Aku kesepian, dan itu sangat tak bisa diterima. Aku tak pernah merasa kesepian untuk seumur hidupku bahkan ketika aku hanya memiliki diriku sendiri.
Menjadi satu-satunya anak perempuan dalam keluarga yang didominasi oleh tiga anak laki-laki di atasku, dengan dunia mereka sendiri yang jarang sekali melibatkan aku di dalamnya, tak satu kali pun aku merasa kesepian.
Aku terbiasa dengan kesendirian. Aku terbiasa melakukan semuanya sendiri, dan aku tak masalah di waktu-waktu ketika teman-temanku sibuk; entah itu karena tugas kuliah, atau karena mereka mulai berkencan.
Jadi suatu hari aku tiba-tiba saja jatuh cinta. Itu terjadi secara alami tanpa ada perencanaan sama sekali. Aku tak bermaksud menenggelamkan diri pada perasaan yang baru pertama kali itu kurasakan. Namun seperti yang sering kubaca dan kutonton di buku dan film bertema romansa, perasaan itu menjadi nyaris tak tertahankan setiap kali aku melihatnya.
Uchiha Sasuke, itulah nama yang tertera di buku catatannya. Sebuah notebook dengan sampul berwarna biru tua yang dipenuhi oleh sticker bertema game online yang sangat disukai oleh para anak laki-laki beberapa tahun belakangan.
Seharusnya aku melihat pertanda itu. Seharusnya aku menghindarinya cukup dengan alasan itu saja, bukannya mencari tahu mengenai dirinya yang sebenarnya memiliki tiga kelas yang sama denganku di semester ini.
Seharusnya aku menolak ajakan kencannya bahkan walau ia memiliki cara bicara yang lembut dengan suara rendah, juga senyuman yang sangat rupawan. Jika saja aku menolak hubungan ini sejak awal, mungkin saja rasa kesepian itu tak akan pernah aku rasakan.
Aku jatuh cinta untuk pertama kalinya, dan ia pun mengatakan kalau ia jatuh cinta padaku.
Tapi sayangnya, bahkan walau ia sudah memperlakukanku dengan baik dan mengucapkan kalimat cinta itu lagi dan lagi, keberadaanku tak akan pernah lebih penting dari game online favoritnya.
00000
"Apa kau marah?" Ia bertanya ketika aku dengan sengaja mengabaikan pesannya selama dua hari berturut-turut.
Kupikir ia akan langsung mencariku begitu kuabaikan. Tapi ia tetap saja menghabiskan waktunya bersama Uzumaki Naruto, teman dekatnya, sebelum menyadari tentang kemarahanku.
Aku merajuk, dan ini bukan yang pertama kalinya.
Menghabiskan waktu dengan duniaku sendiri untuk seumur hidupku, aku sedikit kesulitan mengungkapkan perasaanku. Hal-hal tentang mengeluarkan emosi secara terang-terangan, mengatakan alasan di balik kekesalan dan kemarahan itu, aku tak bisa melakukannya. Aku merasa malu membuat drama hanya karena rasa tak menyenangkan yang kurasakan sendiri.
Tapi kali ini aku sangat ingin mengungkapkannya. Perasaan yang membuatku seringkali menangis seorang diri di balik selimutku pada malam hari. Malam hari yang tak cuma satu kali.
"Ya," jawabku singkat. Sulit sekali menahan diri agar tak menangis. Biasanya aku tak mengungkapkan lebih lanjut. Tapi kali ini berbeda. "Aku merasa ini tak bisa dilanjutkan. Rasanya sungguh melelahkan."
Ia terlihat terkejut untuk beberapa saat sebelum dapat mengendalikan dirinya seperti biasa.
Kami sedang duduk di tangga luar rumahnya. Orangtuanya yang selalu sibuk tak sedang berada di rumah. Dan ini adalah kali kedua aku datang berkunjung. Sedangkan kali pertama tak meninggalkan kesan yang bagus untukku, karena Sasuke menghabiskan sebagian besar waktunya dengan bermain game online bersama Naruto juga Hinata, pacar Naruto.
Itu cukup buruk, menjadi satu-satunya orang yang tak berada di frekuensi yang sama. Semakin buruk karena hari sudah menjelang senja ketika mereka akhirnya selesai.
"Melelahkan?" Ia bertanya dengan intonasi yang semakin rendah. "Aku membuatmu lelah?"
"Aku—kesepian," mulaiku dengan agak tersendat. "Aku memilikimu tapi aku merasa kesepian. Dan ini adalah kali pertama aku merasakan perasaan semacam ini. Sasuke ..."
"... Sakura, tidak, maksudku kenapa?" Ia bertanya dengan raut bingung. Menunjukkan seberapa hebat aku menyembunyikan perasaanku yang sebenarnya selama ini.
"Bukankah sudah agak terlambat untuk bertanya, Sasuke?" Aku menggelengkan kepala, kemudian menghela napas. "Kau pikir kenapa selama ini aku sering marah padamu? Sekali pun kau tak pernah menanyakannya. Kau hanya meminta maaf atas kesalahan yang kau pun tak tahu itu apa."
Mata Sasuke melebar untuk sesaat. Bibirnya bergerak seperti ia akan mengatakan sesuatu, lalu urung ia lakukan. Kupikir itu mungkin karena aku tepat sasaran. Kebanyakkan pria memang lebih suka menjauhi drama, mencari jalan yang lebih mudah agar masalah tak semakin besar. Sampai terkadang mereka lupa kalau sudah sifatnya wanita itu ingin didengarkan omelannya.
"Aku ingin putus," kataku penuh tekad yang sebenarnya bercampur dengan perasaan tak nyaman.
Aku mungkin akan menyesalinya setelah ini. Perasaanku terhadap Sasuke tak sedangkal itu hingga bisa hilang hanya karena aku memutuskan untuk berpisah. Aku mungkin akan menangis tersedu-sedu di jalanan menuju rumah, dan akan terus begitu untuk waktu yang lama.
Sementara aku berjuang keras agar tak langsung menangis di hadapannya, mempertahankan raut wajahku dengan ujung bibir yang mulai berkedut. Aku mengomeli diriku sendiri di dalam hati karena selalu saja menjadi pribadi yang super cengeng.
"Itu saja," ucapku, tak mampu lagi bertahan lebih lama di hadapan Sasuke yang masih saja mematung di tempat.
Aku berdiri dari tempatku duduk, menggigit bibirku sementara menuruni tangga. Sebelum kudengar Sasuke bergerak dan kini sudah berdiri di hadapanku lagi, di anak tangga yang satu tingkat lebih rendah.
Tatapannya yang tadi dipenuhi oleh kebingungan kini berganti dengan sesuatu yang lain. Seperti percampuran antara tekad yang kuat, juga penyesalan. Berada di situasi seperti ini, kini malah aku yang merasa kebingungan.
"Maafkan aku, Sakura. Tidak, tunggu dulu. Dengarkan aku," potongnya begitu aku mulai membuka mulut. "Seperti yang kau katakan sebelumnya, mungkin sudah agak terlambat bagiku untuk bertanya. Tapi aku benar-benar ingin memperbaikinya."
Aku terdiam, menunggunya untuk melanjutkan, mengutarakan kalimat yang lebih panjang di dalam penjelasannya. Sesuatu yang nyaris tak pernah ia lakukan sebelumnya.
"Aku ingin mendengarkan semuanya, semuanya yang ingin kau katakan. Semua hal yang membuatmu akhirnya memutuskan untuk meninggalkanku," ujarnya pahit. "Aku akan mencoba memperbaikinya, hingga kau tak akan pernah menangis seperti ini."
Ia mengusap pipiku yang sudah basah oleh airmata tanpa bisa aku tahan lagi. Ucapannya, suaranya, nada bicaranya, dan ekspresi yang ia perlihatkan sekarang. Semuanya begitu manis sampai nyaris membuatku lupa seberapa kesepiannya aku selama ini karenannya.
Ia membawaku ke dalam dekapannya, memelukku erat sementara mengistirahatkan kepalanya di bahuku.
"Maafkan aku ya," bisiknya di telingaku. "Bahkan walau dengan semua rasa sakit yang sudah kuberikan padamu, aku masih saja tak bisa melepaskanmu."
Aku masih tersedu untuk waktu yang lama, sangat lama, sebelum kuungkapkan semua padanya tanpa menahan diri lagi. Dan ia mendengarkanku dengan semua ekspresi yang belum pernah ia perlihatkan selama ini.
00000
Hi guys, apa kabar?
Akhirnya ada kesempatan bagiku untuk nulis lagi. Ini singkat, tapi semoga kalian suka. Sebenernya aku kepengen bikin POV Sasuke untuk cerita ini, tapi ga janji sih hehe.
Seperti biasa, untuk My Seafarer Brother masih terus kuusahakan. I really i'm sorry.

KAMU SEDANG MEMBACA
Romantic Side Undercover
FanfictionStory List o Never Just be Friend o Stalker o Brother's Friend o I'm not Your Fans o A Little Braver o I say I Love You o Putus o Rain and Kisses o The Night Warrior o The Covenant of Marriage o Pain and Perfect Mate o Hanya Sakura o Dating Days For...