Part 4

13.3K 884 2
                                    

Aku baru sampai rumah pukul lima sore. Ugh! Memang hari yang melelahkan. Aku terkejut saat melihat mobil Ayah sudah terparkir di garasi. Tumben ayah sudah pulang. Aku mendengar suara ribut-ribut di dalam. Aku membuka pintu dan mengucap salam. Aku melihat ayah dengan beberapa orang dewasa lainnya memperhatikanku. Kupikir ayah pulang sendirian. Ternyata sama saja membawa rekan kerjanya. Pasti membahas urusan pekerjaan. Aku menyalami tangan ayah. Walaupun sebenarnya enggan rasanya menyalaminya. Aku merasa diterlantarkannya selama ini. Tapi aku juga bukan anak kurang ajar.

"Wah, ini yang namanya Kiara ya? Manis sekali," puji salah seorang lelaki yang kutahu pasti teman sekantor ayah. Aku hanya tersenyum simpul. Bahkan Ayah tidak menanyakan apa-apa. Sebenarnya aku anaknya bukan sih. Tanya apa gitu kek, kayaknya sudah seminggu kami enggak bertemu. Tapi ya sudahlah. Aku segera pamit naik ke kemarku.

Pukul enam aku turun dan tidak menemukan lagi Ayah bersama teman-teman kantornya. Aku melihat ke luar. Mobilnya juga tidak ada. Pasti Ayah pergi lagi bersama dengan teman-teman kantornya. Sudahlah, aku tidak peduli lagi apa yang dilakukan Ayah. Hidupku sudah terbiasa sendiri. Tanpa Ayah disampingku, aku juga bisa. Iya, aku tidak butuh orang lain. Biar kuurus sendiri hidupku ini.

*****

Keesokan harinya aku sekolah seperti biasa. Walaupun ada beberapa orang yang berbisik-bisik saat melihatku. Mungkin karena kejadian di kantin kemarin. Aku tak peduli. Aku juga sudah biasa.

Di tengah perjalanan, aku tak sengaja berpas-pasan dengan Alex. Hidungnya di tutupi dengan kapas. Benarkah separah itu? 

Aku berharap aku tidak punya urusan lagi dengannya. Cukup satu hari kemarin yang benar-benar sangat sial.

Dan aku sangat bersyukur saat dia juga tidak mengomeliku lagi. Sepertinya dia juga tidak mau berurusan denganku lagi. Aku menghela nafas lega.

Hari ini ada pengumuman kelompok karya ilmiah. Karya ilmiah memang program kelas 11 di SMAku. Semua kelas dicampur menjadi satu. Jadi sudah pasti aku tidak akan mendapatkan teman sekelompok yang sekelas padaku. Wali kelasku mengatakan pengumuman kelompok sudah di pasang di mading kelas 11 sebelum istirahat. Jadi saat istirahat mading kelas 11 penuh sesak oleh anak-anak.

Sebenarnya aku malas melihatnya. Tapi melihat anak-anak perempuan yang baru saja melihat mading berbisik sambil melihatku, aku jadi curiga. Rasanya ada yang sesuatu yang enggak beres. Aku memutuskan untuk menerobos masuk lautan siswa kelas 11 dan berusaha sampai di depan mading. Aku tercengang saat aku langsung melihat namaku di urutan kedua paling atas. Tepat dibawah nama Alex Ferdinan kelas 11 IPA 1. Dibawahku tertulis nama Vera Celia Sari kelas 11 IPA 3 dan selanjutnya Alvin Putra Ramadhan kelas 11 IPA 4. Aku mendelik.

ALEX SIAPA INI?!!

Sepertinya doaku tadi pagi tidak punya waktu jangka lama.

"Kiara ya? Dipanggil Bu Ririn," kata salah seorang menepuk bahuku.

Bu Ririn, guru bahasa Indonesia yang juga bertanggung jawab terhadap program karya ilmiah ini. Aku segera ke ruang guru. Aku melihat Alex juga ada di sana. Firasatku mengatakan, ini bukanlah hal yang baik.

"Ibu sengaja memasukkan kalian dalam satu kelompok," kata Bu Ririn. Aku mendelik. Kupikir kelompoknya benar-benar di acak tanpa mempedulikan apa pun. Aku melirik ke Alex yang terlihat santai. Apa sih yang dia pikirkan?

"Sama dia, Bu?! Kenapa, Bu?!" tanyaku sambil menunjuk-nunjuk ke arahnya.

"Kiara, kamu selalu masuk tiga besar paralel saat ujian. Bahkan sering mendapat ranking satu. Ibu rasa kamu bisa mendidik Alex, murid bandel yang satu ini. Ibu khawatir dia harus mengulang kelas," kata Bu Ririn melirik kepada Alex. Aku menatap Bu Ririn melas. Yang benar saja? Berhubungan dengan teman sekelas saja tidak mau. Apalagi dengannya. Kalau aku anak kurang ajar, sudah kujawab lebih baik dia tidak naik kelas saja. Tapi mana mungkin aku menolak. Aku bukan orang yang pintar berargumen. Dengan guru bahasa indonesia lagi.

"Dan Alex, kamu tidak boleh semena-mena terhadap kelompokmu. Kiara akan terus mengawasimu dan akan melaporkan pada saya jika kamu tidak ikut kerja di kelompokumu!" tegas Bu Ririn pada Alex. Alex hanya menjawab iya dengan sangat santai. Bu Ririn kembali menoleh padaku.

"Kamu bisa ibu percaya, kan?" tanya Bu Ririn lebih halus. Jadi tidak tega menolaknya. Aku hanya mengangguk lemah. Bu Ririn tersenyum senang. Beliau mempersilahkan kami untuk melanjutkan istirahat.

Padahal aku sudah tidak mau berurusan lagi dengannya. Tapi kenapa jadi malah begini? Ini sih urusannya bisa satu tahun.

Alex's POV

Waktu gue dengar dari Bram kalo gue sekelompok dengan cewek kemarin yang ngelempar bola basket pada gue, gue langsung berniat protes pada Bu Ririn. Tapi Bram dengan pintarnya mengatakan, "Bro, lu bisa manfaatin dia buat ngerjain karya ilmiah kelompok lu nanti. Dia pintar, pasti dia mau disuruh begini begitu yang berhubungan sama pelajaran." Gue akui Bram ada benarnya juga. Dengar-dengar Kiara selalu dapat peringkat tiga besar paralel. Wah, kesempatan bagus nih.

Bu Ririn memanggil gue dan Kiara. Dia meminta Kiara untuk mengawasi gue agar gue enggak kabur saat kerja kelompok. Hahahaha... memang bisa dia? Lihat saja nanti, dia akan dengan mudah gue taklukkan. Biasanya cewek-cewek juga kalau dikasih uang atau hadiah juga bakal diam. 

Kiara langsung pergi meninggalkan gue begitu keluar dari ruangan Bu Ririn. Gue bengong melihatnya. Baru kali ini loh ada cewek yang menolak gue mentah-mentah. Kayaknya memang ada yang enggak beres deh dengan mata dan otaknya. Gue kembali ke kantin dan bertemu Bram, Adit, juga Handy.

"Bro, gue denger lu sekelompok sama Kiara, ya?" tanya Adit. Gue hanya mengangguk.

"Widih beruntung banget deh lu. Kiara kan pinter. Pasti lu nyuruh dia ngerjain tugas lu semua itu," kata Handy. Gue hanya nyengir. Ya iyalah pasti.

"Iri deh gue sama lu bisa sekelompok sama Kiara. Menurut gue ya Kiara itu manis loh. Ya emang sih dia dingin. Tapi coba deh ya kalau Kiara itu suka senyum, terus friendly pasti banyak yang demen deh," kata Adit. Gue hanya mengangkat alis. Dasar otaknya isinya cewek aja!

"Jadi apa rencana lu, Lex?" tanya Bram. Aku tersenyum jahil.

"Gampang! Gue gak usah ribet-ribet ngurusin karya ilmiah sampe nanti. Tinggal kasih aja apa yang dia mau, atau enggak gue bakal gombalin dia, pasti dia bakal ngelakuin mau gue," kata gue jahil.

"Lu yakin? Kiara?" tanya Handy mengejek. Gue diam. Iya sih gue tau maksudnya Handy itu apa. Lihat aja selama ini Kiara kayak gimana ke gue. 

"Yah lihat aja deh ya. Mungkin dia emang belum tahu gue siapa. Tapi lihat aja, gue bakal buat dia takluk pada gue," kata gue yakin.

"Oh serius nih, Bro? Mau taruhan enggak? Kalo Kiara itu beneran takluk sama lu, kita kasih lu tiga juta, masing-masing satu juta. Tapi kalo Kiara gak takluk sama lu, lu yang bakal kasih kita masing-masing satu juta," tawar Handy. Aku mengerutkan kening. Tiga juta? Lumayan juga. Bisa buat beli bola basket baru, sepatu sport baru juga, wah wah! 

"Oke! Gue terima tantangan lo!" 

AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang