Sabtu ini, kelompok KIRku rencana berkumpul di rumah Vera untuk membahas bab 1. Ngomong-ngomong masalah Vera, aku berusaha untuk tidak bertemu dengannya sejak kejadian di rooftop sekolah. Tapi dia selalu berusaha mendekatiku. Dia makan siang di meja makanku. Dia menungguku saat waktu pulang sekolah. Dia selalu menyapaku saat bertemu denganku. Tapi semuanya kubalas dengan sikap dingin. Sebenernya aku berat hati untuk ke rumah Vera hari ini. Tapi karena minggu ini dia enggak bisa keluar rumah karena harus jaga adeknya di rumah. Jadi terpaksa hari ini dirumahnya.
Aku datang telat setengah jam karena tadi ban sepedaku bocor lagi. Jadi aku harus menambalnya dulu. Sepertinya aku perlu ganti ban. Sudah banyak tembelan menghias banku.
Rumah Vera sangat besar menurutku. Halaman depannya sangat luas dengan kolam ikan dan ayunan. Aku memencet bel. Terlihat seorang perempuan yang membukakan pintuku.
"Silahkan masuk, Non Kiara. Non Vera dan yang lain sudah menunggu di ruang tamu," katanya sopan. Wuih! Keluarga Vera sepertinya kaya sekali. Aku mengangguk dan dibimbing masuk ke ruang tamu. Aku melihat Vera bermain bersama adek perempuannya yang kuduga masih SD. Alvin dan Alex sedang asyik menonton televisi.
"Eh si lemot udah datang!" ejek Alex saat melihatku.
"Maaf aku telat. Tadi harus kebengkel dulu," kataku.
"Memangnya lu punya motor?" tanya Alex. Maunya apa sih anak ini? Tiap ketemu selalu aja buat masalah.
"Iya enggak papa kok, Ra," kata Vera. Dia kembali menoleh pada adeknya.
"Kak Vera ngerjain tugas dulu ya. Rere main aja ya di kamar," katanya lembut.
"Iya, Kak. Peluk dulu, Kakak!" seru adeknya yang langsung memeluk Vera. Melihat mereka, tanpa kusadari aku tersenyum. Entah muncul perasaan tenang dihatiku saat melihat mereka. Aku memandang kepergian adek Vera. Gimana rasanya punya saudara kandung ya?
"Mau ngerjain di sini aja?" tanyanya menyadarkanku.
"Iya di sini aja," kataku. Aku heran kenapa rumah sebesar ini sepi sekali yah.
"Orangtuamu pergi ya??" tanyaku sambil mengeluarkan laptop.
"Iya," jawabnya singkat.
Alex's POV
Seharusnya sabtu ini gue lagi berada di rumah Handy buat main playstation bareng. Tapi gara-gara ide Gadis Dingin itu, gue akhirnya berada di sini, di rumah Vera. Besar bener deh rumah Vera. Tapi gue yakin masih besaran rumah gue.
Ternyata si gadis dingin itu belum datang. Padahal dia nyuruh kita dateng jam 8. Eh dianya malah telat. Kalau gini mah gue juga telat-telatin aja.
Gue baru kenalan sama temen sekelompok gue, Alvin. Dia kayaknya pendiem dan rada-rada takut tampangnya sama gue. Emang gue nyeremin yaah? Rambut coklat gue udah gue sisir rapi tadi pagi. Muka gue, sudah di akui tampan oleh anak-anak sekolah. Nyeremin dari mana coba?
Vera datang bersama anak kecil yang pastinya itu adeknya. Dia nyuruh kita buat nonton televisi dulu sambil nungguin gadis dingin itu. Gue dengan semangat mengiyakan. Akhirnya gue dan Alvin nonton film sampai si gadis dingin itu datang.
Jam 8.35, akhirnya anak itu muncul juga. Gue udah bosen di sini setengah jam gak ada kerjaan sama sekali. Dia pake alasan ke bengkel sepeda dulu lah. Emang gak ada sopir atau siapa gitu yang buat nganterin?
Memperlambat aja!
Tapi kalau gue lihat-lihat lagi, Kiara emang gak ada rasa tertarik sama gue. Jujur, gue asal aja nerima taruhan Handy waktu itu. Gara-gara gue udah ngebet beli barang-barang olahraga baru tapi enggak ada duit. Gue enggak pernah ngejar-ngejar cewek. Biasanya cewek itu bakal datang sendiri ke gue. Nah, jadi gue enggak berpengalaman buat cewek yang bencinya setengah mati sama gue bisa suka sama gue. Gue memperhatikan dia dari tadi. Bingung harus dengan cara apa gue bisa menang taruhan itu dan dapat tiga juta.
Tiba-tiba gue melihat suatu pemandangan baru.
Gadis dingin itu tersenyum.
Selama ini gue enggak pernah lihat senyumannya sama sekali. Oke jujur, gue benar-benar terpukau hanya dengan senyumannya. Sayang, pemandangan itu enggak berlangsung lama karena Vera bertanya dan menyadarkan Kiara. Yaaahhh.....
Entah sejak kapan Kiara jadi ketua kelompok gue dan siapa yang memilihnya. Yang jelas dia langsung membagi-bagi tugas untuk mengerjakan bab 1. Sialnya gue dapat bagian pendahuluan.
Pendahuluan!
Alvin aja cuma dapat bagian manfaat penelitian. Vera dapat bagian rumusan dan tujuan. Malah Kiara hanya bagian hipostesis. Gue yakin 100 %, Kiara sengaja melakukan hal ini ke gue.
Kiara mengijinkan gue buat minjem laptopnya. Tapi gue juga enggak tau mau ngapain.
Apa sih isinya pendahuluan?
"Ra, gue gak bisa bikin pendahuluan. Lu sengaja ngasih gue yang susah ya?" tanya gue pada Kiara.
"Ya makanya karena kamu enggak bisa, kamu yang bikin," jawabnya tanpa menoleh.
"Emang lu percaya sama gue kalau gue bisa? Entar nilai lu jelek gara-gara gue," kata gue berusaha lepas dari tugas ini. Kiara menoleh.
"Eh cerewet banget sih jadi orang. Kerjain aja! Pokoknya kalau hari ini enggak jadi, lihat aja hari senin kulaporin pada Bu Ririn," ancamnya.
Hah, main ancam-ancam dia padaku. Lihat aja habis ini dia pasti rela ngerjain pendahuluan.
"Halaah, Ra gue males banget. Gini aja deh, gue bakal nemenin lu kemana pun yang lu mau. Gue bakal bayarin lu apa pun yang lu mau beli. Sampe lu puas. Gue enggak ngerti kalo ngerjain ginian," kata gue dengan nada menggoda. Biasanya cewek-cewek yang gue tawarin selalu mau. Kapan sih bisa jalan dan ditraktir sama cowok ganteng kayak gue?
Kiara memandang gue sejenak. Kayaknya dia mulai tertarik. Dia berdiri dari duduknya dan berjalan menujuku. Gue tersenyum.
PLAK!Satu tamparan keras mendarat di pipi gue.
Jangan lupa vote dan commentnya yaa...
KAMU SEDANG MEMBACA
Alone
Teen Fiction[Beberapa part hanya bisa dibaca oleh followers] Kiara tidak pernah ingin jatuh di lubang yang sama. Tidak untuk kesekian kalinya merasakan sakit hati. Baginya hidup sendiri itu lebih menyenangkan. Sampai akhirnya dia bertemu dengan mereka, yang me...