Part 27

8K 621 3
                                    

Kiara's POV
Sikap Alex mendadak berubah hari ini. Sudah kuduga karena dia bad mood gara-gara kejadian tadi pagi. Aku yang biasanya enggak bisa diam dekat Alex, maksudnya ada ajaa yang kuomeli atau kutanya, memutuskan untuk diam saja. Suasananya jadi terasa cangunggung. Aku malah melamun hal yang enggak jelas. Sampai tiba-tiba Alex bertanya padaku. Aku bernafas lega. Aku sudah takut kalau dia akan marah padaku. Pada akhirnya, kami larut dalam obrolan yang hanya sebentar saja karena tanpa kusadari kami sudah sampai di depan rumahku. Cepat sekali sih! Namun aku tidak segera turun. Dia enggak mau ngucapin selamat malam gitu?

"Ra, bukannya ini rumah lu ya?" tanya Alex heran.

"Eh, eh, udah sampe ya? Eh iya hahahah," kataku gugup. Aduh, kok aku jadi gini juga ya. Ngapain juga sih aku mengharapkan selamat malam darinya. Aku langsung membuka pintu. Tapi lenganku di tahan oleh Alex. Jantungku, tenanglah! Aku menoleh.

"Good night, Ra. Have a nice dream," katanya sambil tersenyum manis. Kyaaa! Aku tidak bisa menahan debaran jantungku lagi. Aku hanya tersenyun tipis dan segera turun tidak tahan lagi. Kayaknya emang ada yang enggak beres denganku. Setelah itu, Alex pergi. Aku senyum-senyum sendiri. Aku tersentak kaget saat melihat mobil ayah terparkir di garasi. Aku melihat jam. Masih jam 8. Pasti ayah pulang ada apa-apanya ini.

Aku masuk ke dalam rumah mengucap salam. Aku melihat seorang lelaki dewasa sedang duduk murung di sofa. Beliau terkejut melihatku.

"Kiara!" serunya. Tanpa kuduga, ayah langsung datang memelukku. Eh, ada apa ini?

"Ya Allah, Nak, ayah cariin kamu ke mana-mana! Kenapa baru pulang?Ayah sampai minta bantuan teman ayah yang polisi. Katanya tempat ini pernah hampir kerampokan saat itu. Ayah khawatir banget sama kamu, Nak! Ayah pikir kamu di bawa lari. Ponselmu juga enggak aktif. Kamu ke mana aja seminggu ini?" kata ayah dengan nafas tidak teratur. Aku tertegun. Selama ini beliau tak peduli padaku, tapi malam ini... kenapa?

"Kiara ada urusan di rumah teman, Yah. Jadi nginep di sana selama seminggu. Mungkin ayah telepon Kiara di nomer lama. Kiara sudah ganti nomer," jawabku. Sedih deh, masa ayahku enggak tau nomer teleponku. Memang sih, ayah enggak pernah sekali pun telepon aku di nomer yang baru. Ayah melepaskan pelukannya.

"Kalau gitu kenapa enggak telepon Ayah?" tanyanya. Hah, memangnya beliau peduli? Apa beliau masih enggak tau sikapnya selama ini padaku gimana.

"Memang ayah peduli? Ayah lebih peduli kepada pekerjaan ayah!" seruku kesal. Aku berjalan meninggalkan ayah.

"Kemarin Ayah bertemu Ibu," kata ayah. Aku menghentikan langkah.

"Kamu sudah bertemu dengannya, kan?" tanya ayah. Aku terdiam sebentar

"Kalau iya, ayah mau apa? Mengusir Kiara dari rumah? Dengan senang hati Kiara akan pergi," kataku dingin.

"Bukan. Ini soal ayah dan kamu," kata ayah. Aku menoleh.

"Ayo, ayah akan jelaskan sambil menikmati teh hangat," katanya.

*****

Suasana hening sejenak. Aku menyereput teh hangat buatan ayah.

"Dari mana ayah harus bicara?" gumam ayah.

"Kenapa ayah dan ibu begini?" tanyaku. Ayah tersenyum. Sudah lama aku tidak menatap wajahnya.

"Tidak ada yang ingin berharap kisah cintanya akan berakhir pahit seperti ayah dan ibu. Hanya karena sebuah keegoisan, semuanya menjadi hancur," kata ayah. Perkataan beliau hampir sama dengan ibu. Mungkin, itu memang masalah pribadi mereka. Aku tidak berhak mengetahuinya.

"Suatu saat, kamu akan menemukan seseorang yang kamu cintai pula. Kamu sangat sayangi. Dan kamu sangat ingin menjadi orang pertama menghiburnya," cerita Ayah.

"Dan pada akhirnya masalah-masalah akan datang. Ada yang tetap bertahan. Namun ada yang berpisah. Begitulah ibu dan ayah," lanjut ayah. Entahlah, aku tak mengerti maksud ayah. Seolah kisah cinta ayah dan ibu sangat rumit.

"Kiara enggak tahu maksud ayah," kataku polos. Ayah menoleh padaku. Dia tertawa. Aku teringat wanita yang di bawa ayah.

"Siapa wanita waktu itu? Apa ayah cinta paadanya?" tanyaku. Ayah menggeleng.

"Awalnya ayah suka karena hanya sebuah pelarian. Ayah semakin enggak tega kalau melihatmu. Memikirkan ibu setiap saat," jawab ayah. Lalu kenapa mereka enggak bersama lagi?!

"Lalu? Kenapa ibu dan ayah enggak bersamaa lagi?" tanyaku

"Tak usah kamu pikirkan," jawab ayah. Aku diam. Suasana hening.

"Kenapa, ayah jarang ada di rumah?" tanyaku memecah keheningan. Ayah menghela nafas.

"Melihatmu membuat ayah teringat ibu dan kesalahan ayah. Ayah takut, ayah akan membuat kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Ayah tidak ingin melukai hati seorang perempuan untuk kedua kalinya. Tapi ternyata, ayah salah," jawab beliau. Aku teringat diriku yang dulu. Dimana, aku juga enggak mau percaya dan sakit hati untuk kesekian kalinya. Pada akhirnya, aku mengurung diri. Ternyata, aku dan ayah punya peristiwa yang mirip di waktu yang sama.

Aku tersenyum. Sekarang aku tahu alasan ayah menjauh dariku selama ini.

"Ayah, sakit hati itu normal kok. Pasti ada senyuman yang akan menggantinya," kataku. Ayah menatapku dan tersenyum lebar. Aku ikut tersenyum menatap ayah.

"Kiara kangen sama ayah. Ayah itu laki-laki pertama yang kucintai. Laki-laki yang paling mengerti Kiara. Kiara bakal sedih kalau ayah enggak membalas cinta Kiara," kataku jujur. Grogi? Enggak sama sekali. Hari inilah yang sangat aku harapkan. Perasaan senang menyelimuti hatiku. Setelah ibu, sekarang ayahku bisa berubah jaadi lebih baik. Aku masih berharap, mereka bisa bersama lagi.

Aku melihat ayah meneteskan air mata. Beliau langsung memelukku.

"Maafkan ayahmu ini, Nak. Ayah janji, mulai sekarang ayah akan berubah jadi lebih baik," kata beliau lembut. Akhirnya air mataku ikut berjatuhan. Aku membalas pelukan ayah.

"Maafkan Kiara juga, Yah. Anakmu ini sangat enggak sopan," kataku memeluk erat ayahku.

Kalau dulu aku tidak mau keluar dari kesepianku, mungkin aku tidak akan pernah bertemu ibuku dan berbaikan dengan ayahku. Aku sangat bersyukur malam ini.

AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang