Bab 22: Ketakutan yang Menjerat

1 0 0
                                    

Edo tidak tidur semalaman. Bayangan ancaman yang ia terima terus membayang-bayangi pikirannya. Ia mulai merasa semua orang di sekitarnya sedang mengawasinya. Bahkan di sekolah, ia menghindari kontak mata dengan siapa pun.

Namun, yang membuat Edo semakin paranoid adalah perubahan sikap Davin. Biasanya, Davin adalah sosok yang penuh percaya diri dan menjadi "pemimpin" kelompok mereka. Tapi sejak kematian Vince, Davin terlihat lebih pendiam. Edo yakin ada sesuatu yang Davin sembunyikan, dan ia bertekad untuk mengetahuinya.

Di saat yang sama, Rafael mengamati Edo dari kejauhan. Ia tahu Edo semakin terpuruk dalam rasa bersalah dan ketakutan. Baginya, ini adalah bagian dari rencana besar untuk membuat mereka menderita sebelum akhirnya merasakan pembalasan yang sesungguhnya.

---

Malam itu, Edo memutuskan untuk mengunjungi rumah Davin. Ia merasa hanya Davin yang cukup kuat untuk membantunya memahami apa yang sebenarnya terjadi. Saat ia mengetuk pintu, Davin membukanya dengan wajah letih.

“Ada apa, Do? Malam-malam begini,” tanya Davin sambil melirik ke sekeliling.

“Kita harus ngomong. Gue nggak tahan lagi. Lo juga ngerasa ada yang aneh, kan?” Edo langsung masuk tanpa menunggu undangan.

Davin menghela napas berat dan menutup pintu. Mereka duduk di ruang tamu yang sepi. Suasana rumah Davin terasa berbeda, lebih gelap dan dingin dari biasanya.

“Lo yakin ini semua ada hubungannya sama Vince?” Davin memulai, suaranya terdengar datar.

Edo mengangguk cepat. “Lo inget nggak waktu kita ngebully Karel? Dia selalu ngomong kalau kita bakal nyesel. Gue rasa... ini karma.”

Davin terdiam, tangannya mengepal di atas meja. Edo memperhatikan perubahan ekspresi Davin, tapi sebelum ia bisa berkata lebih jauh, Davin berdiri tiba-tiba.

“Gue nggak percaya sama omong kosong lo, Do! Jangan bikin gue tambah pusing,” bentaknya.

“Tapi Vince mati, Vin! Dan sekarang gue dapat ancaman!” Edo berteriak, matanya merah menahan emosi.

Davin terdiam lagi, tapi kali ini raut wajahnya berubah. Ia mendekati Edo, menatapnya tajam, lalu berbisik, “Kalau bener ini ada hubungannya sama Karel, lo harus siap. Kita semua harus siap.”

---

Di sisi lain

Rafael berada di luar, mengawasi rumah Davin dengan teropong kecil. Ia tahu Edo ada di sana, dan ia memutuskan ini adalah waktu yang tepat untuk memulai langkah berikutnya.

Rafael melemparkan sebuah batu kecil ke arah jendela lantai dua. Batu itu terikat dengan sebuah kertas bertuliskan:
“Kamu tidak akan pernah aman.”

Batu itu menembus kaca, membuat suara pecahan yang menggelegar. Edo dan Davin langsung melompat dari kursinya, panik mencari tahu apa yang terjadi.

Saat Davin berlari ke luar untuk memeriksa, ia tidak menemukan siapa pun. Hanya udara malam yang dingin dan kegelapan yang menyelimuti. Tapi jauh di sudut jalan, Rafael berdiri di bawah bayangan pohon, tersenyum puas sambil menyaksikan mereka kebingungan.

“Biarkan mereka merasa apa itu ketakutan,” gumamnya.

---

Keesokan harinya

Berita tentang kaca rumah Davin yang pecah mulai menyebar di sekolah. Raka dan Bima mulai merasa bahwa ancaman yang sebelumnya dialami Edo kini menyasar mereka semua. Ketakutan mulai menyelimuti kelompok ini, dan setiap dari mereka tahu bahwa ini baru awal dari sesuatu yang jauh lebih mengerikan.

Rafael, di sisi lain, semakin mendalami rencananya. Ia menyadari bahwa menciptakan ketakutan lebih efektif daripada langsung menyerang. Teror yang ia tanamkan akan perlahan menghancurkan mental mereka, membuat mereka merasa bahwa bayangan Karel masih mengintai mereka.

“Korban berikutnya sudah siap,” pikir Rafael.

Di Balik Bayangan DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang