Sejak pertemuan itu, rasa ketegangan semakin memuncak di antara mereka. Rafael, dengan ancaman yang jelas dan terang-terangan, mengubah segalanya. Semua yang semula terasa seperti teka-teki kini menjadi kenyataan yang menakutkan. Edo, yang masih merasa terombang-ambing dengan ketakutannya, menjadi semakin terisolasi. Setiap sudut sekolah seolah memandangnya dengan ancaman yang nyata.
Davin, Bima, dan Raka, yang sebelumnya merasa cukup kuat untuk menghadapi ancaman apapun, kini mulai merasakan ketakutan yang sama. Rafael bukanlah sosok yang bisa dipandang sebelah mata. Keberadaannya di sekolah itu, dengan sengaja atau tidak, mengingatkan mereka akan kekuatan yang tidak mereka ketahui. Tidak hanya itu, ia datang dengan satu tujuan yang pasti: untuk membuat mereka membayar.
Pagi Itu di Sekolah
Suasana di sekolah terasa seperti berada di dalam perangkap. Semua orang tampak waspada. Namun, seakan-akan teror yang mereka alami masih terlalu sulit untuk dicerna. Bagaimana bisa, seseorang yang selama ini mereka anggap sebagai bagian dari masa lalu yang terlupakan, muncul kembali dengan keinginan untuk menghancurkan mereka?
Davin berjalan lebih cepat menuju ruang kelasnya, matanya sesekali melirik ke sekitar, memastikan tidak ada yang mengikuti. Bima dan Raka menyusul di belakangnya, wajah mereka penuh tanda tanya, sementara Edo berjalan beberapa langkah di belakang mereka, tampak terbebani dengan rasa takut yang semakin menghimpitnya.
"Jadi, gimana sekarang?" tanya Bima, suara penuh ketegangan.
"Dia bukan cuma abang Karel. Dia lebih dari itu," jawab Davin, suara terdengar tegas meski hati mereka masih diliputi keraguan. "Rafael punya rencana yang lebih besar dari yang kita kira. Dia udah mengincar kita, dan kita nggak bisa lari dari dia."
“Terus kita ngapain? Kita harus lakukan sesuatu!" Raka tampak gelisah. "Gue nggak bisa tenang kalau kita nggak tahu apa yang dia rencanakan."
“Pertama, kita harus cari tahu apa yang dia inginkan,” Davin berkata. “Kita nggak bisa langsung melawan tanpa tahu apa yang ada di balik semua ini.”
Tapi, di dalam hati mereka, Davin tahu satu hal yang pasti—mereka sudah berada di jalan yang tidak bisa mundur lagi. Rafael tidak akan berhenti sampai dia mendapat apa yang dia inginkan. Dan mereka, entah bagaimana, entah kenapa, sudah menjadi bagian dari permainan ini.
---
Di Kamar Rafael
Di sebuah kamar kecil yang penuh dengan bayangan kelam, Rafael duduk menatap peta kota yang terbentang di atas meja. Di sampingnya, ada foto-foto lama yang menunjukkan masa kecilnya bersama Karel. Tapi, ada satu foto yang menarik perhatiannya lebih dari yang lain—sebuah foto keluarga yang menunjukkan dirinya, Karel, dan orang tua mereka, tersenyum bahagia. Tentu saja, itu sebelum semuanya hancur.
Rafael memandangi foto itu, dan senyumnya terengkuh penuh dendam. "Kalian semua udah terlalu lama hidup damai. Saatnya gue ambil kembali apa yang seharusnya jadi milik gue," gumamnya dengan suara pelan, namun tegas. Matanya menyala dengan kebencian yang tidak bisa disembunyikan.
Di hadapannya, sebuah daftar nama dengan tanda silang di samping beberapa nama, menunjukkan bahwa ia telah berhasil melukai atau bahkan menghancurkan banyak orang yang pernah menghalangi jalannya. Edo, Bima, Raka, dan Davin—semua nama itu sudah berada dalam garis bidiknya. Mereka adalah bagian dari masalah yang harus diselesaikan.
“Ini baru dimulai,” Rafael berkata pada dirinya sendiri, menatap pisau yang tergeletak di meja, seolah memberi tahu dirinya bahwa langkah selanjutnya akan lebih kejam lagi.
---
Kembali ke Sekolah
Setelah kelas selesai, mereka semua berkumpul di tempat yang lebih aman—di ruang bawah tanah sekolah, tempat yang mereka anggap sebagai tempat persembunyian dari mata-mata yang bisa saja mengawasi mereka.
“Gue masih nggak ngerti,” Raka mulai, “Kenapa dia begitu bersemangat untuk ngejar kita? Apa yang kita lakuin sampai dia bisa jadi sekejam ini?”
Edo menunduk, wajahnya cemas. “kayak nya dia mau balas dendam ke kita karena telah ngebully karel sampai meninggal itu yang gw tau , Raka. Gue nggak bisa lupa sama apa yang dia bilang waktu itu—dia mau balas dendam.”
“Apa Karel bilang tentang kita yang selalu membuli dia kepada Rafael yang bikin Rafael sampai sebegitu bencinya sama kita?” Bima bertanya, suara penuh kebingungan.
Davin menghela napas panjang. "Mungkin. Tapi kita nggak bisa hanya berdiri diam. Kita harus cari tahu siapa yang ada di balik semua ini. Dan kalau perlu, kita hadapi langsung.”
Tapi saat mereka sedang berbicara, suasana seketika berubah gelap. Lampu tiba-tiba padam, meninggalkan mereka dalam kegelapan. Suara-suara aneh terdengar, seperti langkah kaki yang menghampiri mereka dari kejauhan.
“Ini dia...” Davin berbisik, tangannya meraba-raba untuk menemukan senter di tasnya. “Rafael...”
Namun sebelum mereka bisa menyalakan senter, suara langkah kaki itu sudah terlalu dekat, terlalu cepat. Seperti mimpi buruk yang tidak bisa mereka hindari.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Bayangan Dendam
Mystery / ThrillerKarel Pratama adalah seorang siswa SMA yang hidup di bawah bayang-bayang rasa takut dan penghinaan. Setiap hari, ia menjadi sasaran bullying dari sekelompok siswa yang tak kenal belas kasihan. Meski memiliki sahabat setia, Rey, yang selalu mendukung...