Aku menepati janjiku untuk datang ke rooftop sekolah menemui Vera. Aku melihat seorang gadis berambut ikal coklat sedang bersandar pada pagar. Dia tidak menyadari kedatanganku. Aku mendekatinya. Dia menoleh padaku saat aku semakin dekat ke arahnya. Dia tersenyum manis ke arahku. Aku hanya menatapnya dingin.
Ada urusan apa dia denganku?
"Kenapa?" tanyaku langsung menuju intinya. Dia tidak menjawab.
"Apa kamu tidak merasakan kesejukan angin sore ini, Kiara?" tanyanya basa-basi. Aku heran mendengar perkatannya. Kenapa dia jadi membahas hal enggak penting kayak gini.
"Ada apa memanggilku ke sini?" tanyaku dingin. Vera tersenyum padaku. Anak ini dari tadi senyum terus. Aku jadi ngeri deh lihatnya.
"Tahu enggak, aku sering memperhatikanmu sejak kelas 10 loh," katanya.
Oh? Dia mengundangku ke sini hanya untuk bicara hal kayak gitu. Sia-sia!
"Aku tahu kamu pasti kesal denganku karena megajakmu ke sini karena hal enggak penting seperti ini. Aku sangat berterima kasih karena kamu tidak langsung pergi meninggalkanku," katanya lembut. Aku diam. Kayaknya beneran deh dia bisa membaca pikiran orang.
"Aku kagum denganmu. Kamu berbeda dari yang lain. Meski kamu diejek Gadis Dingin, kamu enggak terganggu dengan hal itu. Kamu tetap semangat di kelas. Enggak membalas ejekan mereka," pujinya. Aku tidak mengerti.
Sebenarnya arah pembicaraanya ini kemana sih? Kenapa dia tiba-tiba memujiku seperti itu. Dan rasanya aku pernah dengan-dengar kata seperti ini.
"Aku bukan orang yang senang dipuji. Maumu apa?" tanyaku langsung. Sekali lagi, dia menoleh padaku dan tersenyum.
"Aku ingin menjadi sahabatmu," katanya.
Aku ingin menjadi sahabatmu, Kiara!
Aku langsung terbayang perkataan Clara saat dia memintaku menjadi sahabatnya. Tubuhku kaku. Aku tidak mengatakan apa pun. Aku tidak mau dikhinati seperti waktu itu. Tidak untuk yang kedua kalinya.
"Aku tidak suka bersahabat," kataku ketus. Aku berniat meninggalkannya. Tapi Vera memanggilku dan anehnya hal itu menghentikan langkahku.
"Aku yakin kamu punya masalah di masa lalumu. Tapi aku akan selalu ada untuk membantumu, Kiara," katanya meyakinkan. Aku menolehkan wajahku padanya. Aku bisa melihat wajahnya begitu tulus mengatakan hal itu.
Tidak! Bisa jadi itu hanya topeng!
"Aku bisa hidup sendiri," balasku dingin. Kemudian aku meninggalkannya.
"Hai Kiara!" serunya saat aku baru saja sampai ke perpustakaan. Clara memintaku untuk datang ke perpustakaan saat istirahat. Aku tersenyum. Dia sudah kuanggap sebagai sahabatku di SMP. Aku bertemu dengannya di kantin saat akhir-akhir kelas tujuh. Aku tidak sengaja menumpahkan jusku ke bajunya. Untungnya dia tidak marah. Malah dari situ kita semakin dekat.
"Ada apa memanggilku?" tanyaku.
"Selama ini aku kagum padamu. Kamu baik, pintar, dan pemaaf. Kamu juga tidak sombong saat kamu dipuji anak-anak atau guru," pujinya. Aku tersenyum mendengarnya.
"Lalu?" tanyaku sambil tersenyum
"Aku ingin menjadi sahabatmu, Kiara!" serunya. Senyumanku semakin mengembang.
"Aku senang bersahabat dengamu," balasku.
BODOH!
Aku benci bersahabat denganmu, Clara!
Dia memang baik, tapi dia muka dua! Dia membuat sisa-sisa masa SMPku menjadi penyiksaan. Sahabat macam apa itu???!!!
Air mataku mengaburkan pandanganku. Dengan langkah cepat aku menuruni tangga dan menyusuri lorong. Dadaku terasa sesak. Aku ingin menjerit, marah, dan menangis sekencang-kencangnya.
BRAK!
Tanpa sengaja aku menbrak orang sampai aku terpental dan jatuh. Bertepatan saat aku mengangkat wajahku untuk melihat orang yang kutabrak, air mataku terjatuh.
KENAPA HARUS COWOK INI LAGI?
Sekian banyak orang di sekolahku, kenapa hanya dengan Alex aku tertabrak untuk kesekian kalinya. Gawatnya lagi dia melihatku sedang menangis. Aku cepat-cepat berdiri dan menghapus air mataku. Aku berjalan melewatinya.
"Cenggeng," ejeknya pelan saat aku lewat di sebelahnya. Aku langsung menghentikan langkahku. Aku menoleh ke arahnya dengan mata berkaca-kaca. Sedangkan dia menatapku tanpa ekspresi. Aku tidak ingin bertengkar dengannya sekarang.
"Terserah apa katamu," kataku dengan suara serak. Kemudian aku berjalan meninggalkannya.
Aku kembali mempercepat langkahku menuju parkiran sepeda. Dengan kasar, aku menarik sepedaku dari parkiran. Aku langsung menaikinya dan mengayuh sepedaku kencang.
Sampai di rumah aku langsung naik ke kamar dan membanting pintu kamarku. Tanpa melepas seragam aku langsung membanting tubuhku di kasur. Air mataku langsung mengalir deras.
Hal itu sudah lama berlalu. Tapi kenapa aku masih sakit hati karena kejadian itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Alone
Teen Fiction[Beberapa part hanya bisa dibaca oleh followers] Kiara tidak pernah ingin jatuh di lubang yang sama. Tidak untuk kesekian kalinya merasakan sakit hati. Baginya hidup sendiri itu lebih menyenangkan. Sampai akhirnya dia bertemu dengan mereka, yang me...