Hujan deras masih mengguyur kota, seperti melukis suasana suram di atas semua kekacauan yang terjadi. Di tempat persembunyian mereka, Davin, Bima, dan Raka semakin larut dalam ketakutan yang tak terbendung. Semalam adalah puncak teror, dan kini mereka tahu bahwa waktu mereka semakin menipis.
“Gue nggak bisa kayak gini terus,” ujar Bima, suaranya pecah. Ia berdiri dari kursinya, berjalan mondar-mandir seperti orang kehilangan akal. “Gue nggak mau jadi Edo berikutnya!”
“Duduk, Bim!” Davin menggeram. “Panik nggak bakal bantu kita. Kita harus berpikir jernih.”
“Berpikir jernih?!” Raka mendengus sinis. “Lo bilang berpikir jernih, tapi kita bahkan nggak tahu Rafael ada di mana! Lo pikir dia bakal ngasih kita waktu buat mikir?!”
“Diem, Rak!” Davin membentak, wajahnya memerah karena amarah.
Ketegangan di ruangan itu seperti bom waktu yang siap meledak. Ketiganya kini saling memandang dengan rasa frustrasi yang bercampur paranoia.
---
Di Tempat Lain
Rafael duduk di sebuah gudang tua yang penuh dengan peralatan usang dan debu. Di hadapannya, ada beberapa foto Davin, Bima, dan Raka yang tergeletak acak di atas meja. Di sebelah foto-foto itu, ada pisau berkilau yang baru saja diasah.
Ia memandang foto Davin dengan tatapan dingin. “Lo yang berikutnya,” gumamnya, sambil menyelipkan pisau itu ke sarung di pinggangnya.
Di meja, terdapat ponsel yang sudah ia siapkan. Rafael menekan beberapa tombol, memutar rekaman suara napas berat dan tawa mengerikan yang direkamnya sebelumnya. Rencananya sederhana tapi efektif: membuat mereka semakin kehilangan akal.
“Kalau ketakutan nggak cukup buat ngancurin mereka, gue sendiri yang bakal hancurin.”
---
Teror Baru Dimulai
Malam itu, Davin yang sedang mencoba tidur tiba-tiba terbangun oleh suara ponselnya berdering. Dengan malas, ia mengangkatnya.
“Halo?”
Tak ada jawaban. Hanya suara napas berat dan tawa mengerikan yang terdengar dari seberang.
“Siapa ini?! Jangan main-main sama gue!” Davin berteriak, tapi ponsel itu langsung mati.
Ia membanting ponselnya ke kasur, tubuhnya gemetar. Ia tahu itu Rafael.
Di waktu yang sama, Bima mendengar suara langkah kaki di luar kamarnya. Ia mencoba mengintip dari celah pintu, tapi tak ada siapa-siapa. Saat ia memberanikan diri untuk membuka pintu, sebuah amplop berisi foto dirinya yang sedang tidur terjatuh di lantai.
Bima mundur dengan wajah pucat. Di balik foto itu tertulis:
“AKU SELALU MEMANTAU.”Sementara itu, Raka menemukan boneka kecil yang tergantung di pintu rumahnya pagi itu, dengan leher boneka itu terikat tali. Pesan singkat tertera di perut boneka itu:
“SEGERA GILIRANMU.”---
Keesokan Harinya
Mereka bertiga berkumpul di tempat persembunyian lagi, kali ini dalam kondisi lebih kacau dari sebelumnya.
“Gue nggak tahan lagi!” Bima berkata, hampir menangis. “Dia bisa masuk ke rumah gue. Gue nggak aman di mana pun!”
Raka mengangguk setuju. “Gue juga. Kita harus ambil tindakan. Ini udah keterlaluan!”
Davin hanya diam, tatapannya kosong. Ia memutar ulang semua kejadian dalam pikirannya, mencoba mencari celah untuk bertahan. Tapi semuanya terasa sia-sia. Rafael seperti hantu yang selalu selangkah lebih maju.
“Davin, lo mau diem aja?!” Raka membentaknya.
Davin mengangkat wajahnya perlahan. “Kita harus perangkap dia.”
Bima dan Raka menatapnya, bingung.
“Perangkap?” tanya Bima. “Gimana caranya? Dia lebih pintar dari kita!”
“Dia cuma manusia, Bim,” jawab Davin, suaranya pelan tapi penuh keyakinan. “Kalau dia bisa ngelakuin semua ini, dia juga punya kelemahan. Kita tinggal cari tahu apa kelemahannya, dan jebak dia di sana.”
“Tapi gimana?” Raka bertanya, masih skeptis.
“Kita pakai ketakutan kita sendiri buat ngelawan dia,” kata Davin sambil tersenyum samar.
---
Di Gudang Rafael
Rafael sedang mempersiapkan rencana berikutnya ketika ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dengan teks sederhana:
“KITA TAHU DI MANA LO.”Ia tertawa kecil. “Jadi mereka mau melawan? Lucu.”
Tapi saat ia membaca pesan itu lebih saksama, ia merasakan sedikit keraguan di hatinya. Pesan itu disertai dengan lokasi—sebuah gudang tua di pinggiran kota. Tempat yang sudah lama ditinggalkannya.
“Berani juga mereka,” gumamnya sambil menyeringai. “Kalau mereka pikir bisa jebak gue, mereka salah besar.”
Ia mengambil pisaunya dan bergegas keluar, menuju lokasi yang diberikan. Tapi yang Rafael tidak tahu, kali ini, ia sedang menuju perangkap yang disiapkan oleh musuhnya.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Bayangan Dendam
Mystery / ThrillerKarel Pratama adalah seorang siswa SMA yang hidup di bawah bayang-bayang rasa takut dan penghinaan. Setiap hari, ia menjadi sasaran bullying dari sekelompok siswa yang tak kenal belas kasihan. Meski memiliki sahabat setia, Rey, yang selalu mendukung...