Kara duduk di kamar, matanya menatap ponselnya yang terus-menerus bergetar. Pesan dari Jehan masuk, singkat dan jelas: "Sore ini kamu ada waktu? Saya ingin bertemu lagi."
Kara menghela napas panjang. Di satu sisi, ia merasa sedikit bersalah pada Awan. Apalagi, Awan masih tidak menampakkan diri sejak pertengkaran terakhir mereka. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan—hanya sunyi. Kara tahu Awan mungkin sedang mencoba meredam emosinya, tapi situasi ini membuatnya merasa seperti berjalan di atas tali rapuh.
Ia mengetik balasan untuk Jehan, "Oke. Di mana kita bertemu, Kak?"
"Nanti saya jemput, kamu siap-siap saja."
Kara tercenung lalu mengangkat bahu santai, paling seperti waktu itu pergi ke mall lagi. Jadi Kara menggunakan pakaian kasual dengan celana jins. Tidak perlu menunggu waktu lama, klakson mobil Jehan sudah berbunyi. Menunggu kehadiran Kara untuk duduk di samping kursi pengemudi.
"Mama, aku izin pamit ya. Mau main sebentar sama Kak Jehan," ujar Kara.
"Hati-hati ya."
Kara pun melangkah masuk ke dalam mobil dan perjalanan mereka, entah ke mana yang Kara tidak tahu, itu dimulai.
***
Langit malam dihiasi bintang-bintang kecil ketika Kara melangkah keluar dari mobil. Restoran mewah itu berdiri megah di hadapannya, dengan lampu gantung kristal yang bersinar hangat di lobi. Suasana di tempat itu terasa tenang namun berkelas, sangat berbeda dari restoran-restoran biasa yang sering ia kunjungi. Kara mendadak merasa salah kostum dengan celana jeans dan blus sederhana yang ia kenakan.
Kara tersenyum canggung sambil menoleh pada Jehan, dengan tatapan menuntut. "Kak, kenapa nggak bilang kita akan ke tempat seperti ini? Aku ...." Ucapan Kara menggantung, dan perempuan itu melirik pakaiannya sendiri, "aku nggak siap kelihatan seperti ini."
Jehan tertawa kecil, suaranya tenang seperti biasa. "Tenang saja. Kamu cantik apa pun yang kamu kenakan. Lagipula, kita bukan di sini untuk pamer pakaian, kan?"
Kara hanya mengangguk, meski rasa minder tetap menghinggapinya. Ia membiarkan Jehan membukakan pintu untuknya dan mengantarnya masuk ke dalam restoran.
Pelayan dengan sopan membawa mereka ke meja yang sudah dipesan Jehan di sudut restoran, jauh dari keramaian. Pemandangan malam kota terpampang di balik kaca besar di dekat meja mereka. Kara sempat terpana melihat keindahannya, tetapi ia segera tersadar dan duduk dengan hati-hati.
Jehan memesan makanan, memilihkan beberapa menu unggulan restoran itu untuk mereka berdua. Kara merasa sedikit canggung, tetapi ia mencoba mengatasi perasaan itu dengan obrolan ringan.
"Kak, gimana urusanmu waktu itu yang kamu pulang duluan dari mall? Udah selesai, kan?" tanya Kara sambil menyeruput air mineral yang baru saja dituangkan pelayan.
Jehan tersenyum, senang Kara menunjukkan perhatian. "Sudah, meski agak melelahkan. Manager saya mengajak membicarakan sesuatu yang rasanya penting. Itu lumayan menguras tenaga dan pikiran sih, tapi, saya rasa hasil akhirnya akan memuaskan."
Kara mengangguk pelan. "Kalau begitu, berarti jadwal Kakak akan lebih santai sekarang?"
Jehan mengangkat bahu. "Nggak juga. Saya udah dapat tawaran proyek film baru. Tapi saya belum memutuskan mau saya ambil atau nggak."
Kara mengerjap penasaran. "Kenapa? Bukannya Kakak selalu antusias dengan proyek baru?"
Jehan menatapnya sejenak sebelum menjawab, pandangan mereka saling bertemu. Nada suaranya sedikit lebih serak dan serius. "Karena saya sedang mempertimbangkan prioritas lain, Kara. Kadang, karier itu bukan segalanya."
Kara memiringkan kepala, bingung dengan jawaban itu, tetapi ia memilih tidak mendesak lebih jauh. Pembicaraan berlanjut ke topik-topik santai lainnya—tentang tren terbaru di dunia perfilman, cerita lucu dari lokasi syuting, hingga rekomendasi tempat liburan.
Mereka tertawa bersama ketika Jehan mengingatkan Kara tentang momen canggungnya saat salah mengira seorang kru film sebagai aktor terkenal. Kara memukul lengannya ringan sambil menahan tawa. Suasana di antara mereka begitu nyaman, seperti dua sahabat lama yang saling mengerti. Kemistri mereka memang saling bergulir di sana.
Namun, semua itu berubah ketika tiba-tiba lampu restoran meredup. Kara langsung mengangkat kepala, menoleh ke sekeliling dengan bingung. Ia pikir mungkin sedang ada pemadaman listrik, tetapi suasana tidak menunjukkan kepanikan.
Jehan tersenyum kecil, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya. "Kara, ada sesuatu yang ingin saya tunjukkan."
Sebelum Kara sempat bertanya, lilin-lilin kecil mulai menyala di tengah ruangan, membentuk pola hati besar. Tepat di tengah pola itu, ada tulisan menyala dalam rangkaian kalimat: Will You Marry Me?
Kara membeku. Otaknya berusaha mencerna apa yang sedang terjadi, tetapi semuanya terasa seperti mimpi. Ia hanya bisa menatap tulisan itu dengan mulut sedikit terbuka.
Jehan berdiri dari kursinya, perlahan berjalan mendekati Kara. Dengan tangan yang gemetar halus, ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna biru dari saku jasnya.
"Kara," katanya pelan, suaranya menggema di ruang yang tiba-tiba terasa terlalu sunyi. "Saya tahu ini mungkin mengejutkan, tapi saya ingin menghabiskan sisa hidup bersamamu. Kamu adalah orang yang selalu membuat hari-hari saya lebih baik, lebih bermakna."
Kotak itu terbuka, memperlihatkan cincin berlian yang berkilau memantulkan cahaya lilin. Jehan berlutut di depan Kara, matanya penuh harapan. "Will you marry me?"
Kara merasa seperti ditarik keluar dari dunia nyata. Lamaran ini terlalu mendadak, terlalu mewah, terlalu tidak terduga. Ia tahu Jehan tulus, dan ia tahu dirinya juga memiliki perasaan pada pria itu. Tapi, ada sesuatu yang menahan dirinya. Suara kecil di hatinya berbisik, mengingatkan semua hal yang belum selesai dalam hidupnya, termasuk hubungannya dengan Awan dan mungkin intervensi yang ia dengar tentang Jehan dari Sony.
Ia menelan ludah, mencoba menemukan kata-kata, tetapi mulutnya terasa kering. Akhirnya, dengan suara yang hampir bergetar, ia berkata, "Kak, mungkin kita makan dulu saja? Aku lapar."
Jehan tertegun, jelas tidak menyangka respons itu. Tapi ia segera tersenyum kecil, meski sedikit canggung. "Baik, kalau itu yang kamu mau."
Mereka kembali ke meja, tetapi suasana yang tadi hangat berubah menjadi sedikit kaku. Kara mencoba memulai obrolan ringan, tetapi Jehan hanya menjawab seperlunya. Ia tahu pria itu kecewa, dan itu membuatnya merasa bersalah.
Makan malam selesai dalam diam yang tidak nyaman. Ketika pelayan datang membawa tagihan, Jehan menatap Kara lagi. Kali ini matanya lebih serius.
"Kara, saya nggak mau memaksa. Tapi saya benar-benar ingin tahu apa yang kamu pikirkan. Saya mencintaimu, dan ingin kita melangkah ke jenjang yang lebih serius. Tolong, beri saya jawaban."
Kara menarik napas panjang, mencoba meredakan kekacauan di pikirannya. Ia tahu Jehan layak mendapatkan jawaban yang jujur.
"Kak," katanya pelan, menatap langsung ke mata pria itu. "Aku butuh waktu. Semua ini terlalu mendadak. Aku nggak bisa memberi jawaban sekarang."
Jehan menatapnya lama, lalu mengangguk dengan berat hati. "Baiklah. Saya akan memberimu waktu. Tapi jangan terlalu lama, Kara. Saya benar-benar ingin kita bersama."
Kara hanya bisa mengangguk, tidak mampu berkata-kata lagi. Mereka meninggalkan restoran dengan suasana yang jauh berbeda dari saat mereka datang. Di dalam hati Kara, badai perasaan berkecamuk, membuatnya bertanya-tanya apa yang sebenarnya ia inginkan dalam hidupnya. Lamaran itu membuatnya mempertanyakan segalanya—tentang dirinya, tentang perasaannya pada Jehan, dan tentang hubungannya dengan Awan.
Malam itu, Kara terjaga di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar yang gelap. Kata-kata Jehan terus terngiang di telinganya, dan cincin berlian itu terus muncul dalam bayangannya. Tapi yang paling mengganggunya adalah pertanyaan yang belum bisa ia jawab: apakah ini cinta sejati, atau hanya kebingungan sesaat? Bagaimana pun, ia tahu bahwa keputusan yang diambilnya nanti akan mengubah hidupnya selamanya.
***
A/N:
Menurut kalian, mending lamarannya Jehan diterima atau nggak?
Dan kenapa alasannya? 🤭

KAMU SEDANG MEMBACA
He is Bad Popular Actor (18+)
Lãng mạn🔞WARNING🔞 "Lo siap nggak main film dewasa sama dia?" "Apa lo bilang? Film dewasa?!" *** Kara Tamara sangat ambisius ingin menjadi top aktris tapi alih-alih terwujud, rasa trauma lantas tercipta. Kara ditawari manajernya beradu peran di film roman...