Part 22

8.4K 608 6
                                    

Sudah lama aku tidak bertemu dengan Ibu, wanita bertahi lalat kecil di sebelah mata kanannya yang membuatku yakin dia adalah ibuku. Wanita yang mengandungku. Wanita yang melahirkanku. Wanita yang selalu ada saat aku butuh. Iya, sebelum perceraiaan itu terjadi. Setelah itu, beliau meninggalkanku. Beliau tidak pernah mengunjungiku. Beliau tidak peduli padaku. Menghubungiku saja tidak pernah. Betapa aku rindu pada ibuku. Selama 8 tahun aku tidak bertemu dengannya. Pelukannya yang hangat, tatapannya yang lembut, dan semua hal tentang ibu, aku sangat rindu. Apa beliau tidak menganggapku sebagai anaknya? Ada perasaan kecewa. Aku berusaha menahan diriku untuk tidak memeluknya. Ibu mengajakku ke teras belakang kafe, ingin bicara pribadi denganku.

"Bagaimana kabarmu, Nak? Kamu terlihat dewasa sekarang. Lebih cantik dan manis," puji ibu sambil mengelus kepalaku. Ah elusan ini, sudah lama aku tidak merasakannya. Tapi aku langsung menepis tangan ibu. Ibu terlihat kaget.

"Apa Kiara ini anakmu, Bu? Kenapa ibu enggak pernah menengok Kiara sama sekali. Selama 8 tahun, Bu! Kiara enggak pernah ketemu sama ibu Kiara sendiri. Menghubungi Kiara saja ibu tidak pernah. Apa Kiara ini anak ibu? Apa perceraian ibu sama ayah itu juga memutuskan aku bukan anak ibu?" tanyaku dengan suara bergetar. Ibu menghela nafas.

"Ibu tahu kamu pasti akan marah pada ibu," kata Ibu. "Tapi kamu enggak tahu apa yang terjadi selama 8 tahun ini," lanjut ibu muram. Aku menatap wajah ibu yang tiba-tiba murung. Terlihat raut wajahnya yang mulai berkeriput. Padahal aku ingat dulu wajah ibu yang selalu segar dan tampak muda. Sekarang aku menyadari ibuku semakin tua.

"Yang Kiara tahu selama 8 tahun terakhir ini, ibu telah meninggalkanku," kataku. Aku memperhatikan ibu mengeluarkan ponselnya. Beliau mengotak-atik ponselnya. Kemudian menyerahkannya padaku.

"Ibu sering diam-diam ke rumahmu. Memotretmu dan memandangimu sebelum tidur. Berharap suatu saat ibu akan bertemu denganmu lagi. Ibu bisa bersama denganmu lagi," kata ibu pelan. Aku memandang foto-foto yang ada di ponsel ibu. Itu aku. Mulai dari saat aku berpakaian baju SD sampai aku berpakaian baju SMA ada. Dan latarnya selalu di teras rumah. Aku memandang ibu.

"Tidak ada seorang ibu yang senang kehilangan anaknya. Apalagi ibu hanya punya kamu, Kiara," kata ibu pelan.
"Hak asuhmu berada di ayahmu karena saat itu ibu tidak mampu mengurus biaya kehidupanmu. Kakek dan nenekmu dari ibu sudah meninggal. Ibu tidak mungkin merepotkan om dan tantemu yang anaknya saat itu juga masih kecil-kecil," kata ibu menjelaskan. Air mataku menetes satu per satu.

"Karena itu, ibu berusaha sekuat tenaga untuk membangun kafe ini. Jatuh bangun ibu membangun kafe ini. Tapi ibu tidak pernah putus asa. Ibu berharap suatu saat kamu akan ke sini. Ibu selalu di sini. Memperhatikan gadis-gadis remaja yang masuk selama dua tahun. Namun tak seorang gadis pun yang ibu kenal," cerita ibu. Aku terharu.

"Ibu tidak pernah lupa tanggal dan bulan lahirmu. Tanggal 9 Januari, 9-01. Itulah kenapa ibu memberi nama kafe ini 901," lanjutnya. Aku menghapus air mataku yang semakin banyak berjatuhan.

"Kenapa? Kenapa ayah melarang ibu bertemu denganku. Ayah tidak sayang padaku. Sekarang, ayah belum balik dari pekerjaanya. Apa ayah benci denganku?" tanyaku sambil terisak. Ibu tersenyum. Beliau mengelus kepalaku. Aku membiarkannya.

"Ayahmu itu sangat sayang padamu. Tapi ayahmu takut, saat beliau menghiburmu atau menenangkanmu, ayah hanya akan membuatmu sakit hati. Seperti yang ayah lakukan pada ibu. Ini memang kebodohan ibu. Sudahlah, hal itu tidak perlu di bahas lagi."
"Kenapa ibu dilarang bertemu denganmu? Karena ayahmu masih cinta pada ibu. Ayahmu tidak sanggup kalau harus menemui ibu. Sekali lagi, ini adalah kebodohan ibu," cerita ibu dengan mata berkaca-kaca.

"Kenapa ayah dan ibu tidak bersama lagi?!" seruku berharap. Ibu memandangku kasihan. Aku tahu ini pertanda tidak baik.

"Semuanya sudah berubah, Nak. Ayahmu sudah menemukan wanita lain. Jangan marah pada ayahmu. Yang terpenting, kamu adalah anak ibu dan anak ayah. Dan ibu sangat berharap, kisah cintamu tak pernah setragis ibu atau ayah," kata ibu. Aku langsung menangis. Wanita lain? Wanita yang kemarin di bawah ayah? Kenapa? Ibu menarikku dalam pelukannya. Pelukan yang akhirnya kembali kurasakan.

"Jangan pernah biarkan keegoisanmu menang, Kiara," kata ibu.

"Jangan pernah menyalakan siapa-siapa. Biarkan takdir itu berjalan. Baik atau buruk, Allah yang menentukan. Kita hanya bisa berusaha, sabar, dan pasrah atas apa yang ditakdirkan," nasehat ibu. Ibu benar, tidak perlu lagi aku menyalahkan siapa-siapa. Itu tidak ada gunanya. Toh, semuanya akan terus berlanjut. Kadang tidak semua yang kita harapkan akan terwujud. Malah Allah memberinya dengan sesuatu yang sangat tidak kita harapkan. Tapi Dia yang lebih tahu rencana-Nya.

"Percayalah, meski kamu tak pernah melihat ibu dan jarang melihat ayah doa kami menyertaimu."

*****

Aku masuk kembali ke dalam bersama ibu dan menemukan ketiga temanku sedang asyik berbincang-bincang.

"HEH! Kok pada enggak ngerjain sih?!" keluhku kesal. Ketiga temanku kaget melihatku yang tiba-tiba muncul. Ibu hanya tetawa kecil.

"Oh iya kenalin ini ibuku," kataku menoleh pada ibu. Ketiga temanku bengong. Apalagi Alex dan Vera yang sudah tahu semua ceritanya tentang keluargaku.

"Bu, yang perempuan ini namanya Vera. Yang pakai baju merah itu Alvin. Dan itu tuh yang paling jelek mukanya Alex," kataku sambil memasang tampang jahil pada Alex.

"Gue jelek? Lu lahir jaman kapan sih, Ra? Di dunia ini yang bilang gue jelek cuma lu aja," balas Alex.

"Kalau yang Alex itu, ibu sudah tahu. Dia sering ke sini dan kadang minta diskon," canda ibu. Alex menahan malu.

"Yaelah, Bro! Miskin banget sih lu," kata Alvin menyenggol lengan Alex. Alex langsung menjitak kepala Alvin dan diikuti tawaku, Vera, Alvin, dan ibu.

"Yasudah kalian kerjakan tugas dulu. Ibu harus megecek keadaan dapur," kata ibu. Aku mengangguk. Kemudian aku duduk di sebelah Vera dan Alex.

"Eh, kok bisa sih?" tanya Vera.

"Apanya?" tanyaku bingung.

"Keren banget. Pemilik kafe terkenal ini ibumu," lanjut Alvin. Kemudian wajahnya berubah heran.
"Lah, lu kok enggak tahu kafe ini milik ibumu?" tanyanya. Aku hanya tersenyum. Alvin memang belum tahu apa yang terjadi dengan keluargaku. Aku langsung mengajak mereka mengerjakan tugasnya sebelum mereka bertanya macam-macam lagi.

*****

Kami berempat semakin disibukkan dengan tugas-tugas dan KIR yang susahnya minta ampun. Jarang bagi kami untuk bisa berkumpul berempat lagi karena banyak tugas lain yang harus dikerjakan. Apalagi aku yang harus bolak-balik menyerahkan tinjauan pustaka KIR kelompokku pada Pak Faiz untuk direvisi. Masalahku dengan ayah, juga belum ada penyelesaiannya. Beberapa hari yang lalu saat ayah pulang, beliau meninggalkanku sebungkus coklat besar dan gantungan kunci dari Singapura. Sepertinya memang ayah tidak mau bertemu denganku sekarang. Sedangkan dengan ibu, aku sering mengunjungi kafenya. Sendirian atau bareng dengan Alex. Alex ternyata sangat akrab dengan ibu dan ibu sepertinya juga sangat senang dengan Alex. Bahkan ibu enggak jarang menggodaku dengan Alex. Kalau ibu tahu, bagaimana aku dan Alex bertemu, mungkin beliau tidak bisa berhenti tawa.

Aku baru saja selesai mengerjakan tugasku untuk hari Senin di hari Sabtu ini. Besok bisa istirahat sepuasnya. Kalau orang lain malam mingguan sama pacar, kalau aku malam mingguan sama tugas-tugas. Memang jomblo bahagia.

Tiba-tiba ponselu berbunyi. Aku mengerutkan kening saat melihat nama Alex terpampang di layar ponselku. Aku mengangkatnya.

"Halo," sapaku. Terdengar suara nafas tidak teratur dari sana.

"Kiara tolong gue," mohon suara dari arah sana.

AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang