Part 9

11.1K 770 3
                                    

Senin pagi ini, aku bangun dengan keadaan lebih fresh dan semangat. Mulai sekarang, aku akan coba keluar dari kesepianku selama ini. Ini karenanya, gadis bermata coklat itu, Vera.

Aku dikagetkan dengan keberadaan Ayah yang berada di meja makan sambil membaca koran. Di depannya terhidang secangkir kopi. Tak jauh darinya, ada sebuah roti bakar masih utuh. Aku heran melihat Ayah yang pagi-pagi begini belum berangkat. Bahkan beliau masih menggunakan kaos dengan celana selutut.

"Ayah?" panggilku. Ayah menoleh.

"Eh Kiara. Ayo sarapan dulu. Ini ayah buatkan roti bakar," kata ayah sambil menyodorkan roti bakar. Aku duduk di kursi meja makan depan ayah sambil memandang beliau keheranan.

"Proyek Ayah kemarin sukses besar. ayah dapat jatah libur tiga hari," kata Ayah. Oh, jadi aku mengerti kenapa ayah tetap berada di sini. Rasanya sudah lama aku tidak makan bersama ayah seperti ini. Apa kalau ayah sudah masuk nanti, ayah enggak akan makan bersamaku lagi? Aku lupa terkahir kapan aku makan bersama dengan ayah. Walaupun sekarang ada ayah di depanku, kami diam-diaman. Suasana hening selama sarapan. Tapi aku bersyukur dengan perubahaan sikap ayah yang sebenarnya masih membuatku kaget.

Selesai menghabiskan sarapan, aku pamit untuk berangkat. Namun, ayah memutuskan untuk mengantarku. Aku mendelik saat mendengar ayah akan mengantarku. Saking bahagianya, aku melonjak kegirangan sampai menuju mobil. Ayah hanya tersenyum melihat tingkahku. Ahh... sepertinya hari ini memang hari keberuntunganku. Aku merasa, aku telah terlahir kembali. Menjadi Kiara yang berbeda. Menjadi Kiara yang ceria seperti dulu sebelum masalah-masalah datang menimpaku.

Alex's POV

Seperti biasa gue selalu kumpul bareng Handy, Bram, dan Adit. Pikiran gue enggak bisa lepas kejadi Sabtu lalu. Tragis! Pertama kalinya dalam hidup gue, gue ditampar seorang cewek selain mama gue. Gue jadi berpikir dua kali buat melanjutkan taruhan Handy. Tapi, masa gue nyerah? Bukan Alex namanya.

"Lex! Lu denger enggak gue ngomong apa?" tanya Bram di telingaku. Gue melonjak kaget.

"Eh buset, dah! Suara lu cempreng bener sih," kata gue sambil menggaruk-nggaruk telinga.

"Habis lu ngelamun terus. Gue nanya, gimana kemaren Sabtu? Lu berhasil mbujuk Kiara?" tanya Bram. Gue hanya diam. Beberapa menit kemudian Handy, Adit, dan Bram ketawa. Gue mendelik ke mereka.

"Gue udah duga tuh cewek emang beda dari yang lain," kata Handy. Gue mendengus kesal.

"Jadi gimana, lu mau batalin taruhannya? Tapi lu tetep ngasih kita satu juta-satu juta," kata Bram sambil tersenyum jahil.

Tiba-tiba mata gue menangkap seseorang yang baru saja masuk ke kantin. Gadis Dingin itu, akhirnya gue bisa lihat dia ke kantin lagi. TUNGGU! Gue mendelikkan mataku. Dia benar-benar berubah. Wajahnya yang biasanya ditekuk dan lesu, sekarang kelihatan segar. Dia tertawa! Iya! Untuk pertama kalinya gue melihat ini. Dia bersama dengan seorang perempuan yang juga sekelompok KIR dengan gue. Kalau enggak salah namanya Vera. Gue enggak tahu ada apa dengan diri gue selama ini. Tapi semenjak gue ketemu dengan Kiara, gue selalu ingin ngeliat senyumannya. Ini normal, kan?

"Enggak. Gue enggak nyerah!" seru gue sambil bangkit. Gue berjalan menuju Kiara yang sedang mengantre membeli bakso. Gue memegang lengannya. Dia tampak kaget melihatku. Dan kemudian gue tarik dia keluar kantin menjauh dari keramaian. Bodoh! Ngapain gue melakukan hal kayak gini? Dasar otak gue kayaknya makin enggak beres deh!

"Hei, Lex. Kenapa?" tanyanya santai. Pertanyaanya yang dia berikan sukses membuat gue bengong. Sejak kapan anak ini jadi santai kayak gini. Biasanya juga ngamuk-ngamuk enggak jelas. Tapi guenya juga aneh sih. Ngapain juga gue bawa di ke sini.

"Lu kenapa?" tanya gue akhirnya. Karena gue enggak tahu juga apa yang harus gue bicarain.

"Hah?! Ya kamu yang kenapa? Tiba-tiba narik tanganku ke sini. Kamu lupa?" tanya Kiara balik. Nada bicaranya berubah dari biasanya. Kalau yang biasanya dingin, sekarang terdengar lebih semangat.

"Lu kok jadi aneh gini sih?" tanya gue lagi. Kiara memasang wajah heran.

"Duh, Lex. Yang aneh juga kamu. Tanya hal enggak jelas," jawabnya.

"Ya lu tiba-tiba masuk kantin ketawa-ketawa sama siapa itu? Vera? Enggak kayak lu yang biasanya," jawab Kiara.

"Ya terus??!! Apa masalahnya?" tanyanya gemas.

"Ya gue nanya," jawab gue.

"Kepo banget sih. Kamu benci sama aku, kan? Apalagi kemaren aku udah tampar kamu. Emang kamu enggak marah?" tanya Kiara. Wuih! Inget juga nih anak. Gue pikir dia lupa kejadian Sabtu lalu.

"Ya emang kalo gue marah, gue juga ga bakal melampiaskan ke lu," kata gue kesal. Dia hanya diam. Aku ikut diam.

"Oke udah? Beneran deh kamu membuang waktu istirahatku. Bye!" serunya tiba-tiba langsung pergi meninggalkanku. Ha?! Dia meninggalkanku lagi? Banyak cewek di luar sana yang berharap bisa ngomong bareng sama gue cuma berdua kayak tadi. Gue membalas sapaan gerombolan anak kelas 10 cewek yang menyapa gue. Tuh kan, gue udah terkenal di SMA ini. Gue bener-bener enggak tahu apa yang Kiara pikirin tentang gue. Yang penting, gue harus merubah cara berpikir Kiara tentang gue kalau gue mau menang taruhan itu.

Kiara's POV

Aku kembali menemui Vera setelah ditarik oleh makhluk enggak jelas yaitu Alex. Kukira dia akan membalas tamparanku hari Sabtu itu, ternyata dia menanyakan hal-hal yang enggak jelas. Vera sudah memesankan bakso untukku juga. Mulai hari ini, aku akan mulai mencoba berteman. Memang sih, awalnya teman-teman sekelasku memandangku heran. Namun mereka menyambut perubahanku ini dengan senang.

"Tadi kenapa?" tanya Vera.

"Enggak ada apa-apa," jawabku.

"Aku seneng banget bisa sekelompok sama Alex. Kamu tahu, dia itu sangat populer di sekolah ini. Ingat saat prom night sekolah saat kita naik ke kelas 11?" tanya Vera. Aku menggeleng.

"Ya kamu tahu aku kayak gimana," kataku.

"Dia itu dijuluki Pangeran Sekolah. Dia enggak pernah nembak cewek sama sekali. Selalu cewek yang nembak dia. Keren, kan?" kata Vera. Aku tidak tertarik dengan bahasan Vera. Tapi aku pura-pura antusias.

"Berapa sih ceweknya?" tanyaku.

"Entahlah. Dia sering gonta-ganti cewek setahuku. Mungkin mantannya kurang lebih enam," katanya. Aku tersedak. Aku buru-buru meneguk es jerukku.

"Enam? Tambah satu lagi aja tuh, biar ganjil. Ganjil, kan bagus," komentarku. Vera tertawa.

"Oh iya ikut acara LDKS, kan?" tanya Vera. Aku mengangguk.

Sekolahku akan mengadakan acara LDKS (latihan dasar kepemimpinan siswa) di lereng bukit. Acara satu minggu lagi. Dan semua anak kelas 11 wajib ikut. Sebenarnya sih malas. Tapi kalau enggak ikut, ada LDKS sendiri. Sendiri memang hobiku sih. Tapi kalau LDKS... kayaknya enggak deh.

"Memangnya boleh enggak ikut?" tanyaku. Vera mengangkat bahu.

"Semoga kita bisa satu kelompok," harapnya. Aku hanya tersenyum tipis.









AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang