Part 13

8.4K 677 4
                                    

Suasana hening sebentar setelah kepergian Lilia.

"Abaikan saja dia," kata Alex kesal.

"Aku mau mandi dulu. Kamu tunggu di ruang tamu aja," kata Alex. Sikapnya berubah menjadi dingin. Aku pun menurut. Sambil menunggu Alex, aku melihat-lihat foto-foto yang terpajang di ruang tamu. Aku melihat foto keluarga Alex. Pantas saja anaknya ganteng dan cantik begitu. Orangtuanya ganteng dan cantik. Sepertinya ayahnya bukan orang Indonesia. Tapi kalau ibunya, wajah-wajah orang indonesia lebih tepatnya ke Bandung. Aku melihat seorang pelayan perempuan datang membawakan secangkir teh hangat padaku.

"Makasih," kataku sopan. Pelayan itu tersenyum. Namun pelayan itu tidak segera meninggalkanku. Dia malah memperhatikanku yang membuatku jadi risih. Tapi aku berusaha untuk sopan.

"Maaf, apa ada yang salah ya?" tanyaku pada pelayan itu yang memperhatikanku dari tadi dengan wajah tegang.

"Eh, maaf, Nona. Nona ini pacaranya Den Alex, ya?" tanya pelayan itu. Aku mengangkat alis kemudian tertawa kecil.

"Bukan. Saya temannya. Saya mau bantu Alex buat ngerjain tugas. Hitung-hitung balas budi karena Alex pernah bantu saya," kataku. Pelayan itu tersenyum. Dia menghela nafas lega. Aku mengerutkan kening.

"Memangnya kenapa ya?" tanyaku balik.

"Tidak. Saya juga takut kalau Den Alex bawa pacarnya ke sini. Cewek-cewek yang biasanya di bawa Den Alex itu aduh, Non, benar-benar kejam semua. Saya pernah disiram teh hangat karena katanya buatan teh saya kurang manis. Macam-macam deh, Non," curhat pelayan itu. Aku bengong mendengarnya. Emang kayaknya Alex enggak pernah serius cari cewek.

"Non, enggak tertarik sama Den Alex? Biasanya saya sering lihat cewek-cewek yang Den Alex bawa pasti manja-manja sama Den Alex," kata pelayan itu. Aduh, pelayan ini banyak tanya banget sih. Tapi aku juga lagi enggak kerjaan sih. Jadi biarkanlah.

"Eh, tertarik? Gimana ya, saya sama dia hanya teman saja. Bukannya Alex juga manja ya?" candaku. Pelayan itu tertawa kecil.

"Bisa dibilang gitu sih, Non. Tapi dia yang selalu menjaga Lilia. Orangtua Den Alex sama Non Lilia sering ke luar kota," jawab si pelayan. Oh pantas saja rumahnya sepi. Oiya, mungkin pelayan ini tahu masalah Lilia yang membuatku penasaran.

"Hmm.. bi, euh, harus kupanggil siapa ya?" tanyaku.

"Panggil Bi Inem saja," katanya. Aku tersenyum.

"Bi Inem, kalau boleh tahu Lilia itu sebenarnya kenapa sih? Kok sepertinya benci lihat saya," tanyaku. Bi Inem menghela nafas.

"Itu karena pacar-pacar Den Alex yang suka ke sini, Non. Pacar-pacar Den Alex itu pada enggak senang dengan sikap Lilia yang manja dengan kakaknya. Dulu, Lilia enggak seperti itu. Tapi semenjak Den Alex suka gonta-ganti pacar dan sering di bawa ke sini, Lilia jadi seperti itu. Lilia sering dibentak oleh pacarnya Den Alex waktu Den Alexnya enggak ada," cerita Bi Inem. Kasihan sekali Lilia. Aku jadi enggak tega mendengarnya. Lagian Alex ini gimana sih?

"Oh iya, nama Non siapa?" tanya Bi Inem.

"Kiara. Panggil Kiara saja. Jangan pakai Non," pintaku sopan. Aku tidak terbiasa dengan pembantu. Jadi dipanggil Non Kiara itu sangat asing bagiku dan tidak nyaman. Bi Inem tersenyum. Sebelum Bi Inem menjawab, Alex sudah berada di ruang tamu. Cepat sekali dia. Mandi apaan tuh cuma lima menit. Bi Inem buru-buru pergi.

"Mandi apaan kamu? Kok cepet banget?" tanyaku.

"Gak jadi mandi. Biar cepat selesai tugasnya," katanya. Dia sudah membawa buku kimia dan beberapa lembar kertas.

Selama kurang lebih dua jam aku belajar dengannya. Kami berisitirahat cukup lama saat Maghrib. Karenanya waktunya jadi lama. Dan mengajari Alex butuh tenaga yang kuat. Masa dia menanyakan maksud soal yang sama berulang kali. Belum lagi dia enggak tahu gimana cara nulis laporan. Haduh, anak ini beneran sekolah enggak sih.

"Huah! Tinggal sedikit. Aku sudah mudeng. Sisanya aku kerjakan nanti saja," kata Alex sambil mengangkat pekerjaannya. Aku hanya tersenyum. Ternyata bekerja sama dengannya enggak seburuk yang aku pikirkan.

"Gila! Ngapain lu senyum-senyum sendiri? Suka ya sama gue?!" tanya Alex jahil. Aku tersadar.

"Eh Apaan sih?! Ngarep banget aku suka sama kamu!" seruku kesal. Alex tetap memasang senyuman jahilnya yang membuatku makin kesal.

"Aku pulang ya. Sudah hampir jam tujuh nih," kataku. KRIUK! Dasar perut cerewet! Kok enggak pas banget sih bunyinya. Aku menahan malu.

"Makan malam di sini dulu aja. Kayaknya para koki juga sudah melebihkan porsi," kata Alex. Aku tidak protes. Sebenarnya aku juga sudah sangat kelaparan sih. Mataku berbinar-binar saat melihat lauk pauk yang dihidangkan di meja makan. Ada udang goreng mentega, cumi goreng tepung, kerang saus tiram, dan seafood lainnya. Ditambah dengan puding coklat dan es jeruk segar. Lengkap! Baunya membuatku semakin lapar. Aku duduk di salah satu kursi meja makan. Berhadapan dengan Alex. Tapi tunggu! Rasanya ada yang aneh. Mana Lilia?

"Lilia mana?" tanyaku heran. Alex tidak segera menjawab. Dia malah sudah mengambil nasi.

"Di kamarnya mungkin. Entahlah. Nanti kalau lapar juga dia turun sendiri," kata Alex tidak peduli.

"Alex! Dia itu adekmu!" tegurku. Alex menatapku.

"Terus gue harus apa? Ngajak dia turun?" tanya Alex tak peduli. Aku mendelik kesal. Rasanya mukanya itu pengen kulempar dengan piring di hadapanku ini. Enggak ada sayang-sayangnya sih sama adek sendiri.

"Lex, kamu emang enggak sayang sama Lilia sih?" tanyaku. Aku belum menyentuh makanan sedikit pun. Alex yang sudah berniat makan, kembali menaruh sendoknya. Wajahnya berubah muram. Apa aku salah bicara ya? Biar saja! Biar tahu rasa!

"Gue sayang sama dia, Ra. Tapi dianya aja yang enggak mau sama gue. Gue udah capek ngurusin dia sekarang. Nyokap sama bokap gue juga sukanya pergi ga jelas. Gue benci dengan mereka," kata Alex. Aku tidak pernah mendengar nada Alex yang seperti ini. Aku tahu, dia pasti kecewa. Aku pernah merasakannya.

"Kalau aku manggil Lilia boleh enggak?" tanyaku. Alex melihatku.

"Serius?" tanyanya. Aku mengangguk.

"Tapi kalau aku berhasil bawa Lilia turun, kamu harus janji, tunjukan sayangmu sebagai kakak kepada Lilia," kataku. Alex berpikir sejenak. Kemudian dia tersenyum kecut.

"Mana mungkin lu bisa bawa dia turun. Pembantu-pembantu yang lain aja enggak ada yang bisa," kata Alex. Hih! Ini anak kejam banget sih! Ya masa pembantunya yang jemput Lilia. Kakaknya dong harusnya. Kalau ini bukan di rumahnya, sudah kulempar piring ini padanya.

"Bisalah. Lihat aja. Mana kamar Lilia?" tanyaku.

"Lu naik tangga itu. Cari aja kamar yang tulisannya Lilia," kata Alex. Dia kembali melanjutkan makan.

Oke! Aku akan tunjukkan pada Alex, kalau aku bisa bawa Lilia turun dan membuatnya baikan dengan Alex.


AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang