannya terangkat sedikit. Rafael hanya tersenyum sinis. "Ayo, pukul gue. Lihat apakah itu bikin lo merasa lebih baik."

Tepat saat itu, Victor kembali masuk ke gudang. la menatap Bima dengan tajam, lalu berjalan mendekati Rafael.

"Kita selesai main-main," kata Victor dingin. "Hari ini lo bayar semua dosa lo."

Eksekusi Dimulai

Mereka memindahkan Rafael ke tengah gudang, mengikatnya ke sebuah kursi yang lebih kokoh. Raka kembali dari luar, wajahnya tegang. "Area aman. Nggak ada yang ngikutin kita."

Victor mengangguk. la mengambil pisau panjang dari meja, memeriksanya dengan hati-hati. Rafael, meskipun tahu apa yang akan terjadi, tetap terlihat tenang.

"Lo nggak takut mati, ya?" tanya Davin akhirnya.

Rafael tertawa kecil. "Takut? Gue udah mati sejak Karel pergi. Lo cuma menyelesaikan apa yang udah dimulai."

Victor mengangkat pisaunya, siap menyudahi semuanya. Tapi sebelum ia bergerak, suara sirine terdengar dari kejauhan. Semua orang membeku.

"Polisi," kata Raka, suaranya bergetar.

Victor menjatuhkan pisau itu ke lantai. "Siapa yang kasih tahu mereka?"

Rafael tersenyum lebar. "Gue nggak pernah datang tanpa rencana. Gue selalu selangkah lebih depan dari kalian."

Pelarian atau Penangkapan

Victor mengambil keputusan cepat. "Kita harus pergi sekarang!"

"Tapi Rafael-" protes Davin.

"Dia udah kalah," jawab Victor. "Kalau kita ketahuan di sini, kita semua selesai."

Mereka meninggalkan Rafael yang masih terikat, berjalan keluar dari gudang menuju hutan di belakangnya. Sirine semakin mendekat, cahaya merah dan biru mulai terlihat dari kejauhan.

Di dalam gudang, Rafael duduk sendiri, tersenyum puas. Meskipun kalah, ia tahu satu hal: permainan ini belum benar-benar selesai.

.......

Di Balik Bayangan DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang