Kiara's POV
Setelah acara LDKS berlalu, para guru mulai mengejar nilai-nilai. UH mulai bermunculan di papan pengumaman kelas. Ditambah dengan deretan tugas individu dan tugas proyek. Apalagi satu bulan lagi sudah akan UTS. Lembaran-lembaran LKS jadi bawaanku sehari-hari ke kantin atau ke perpustakaan. Aku selalu ingin. Seperti saat ini aku yang sedang mengerjakan LKS kimia sambil menikmati segelas es kelapa muda.
"Ra, kamu kok sukanya menyibukkan diri sih. Deadline nya juga masih lama, kan?" kata Vera yang dari tadi hanya mentapku.
"Kamu kayak enggak tahu Bu Ani aja sih. Beliau itu sukanya obral nilai. Ini kesempatan buat menutupi beberapa nilai rapotku yang jelek," kataku tanpa menoleh padanya.
"Jelek? Emang nilaimu ada yang jelek?" tanya Vera. Aku hanya bergumam.
"Oh iya, kamu jadi mentraktir Alex?" tanya Vera. Aku menepuk jidat. Aku baru ingat aku akan mentraktirnya sebagai tanda terima kasih atas kejadian di LDKS kemarin. Aku tidak suka berhutang budi pada orang lain. Aku pasti akan membalasnya. Aku mengedarkan pandangan. Biasanya istirahat kayak gini dia juga ada di kanti. Sesuai dugaanku, aku menemukannya di meja kantin tempatnya seperti biasa sedang bercandan dengan ketiga temannya. Aku pamit ke Vera sebentar untuk menemui Alex.
"Alex! Bisa bicara bentar?" tanyaku. Alex menaikkan alisnya saat melihatku. Dia mengangguk. Kemudian dia pamit pada temannya dan mengajakku ke tempat yang lebih sepi.
"Kenapa? Kangen?" godanya. Aku tersenyum kecut.
"Aku mau traktir kamu sebagai tanda terima kasih. Aku enggak suka berhutang budi pada orang lain," kataku. Alex memandangku bingung. Kemudian tertawa. Sekarang aku yang memandangnya bingung.
"Kiara, kiara!" gumamnya sambil tertawa.
"Lu kayak enggak pernah bantu orang aja sih," lanjutnya. Aku hanya diam. Kayaknya emang bener deh, aku enggak pernah bantuin orang. Tiba-tiba saja dia menaruh tangannya di kepalaku.
"Gue ikhlas kok bantuin lu. Suatu saat lu juga bakal ngerasain. Saat lu baik sama orang tanpa berharap orang itu membalas perbuatan lu," katanya lembut. Dia mengacak-ngacak rambutku kemudian meninggalkanku. Aku menggeram. Aku benci rambutku diacak-acak. Aku merapikan rambutku yang acak-acakan
Pulang sekolah, aku mampir ke ruangan guru sebentar untuk mengumpulkan tugas fisika. Dan aku mendapat nilai tambahan. Yeah! Aku langsung berjalan pulang agar aku bisa langsung melanjutkan tugas kimia.
"Kiara!" panggil seseorang. Aku menghentikan langkah dan menoleh. Aku melihat Alex berlari sambil melambaikan tangan. Dia terengah-engah. Aku memandangnya heran.
"Ra, gue butuh bantuan lu. Gue enggak mudeng sama sekali sama tugas kimia. Bantuin gue yah," kata Alex memohon. Aku menaikkan alis. Hmm.. tapi tugasku juga belum selesai. Eh tapi dia juga udah nolongin aku. Masa aku nolak, kan enggak enak.
"Sekarang?" tanyaku. Alex berpikir sejenak.
"Besok aja deh," katanya. Aku mengangguk. Aku punya satu malam ini untuk mengerjakan tugas kimi aku. Aku pamit pulang. Awalnya dia mau mengantarkanku pulang. Tapi aku langsung menolakanya mentah-mentah. Alex makin aneh aja deh lama-lama.
Besok paginya, sesuai perjanjian aku akan membantu Alex mengerjakan tugas Kimia. Jadi aku memutuskan untuk membawa jajan banyak-banyak. DIN! DIN! Terdengar suara klakson mobil di depan rumah. Aku mengerutkan kening. Jangan-jangan itu mobil ayah? Apa ada barang ayah yang ketinggalan ya? Aku mengecek ke luar dan menemukan mobil honda jazz putih di depan rumahku. Itu bukan mobil ayah. Mungkin hanya orang iseng. Sebelum aku masuk kembali, kaca pintu mobil itu terbuka dan terlihat Alex sedang memegang kemudi. Aku terkejut.
"Heh! Kok kamu tahu rumahku?!" seruku kaget.
"Apa sih yang pangeran sekolah enggak tahu," katanya sombong. Aku hanya memutar bola mata. Ngapain dia ke sini.
"Ayo!" serunya.
"Apa?" tanyaku balik.
"Ya ke sekolah lah," jawabnya.
"Sama kamu?" tanyaku mendelik. Alex mengangguk.
"Ogah! Nanti aku langsung di serbu fansmu kayak waktu itu!" kataku mengingat tingkah Sinta dan kedua antek-anteknya. Alex tertawa.
"Takut banget sih. Lagian lu mau ke rumah gue pake sepeda lu itu? Rumah gue enggak sedeket rumah lu ke sekolah," katanya. Aku diam. Ya iyasih, aku juga enggak tahu rumahnya Alex di mana.
"Cepetan naik!" serunya lagi. Aku berpikir lagi. Tapi akhirnya aku menuruti permintaanya. Aku duduk di belakang.
"Eh, lu pikir gue supir lu apa? Pindah ke depan!" perintahnya. Aku hanya diam di tempat.
"Kiara, pindah ke depan atau gue gendong lu?" tanya Alex. Seketika aku langsung keluar dari mobil dan pindah ke depan. Aku tahu Alex bukan orang yang main-main dengan ucapannya. Aku melihat tatapan jahil Alex padaku. Aku mendengus kesal.
Dugaanku benar. Aku langsung jadi tatapan cewek-cewek sekolahan gara-gara satu mobil dengan Alex. Vera langsung menanyaiku dengan berbagai macam pertanyaan. Aku sampai pusing mendengarnya. Apalagi saat aku nanti mau ke rumahnya, wuih, Vera langsung jerit-jerit enggak jelas sampai jadi tontonan satu kantin.
"Vera, diam!" seruku kesal.
"Ya ampun, Ra. Kamu itu cewek paling beruntung di sekolah ini. Satu mobil sama pangeran sekolah? Jangan bercanda dong, Ra," kata Vera histeris.
"Dih, palingan juga udah banyak cewek yang keluar masuk mobilnya dia," sindirku. Vera hanya tertawa kecil.
"Jahat banget sih," kata Vera. Aku hanya nyengir.
Rumah Alex sangat besar. Lebih besar dari rumah Vera. Halamannya sangat luas. Jangan-jangan dia juga tinggal di sini sendiri.
"Besar, kan rumah gue?" pamernya. Aku bergumam. Dia parkir di depan pintu rumah. Aku jadi bingung. Kemudian datang seorang lelaki berpakian hitam-hitam. Alex memberikan kuncinya pada lelaki itu. Oh aku mengerti. Pasti lelaki itu yang akan memarkirkan mobilnya. Dasar anak manja!
Dia mengajakku masuk. Wuih, barang-barang impor semua nih kayaknya. Tapi kok sepi begini sih. Jangan-jangan benar dugaanku, dia hanya sendirian di sini. Belum sempat aku bertanya, aku melihat seorang gadis kecil sedang menonton televisi. Cantik dan imut banget! Sangat mirip seperti Alex. Rambutnya coklat dan matanya abu-abu. Mungkin gadis ini versi ceweknya Alex dan lebih mini. Eh, apa ini adeknya?
"Siapa dia?" bisikku pada Alex menunjuk pada gadis itu.
"Oh, adekku," jawabnya singkat. Benar dugaanku.
"Wih, bolos sekolah lagi lu?" tanya Alex pada adeknya. Aku mendelik. Lu? Dia menggil adeknya pakai 'Lu'? Enggak ada rasa kakak-beradikannya banget sih.
"Terserah Lilia mau bolos apa enggak. Toh mama sama papa juga enggak tahu," kata adek itu. Jadi namanya Lilia. Ternyata sikapnya enggak jauh beda dengan kakaknya. Pantas sih. Lilia menoleh padaku. Aku tersenyum gugup.
"Kakak bawa cewek lagi?" tanya Alex. Aku mendelik. Aku melirik Alex yang mendelik pada Lilia.
"Cewek kayak apa lagi nih, Kak. Lilia udah bosen lihat cewek-cewek kakak yang kelakuannya enggak jelas," katanya tajam. Anak ini umurnya kelihatannya masih kecil, tapi dari cara bicaranya udah dewasa banget. Nyakitin lagi.
"Lilia, jaga ya mulut lu!" seru Alex. Ampun kejam banget sih Alex! Lilia menatapku tajam. Apa salahku? Dia bahkan belum mengenalku. Kenapa dia kelihatannya benci padaku.
"Urus aja sana cewek-cewek kakak!" seru Lilia membanting remote televisi dan berlari entah ke mana. Aku bengong.
Apa aku salah datang ke sini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Alone
Teen Fiction[Beberapa part hanya bisa dibaca oleh followers] Kiara tidak pernah ingin jatuh di lubang yang sama. Tidak untuk kesekian kalinya merasakan sakit hati. Baginya hidup sendiri itu lebih menyenangkan. Sampai akhirnya dia bertemu dengan mereka, yang me...