Part 32

6K 513 8
                                    

Aku memikirkan kata- kata Alex dalam perjalan menuju kembali ke kamar Vera. Aku hanya melihat sisi jika Vera bersama Alex, dia akan bahagia. Tapi aku tidak pernah berpikir, apa yang terjadi selanjutnya.
Pintu kamar Vera tidak tertutup rapat. Aku mengintip dan melihat Alvin duduk di sebelah kasur Vera sambil menatap Vera. Hal yang baru kuketahui tentang Alvin, dia suka pada Vera. Kenapa ceritanya jadi serumit ini sih?

Aku mengetuk pintu agar tidak mengagetkannya. Alvin menoleh. Aku masuk.

"Eh, Kiara," sapanya. Aku hanya tersenyum. Aku duduk di sofa yang berada di dekat jendela. Aku memperhatikan keramaian kota di bawah. Teringat saat Vera bilang dia suka dengan Alex dan saat dia tertabrak. Menyedihkan.

"Cinta itu rumit. Iya, kan?" tanya Alvin tiba-tiba. Aku tidak menjawab.

"Alex ngomong apa?" tanya Alvin lagi. Aku menoleh padanya dan mengerutkan dahi. Bagaimana dia bisa tahu, kalau tadi aku bicara dengan Alex?

"Kamu tahu?" tanyaku heran.

"Ray yang telepon pada gue," jawab Alvin.

"Ray?" tanyaku semakin bingung. Apa hubungannya sama Alvin?

"Sebenarnya ini rencana gue. Gue tahu Vera suka pada Alex. Vera pernah cerita ke gue. Saat gue lihat sikap lu yang tiba-tiba menjauh dari Alex, gue jadi paham kalau Vera udah cerita ke lu," kata Alvin. Aku terkejut mendengarnya. Rencana apa?

"Waktu gue dengar Vera kecelakaan, gue marah besar sama Ray. Gue enggak bisa maafin dia gitu aja. Karena itu, gue minta tolong ke dia untuk buat Alex cemburu. Kalau enggak gitu, Alex enggak bakal ngomong perasaannya ke lu," kata Alvin. Jadi, ini rencana Alvin? Aku menatap Alvin.

"Kamu suka sama Vera beneran?" tanyaku.

"Gue udah sayang sama dia. Gue juga udah tahu kalau sebenarnya dia buta warna gara-gara waktu itu dia salah menyebutkan warna. Tapi itu enggak masalah buat gue," kata Alvin. Dia menoleh padaku.

"Gue enggak mau Vera sakit hati gara-gara Alex enggak membalas cintanya. Tapi Alexnya juga enggak bilang-bilang perasannya ke lu dan membuat lu juga yakin sama perasaan lu. Sekarang lu udah tahu kan, gimana perasaan Alex ke lu?" tanya Alvin. Aku hanya diam.

"Lu jangan bohongin diri lu sendiri, Ra. Lu juga sayang, kan sama Alex?" tanyanya lagi. Aku hanya menatap Alvin. Aku melirik jam di dinding.

"Aku mau ke kafe ibu," pamitku. Setelah itu aku langsung keluar. Mungkin ibu memiliki saran yang lebih baik. Aku menghentikan taksi yang kebetulan lewat dan kosong.

"Ke kafe 901, Pak," kataku.

"Oke, Neng!" seru paknya. Di dalam taksi, pikiranku tidak bisa berhenti memikirkan perkataan Alex dan Alvin. Apa yang harus kulakukan sekarang?

"Neng, lagi ada masalah ya? Mukanya cemberut gitu," tanya Pak Taksi. Aku tersenyum.

"Biasalah, Pak. Masalah remaja," jawabku. Pak Taksi tertawa.

"Oalaah, saya juga punya anak remaja di rumah. Sukanya main hp terus. Kalau sudah sakit hati, baru nangis ke orangtuanya," kata Pak Taksi. Aku ikut tertawa.

"Memanglah, Pak. Anak remaja itu susah memahami keadaan dan dipahami. Mereka hanya berpikir pada satu sudut saja," kataku sambil memandang ke arah luar jendela. Pak Taksi mengangguk setuju.

"Lagi marahan sama pacarnya, Neng?" tanya Pak Taksi.

"Pacar siapa? Enggaklah, Pak," kataku mengelak.

"Sudahlah, Neng. Kalau memang sayang, cepat baikan. Perasaan kayak saling sayang gitu enggak datang dengan mudah loh, Neng. Masa sudah datang, terus dihancurkan," kata Pak Taksi. Huaaa, Pak Taksi ini jadi malah buat baper.

"Iya sih, Pak," kataku setuju. Tak kusangka aku sudah sampai di kafe 901. Dekat sekali.

"Berapa, Pak?" tanyaku sambil merogoh saku.

"Gratis buat eneng hari ini. Neng, jangan sedih lagi ya. Senyum dong," hibur Pak Taksi. Aku tersenyum lebar. Wah!! Uangku terselamatkan!

"Waah, makasih banget loh, Pak! Semoga pelanggannya makin banyak ya," kataku mendoakan.

"Aamiin," balas Pak Taksi. Setelah megucapkan terima kasih sekali lagi, aku turun dan masuk ke kafe. Seperti biasa, kafe ini sangat ramai namun menenangkan. Aku tidak melihat ibu. Aku pergi ke kasir. Aku sudah kenal dengan para karyawan di sini semenjak mereka tahu aku adalah anak pemilik kafe ini.

"Ibu mana?" tanyaku pada Mbak Dini, penjaga kasir.

"Ibu lagi di ruangannya. Masuk aja, Mbak," kata Mbak Dini.

"Oh iya. Makasih ya," kataku. Kemudian aku masuk ke dapur dan menyapa para koki yang sedang bekerja. Aku keluar melalui pintu lain menuju ruangan berkoridor yang ber-AC. Aku menuju pintu bertuliskan 'Manager'. Aku mengetuk pintu. Terdengar suara wanita dari dalam menyuruh masuk. Aku membuka pintu. Aku melihat ibu sedang duduk di meja kerjanya sambil mengetik. Beliau menoleh.

"Kiara? Tumben ke sini," tanya ibu heran. Beliau berdiri dan menghampiriku. Aku menyalami tangan ibu. Ibu mengajakku duduk di sofa.

"Mau teh?" tanya ibu. Aku menggeleng.

"Enggak perlu, Bu. Kiara hanya sebentar kok. Maaf ya kalau ganggu kerja ibu," kataku bersalah. Jelas sekali, aku menganggu beliau.

"Ah, kamu ini kayak sama siapa aja. Enggak papalah sama ibu sendiri," kata ibu. Aku tersenyum.

"Wajahmu kusut gitu. Lagi ada masalah, ya? Mau cerita?" tanya ibu. Aku mengangguk. Aku menceritakan semuanya. Dari semenjak Vera mengatakan bahwa dia suka pada Alex sampai Alvin yang ternyata suka pada Vera.

"Jadi semakin rumit ya," komentar ibu. Aku setuju. Bukan cinta segitiga lagi ini namanya. Hanya berawal dari kelompok KIR, semuanya menjadi seperti ini.

"Ibu setuju apa yang dikatakan Alex," kata ibu. Aku menoleh.

"Kamu tidak bisa hanya melihat di sudut siapa yang disuka Vera. Kamu juga harus melihat sisi yang lainnya," kata ibu.

"Tapi apa pun yang Kiara pilih, pasti akan ada yang sakit hati kan, Bu?" tanyaku. Ibu tersenyum. Beliau mengelus rambutku.

"Yang namanya pilihan tidak ada yang 100 % menyenangkan, Ra. Tapi selalu ada pilihan yang terbaik. Apa daftar pilihamu?" tanya ibu.

"Tetap menjauh dari Alex atau Kiara mengatakan yang sejujurnya pada Vera," kataku. Ibu mengangguk-angguk.

"Jika kamu mejauh dari Alex, siapa yang akan sakit hati?" tanya ibu. Aku teringat perkataan Alex tadi. Siapa yang akan bahagia? Tidak ada.

"Semua," jawabku pelan.

"Jika kamu mengatakan sejujurnya pada Vera?" tanya ibu. Aku terdiam.

"Vera," tanyaku balik. Ibu tersenyum.

"Apa kamu yakin Vera akan selamanya sakit hati? Ada Alvin yang setia padanya. Ada kamu yang selalu siap menghiburnya. Dan ibu yakin, Vera itu adalah orang yang sangat mencintai sahabatnya. Dia adalah tipe orang yang sabar," kata ibu. Aku berpikir sebentar.

"Cobalah untuk jujur padanya. Percaya pada ibu, dia pasti akan mengerti," kata ibu meyakinkan. Aku menatap ibu.

Ibu, Alex, dan Alvin benar. Kalau aku menjauh, Vera juga tidak akan mendapat cintanya dari Alex. Alex akan kecewa padaku. Alvin juga tidak akan mendapat balasan cintanya dari Vera. Dan aku akan cemburu melihat Vera dengan Alex.
Aku juga teringat perkataan Pak Taksi tadi. Bertemu orang, jatuh cinta padanya dan orang itu membalas cintamu, bukan hal yang mudah untuk ditemui. Dan saat aku bertemu dengannya, apa aku malah menghancurkan sendiri perasaanku ini? Aku tersenyum. Semuanya sudah jelas. Aku menoleh pada ibu dan memeluknya.

"Thanks, Mom!" seruku senang.

AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang