Part 23

7.8K 617 2
                                    

"Lilia demam dari tadi siang. Sampai sekarang panasnya belum turun padahal sudah di kompres. Dokter yang biasanya tidak bisa ditelepon. Lilia juga enggak mau di bawa ke dokter. Tolong gue, Ra!"

Aku langsung memesan taksi dan bersiap-siap ke rumah Alex. Pikiranku kacau balau memikirkan Lilia. Alex pasti enggak tahu masalah begituan. Gimana kalau Lilia dikompres dengan air dingin? Atau di kasih obat yang salah? Huaaa, tambah parah nanti sakitnya. Untungnya taksinya tidak lama datangnya. Aku meminta pak taksi untuk mempercepat jalannya. Jalanan sepi. Padahal masih pukul 8 malam. Biasanya malam minggu begini, jalan ramai. Mungkin ini anugerah Allah. Dalam waktu 15 menit, aku telah sampai di depan rumah Alex yang megah. Aku segera membayar dan turun. Pak satpam langsung membukakan pagar untukku tanpa bertanya keperluanku. Aku heran, mungkin Alex sudah bilang. Aku membuka pintu rumah dan terlihat banyak orang yang berlalu lalang dan ribut. Aku bengong. Aku melihat Bi Inem dengan wajah khawatir menghampiriku.

"Ya Allah, Non Kiara! AKhirnya datang juga. Den Alex bilang, Non Kiara langsung disuruh naik ke kamarnya Non Lilia," kata Bi Inem tergopoh-gopoh. Sepertinya dia lupa bahawa aku tidak suka dipanggil dengan embel-embelan 'non'. Tapi biarlah, yang terpenting sekarang keadaan Lilia. Aku segera naik dan menuju kamar Lilia yang terbuka lebar. Di dalam kamar, aku melihat Lilia tiduran di atas kasur dan Alex yang mondar-mandir di sebelah Lilia. Ada dua orang pelayan yang juga menjaga Lilia. Aku masuk. Alex menoleh.

"Kiara, akhirnya!" serunya senang. Pandanganku beralih ke gadis kecil yang meringik dari tadi. Aku melihat kain kompres di dahinya. Aku menghampirinya. Aku menyentuh baskomnya dan terasa dingin.

"Dari kapan kompresnya?" tanyaku mengangkat kain kompres dari dahi Lilia.

"Tadi sore. Tapi waktu di cek panasnya malah tambah," jawab Alex.
"Kenapa dikompres dengan air dingin? Seharusnya dikompres dengan air hangat," kataku. Alex terkejut. Dia segera memerintahkan salah seorang pelayannya untuk mengambil air hangat dan kain kompres baru. Aku membisikkan beberapa kalimat lembut di telingnya untuk menenangkannya.

Lilia yang awalnya meringik menjadi lebih tenang. Aku melepaskan kancing bajunya agar keringatnya bisa keluar dengan leluasa. Aku terkejut saat melihat bintik-bintik merah di dadanya. Aku meminta Alex untuk dibawakan obat dan air hangat. Dia menyuruh pelayan yang satunya lagi. Aku mengambil sebuah kertas dari dalam tas.

"Coba telepon dokter ini," kataku menyerahkan kertas yang sudah lecek kepada Alex.

Alex's POV
Gue sangat bersyukur melihat kehadiran Kiara. Dokter Frans enggak bisa ditelepon. Sedangkan nyokap bokap gue baru bisa pulang dua hari lagi. Gue langsung frustasi. Untungnya Kiara bisa menangani.

Gue kaget waktu dia bilang seharusnya dikompres dengan air hangat. Bukannya kalau panas harusnya dikompres dingin supaya jadi dingin? Tapi sekarang bukan saatnya memprotes permintaan Kiara. Dia membisikkan sesuatu di telinga Lilia yang membuat dirinya tenang. Gue tertegun melihatnya. Dia sangat lihai mengobati. Setelah itu dia meminta obat dan air hangat untuk Lilia. Gue menyuruh pelayan yang masih memandang kami bingung. Dia langsung keluar. Gue memperhatikan Kiara yang mengobrak-abrik tasnya. Kemudian dia menyerahkanku secarik kertas yang sudah lecek.

"Coba telepon dokter ini," kata Kiara. Gue mengangguk. Tertulis nama Dokter Hadi di bawah deretan angka-angka itu. Gue segera meneleponnya. Tidak butuh waktu lama, terdengar balasan seorang lelaki dari ujung sana.

Gue bernafas lega saat Dokter Hadi mau ke sini untuk mengecek keadaan Lilia. Sebenarnya bukan gue sih yang memintanya ke sini. Tiba-tiba saja Kiara merebut teleponku dan memohon pada Dokter Hadi seperti orang yang sudah kenal lama. Dan dia bilang Dokter Hadi akan segera ke sini.

Tiba-tiba Lilia terbangun dan mengatakan ingin muntah. Kiara mengambil baskom kosong yang sengaja gue siapkan karena tadi dia sempat muntah di kasur dan gue takut dia muntah lagi. Kiara mengelus dadanya. Lilia menangis. Kiara menangkannya.

Seorang pelayan masuk membawa air kompresan hangat. Kiara langsung mengompresnya. Kemudian seorang pelayan datang lagi sambil membawakan kotak obat dan sebotol besar air hangat dengan gelas. Kiara memperhatikan satu per satu obat yang ada di sana dan mengambil sirup paracetamol. Dia membisikkan sesuatu lagi pada Lilia. Lilia mengangguk lemah. Kiara menuangkan sirupnya ke sendok obat dan meminumkannya ke Lilia. Kemudian Lilia minum segelas air hangat sampai habis. Lilia tiduran lagi. Nafasnya lebih teratur. Kiara mengambil kain kompresnya dan membaliknya.

Tak lama kemudian, seorang pelayan datang membawa seorang lelaki berkacamata berpakaian rapi.

"Dokter!" seru Kiara senang. Orang yang gue duga bernama Dokter Hadi tersenyum dan menjabat tangan Kiara. Gue juga menjabat tangan Dokter Hadi. Setelah berbincang-bincang sebentar, beliau mengecek keadaan Lilia.

"Sepertinya kamu masih ingat bagaimana mengatasi DBD ya, Kiara?" tanya Dokter Hadi. Kiara hanya tersenyum. Gue menatap Kiara heran.

"Aku pernah kena DBD dua kali. Aku udah merasa kalau Lilia juga dari gejalanya," kata Kiara menjawab keheranan gue. Gue mengerti. Makanya Kiara sangat lihai tadi mengobati Lilia. Memang enggak salah aku memanggilnya. Dokter Hadi menulis resep obat dan menjelaskan fase demam berdarah pada gue. Gue pura-pura mengerti. Sebenarnya gue bingung Dokter Hadi bicara apa. Tak lama kemudian Lilia tertidur. Gue dan Kiara mengantarkan Dokter Hadi keluar setelah tugasnya selesai.

"Kalau perlu apa-apa. Telepon saya saja," kata Dokter Hadi. Gue mengangguk. Gue kembali menjabat tangan Dokter Hadi. Setelah itu dia pergi mengendarai mobilnya. Kiara menghela nafas.

"Capek ya?" tanya gue merasa bersalah. Gue bisa lihat wajah Kiara yang kelelahan. Kiara tersenyum dan menggeleng. Gue ikut tersenyum. Gue tau dia berusaha menyembunyikannya dari gue.

"Lu masuk dulu gih. Gue mau beli obat buat Lilia," kata gue. Kiara mengangguk. Gue menatapnya sampai dia masuk ke dalan rumah. Setelah itu gue segera pergi ke apotek langganan gue.

Gue hanya pergi selama 10 menit. Saat gue balik, gue melihat Lilia masih tertidur dan Kiara yang juga tertidur dengan posisi duduk dengan kepalanya ditaruh di atas kasur Lilia. Gue tersenyum. Gue menyimpan obat yang barusan gue beli. Gue menatap bergantian dua gadis yang sama-sama berartinya di kehidupan gue. Gue bersyukur memiliki dan bertemu mereka di kehidupan gue. Pelan-pelan, gue menggendong Kiara dan memindahkannya ke sofa panjang yang tidak jauh dari kasur Kiara. Gue takut akan membangunkannya. Sangat menyenangkan melihat wajah Kiara yang tenang saat tidur seperti ini. Gue mengecup keningnya. Setelah itu gue beralih ke Lilia. Gue merapikan selimutnya. Gue menyingkirkan helaian rambut dari wajahnya dan membenarkan kain kompresnya yang mau terjatuh.

"Cepat sembuh ya, adekku sayang," kata gue lembut. Gue mengecup pipinya yang terasa hangat. Gue mematikan lampu.

"Good night, girls. See you tomorrow," kata gue sebelum menutup pintu.

AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang