Part 8

10.8K 845 7
                                    

Kiara's POV

"Halaah, Ra gue males banget. Gini aja deh, gue bakal nemenin lu kemana pun yang lu mau. Gue bakal bayarin lu apa pun yang lu mau beli. Sampe lu puas. Gue enggak bisa kalo ngerjain ginian," kata Alex dengan nada menggoda.

Apaa?! 

Dia pikir aku akan tergoda oleh tawarannya? 

Cukup! Kalau aku enggak menggunakan kekerasan, dia enggak akan kapok! 

Aku berdiri dari dudukku dan menghampirinya. Dia tersenyum. Ih dasar playboy! Emangnya dia pikir aku cewek gampangan.

PLAK! Aku langsung menamparnya. Alex mengerang sambil memegang pipinya. Alvin dan Vera kaget. 

"Jangan pikir aku gampangan dengar rayuan gombalmu itu! Sudah berapa banyak yang kamu tipu, hah?!!" tanyaku ketus sambil menuding telunjukku ke arahnya.

"Mulai sekarang, sampe aku dengar kamu nolak perintahku karena alasan enggak jelas, aku enggak akan cuma nampar aja. Aku akan bilang ke Bu Ririn supaya kamu enggak naik kelass!" ancamku tajam. Alex memandangku dengan wajah ketakutan. Perlahan dia mengangguk. Aku kembali ke tempatku dan melanjutkan kerjaku. Aku melirik Alex yang kembali menatap laptopku. 

Awas aja dia!

Pukul tiga sore, bab 1 kami telah selesai tuntas. Walaupun pada akhirnya Alex tetap enggak bisa buat pendahuluan sendiri, setidaknya dia tetap mau tinggal di sini sampai tugas selesai. Dari tadi dia hanya diam tidak berani membantah sedikit pun perintahku. Mungkin dia sudah kapok. Aku tiduran di atas karpet mendengarkan musik di salah satu telinga sambil melepas lelah. Alvin dan Alex kembali menonton televisi. Sedangkan Vera mengecek adeknya di kamar. Dia kembali beberapa saat sambil membawa beberapa toples camilan.

"Aku minta cemilan di toples merah itu dong," kataku. Vera menyerahkan toples biru padaku. Aku mengerutkan dahi.

"Yang merah, Vera. Bukan yang biru," kataku lagi. Vera menatap dua toples di depannya. Kemudian dia memberikan camilan toples merah padaku. Aku memandangnya heran. Aneh.

"Orangtuamu sibuk ya, Ver?" tanya Alvin.

"Iya," jawab Vera singkat.

"Memangnya pergi ke mana?" tanya Alvin. Tidak ada jawaban. Terdengar helaan nafas.

"Entahlah," jawabnya. Jawabannya menarik perhatianku.

"Maksudnya?" tanyaku.

"Kamu peduli padaku?" tanyanya balik. Aku menaikkan salah satu alis. Tumben dia bertanya seperti itu padaku. Dia tidak seperti Vera yang seperti biasanya. Vera tersenyum.

"Mungkin ke surga," jawabnya lirih. Aku tersentak. Begitu juga dengan Alvin dan Alex.

"Ah.. maafkan aku, Ver. Aku..." perkataan Alvin di potong Vera.

"Tidak papa. Semuanya sudah lama berlalu," katanya.

Aku memandang Vera yang sedang asyik membaca novelnya. Kupikir dia orang yang hidupnya baik-baik saja. Dia selalu ceria saat di sekolah. Menyapaku, mengajakku bicara, makan denganku. Aku malah menolaknya. Ya Tuhan, jahat sekali aku. Entah kenapa, aku bisa merasakan rasa kehilangan yang dialami Vera. 

Pukul empat sore kami bertiga berniat pulang. Nyatanya hanya Alvin dan Alex yang pulang duluan. Vera mencegahku pulang dan dia ingin berbicara sesuatu padaku. Aku mengiyakannya. Ini bukanlah aku yang biasanya. Aku biasanya cuek, tidak peduli, masa bodoh dengan permintaan orang lain. Aduh, aku jadi bingung dengan diriku sendiri.

Vera mengajakku duduk di ayunan yang berada di taman depan di rumahnya. Beberapa menit pertama, tidak ada yang bicara. Sampai akhirnya dia membuka mulut.

"Ra, kamu mengingatkanku pada sosok ayahku," katanya tiba-tiba. "Beliau orang yang dingin. Bahkan sama anaknya sendiri. Beliau juga orang yang tegas. Beliau enggak segan-segan menampar orang keterlaluan kayak Alex tadi di depan umum," katanya sambil tersenyum kecil.

"Beliau selalu menutup diri padaku dan Rere. Tapi aku tahu setiap malam, dia ke kamarku dan Rere. Mengecup keningku dan menyampaikan selamat malam. Aku selalu membayangkan hal itu sampai sekarang. Setiap aku tidur, aku berharap Ayah dan Ibu datang. Hanya agar aku mereka memberiku pelukan dan kecupan lagi padaku," katanya lirih. Aku menatap iba padanya. Namun aku tidak berbicara sedikit pun. Aku bisa merasakan Vera telah menangis pelan. Dia menyembunyikannya. Suasana hening kembali.

"Apa sih warna bunga itu?" tunjuk Vera pada bunga mawar merah di dekat kami. Dia menoleh padaku.

"Itu merah, Vera. Kamu bercanda denganku?" tanyaku balik. Vera tersenyum.

"Bagiku semuanya adalah hitam putih," jawabnya. Aku menatapnya. Sekarang aku mengerti alasannya bertingkah memberikanku toples warna biru saat aku meminta toples warna merah.

"Memandangi alam dari balik jendela kelas adalah hobiku. Tapi sayang semuanya hanya hitam putih dan abu-abu. Tapi bagiku itu lebih baik daripada aku buta," katanya. Jujur, cewek ini benar-benar kuat. Mungkin dengan keluargaku yang seperti ini dalam keadaan aku buta warna total saja, aku sudah stressnya minta ampun. Tapi Vera, kapan sih aku pernah lihat dia sedih? Enggak pernah sama sekali semenjak aku mengenalnya.

"Aku juga punya masa lalu yang kelam saat aku dijauhi teman-teman kecilku dulu karena aku buta warna total. Tapi sekarang sudah berbeda masa, kan? Itu hanyalah masa lalu. Aku enggak mau menyia-nyiakan hidupku ini," katanya. "Aku juga ingin berbagi kebahagian padamu," lanjutnya menoleh padaku. Aku menatap matanya lekat-lekat. Mata coklat jernihnya yang indah itu, hanya bisa melihat warna hitam putih dan abu-abu. Aku menghela nafas. Kemudian berdiri.

"Aku pulang," pamitku. Tanpa menunggu jawabannya, aku langsung menuju tempat sepedaku diparkir dan keluar dari rumah Vera. Aku tidak tahan lagi. Pandangan mataku sudah kabur karena air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata. Sambil mengendarai sepeda, aku menangis.

Cting!

Suara notif line masuk saat aku baru saja berniat akan tidur. Hari ini sungguh melelahkan. Cerita Vera masih menggema di otakku. Aku membulatkan mata saat melihat Vera mengirim chat padaku.

.....
Kalau kau pernah mengalami gagal
Dan terluka menjadi trauma
Karena tak ingin merasakan lagi
Orang dewasa pun jadi makin bijak
Mencoba menahan langkah pasti
Memangnya ini apakah
Berhitung tuk pilih menghindar
Dari semua resiko

Sedang hidupkah kita sekarang?Apakah esok ingin terus hidup?Pura-pura mengerti, dan pura-pura tahu
Tapi tak punya impian
Ya, sedang hidupkah kita sekarang?
Apakah menyia-nyiakan hidup?Pertahankanlah ya kamu
Sekarang rasakanlah
..... (Beginner - JKT48)

Aku tak tahu apa lirik lagu yang dia berikan padaku. Tapi aku mengerti. Vera benar. Aku selalu menghindar dari resiko yang ada. Karena takut terluka lagi. Padahal aku belum melangkah. Selama ini langkahku berhenti. Pura-pura tahu bahwa hidupku ke depan pasti akan berjalan lebih baik. Padahal yang kulakukan selama ini hanyalah menyianyikan hidupku. Aku tersenyum.
Vera, dia yang selalu bisa membuatku tersenyum tulus.

AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang