Part 33

6.1K 495 2
                                    

Aku kembali tidur di rumah sakit. Karena aku malas pulang ke rumah, jadi aku memilih tidur di rumah sakit. Alvin juga tidur di rumah sakit dengan posisi duduk berbantalkan tangan yang ditaruh di atas kasur. Aku hanya geleng-geleng kepala saat melihatnya. Aku memilih tidur di sofa.

Sinar mentari masuk melalu jendela rumah sakit. Minggu yang cerah. Hari yang ceria. Aku melihat kalender yang terpajang di rumah sakit. Seingatku sekarang November akhir, mulai memasuki musim pancaroba. Yeay, musim penghujan bentar lagi tiba. Tapi itu sama saja, menunggu UAS tiba. UAS dilaksanakan minggu kedua Desember. Huft, dan aku belum mempersiapkan sama sekali.

Seseorang masuk ke kamar. Aku menoleh dan melihat Alvin masuk membawa kresek. Dia baru saja turun untuk membeli sarapan. 

"Gue beli bubur," kata Alvin. Dia menyerahkan bubur dan krupuknya padaku.

"Makasih," kataku. Kemudian kami sarapan bersama sambil bercerita.

"Ouch!" tiba-tiba kami mendengar suara dari kasur. Kami menoleh. Aku melihat Vera berusaha untuk duduk. Aku dan Alvin langsung menaruh sarapan kami dan berlari menghampirnya.

"Eh, Vera sudah sadar? Tiduran dulu aja," kataku. Aku membantu Vera untuk tidur lagi.

"Gue panggil dokter ya," kata Alvin. Aku mengangguk. Alvin menelepon Dokter Vero. Aku menatap Vera. Aku bersyukur akhirnya dia sudah sadar. Vera melihatku. Dia tersenyum. Aku membalas senyumannya.

"Hai, Ra," sapanya ramah.

"Hai juga, Ver," sapaku balik. Sampai detik ini, aku merasa beruntung bersahabat dengannya. Aku mengelus kepalanya yang di perban.

"Akhirnya kamu sadar juga," kataku lirih. Vera tersenyum. Aku melirik Alvin yang hanya melihat kami sambil tersenyum. Vera ikut menoleh.

"Hai, Vin," sapa Vera.

"Hai, Ver," sapa Alvin balik. Aku menahan tawaku melihat Alvin yang salah tingkah. Tak lama kemudian Dokter Vero datang dengan susternya.
"Selamat Pagi! Sepertinya ada kabar gembira di ruangan ini," sapa Dokter Vero ramah. Beliau dan susternya mendekat ke ranjang Vera. Aku dan Alvin menjauh membiarkan mereka memeriksa keadaan Vera.

"Keadannya mulai pulih. Tapi pastikan dia jangan banyak bergerak," pesan Dokter Vero. Aku mengangguk. Aku melihat Vera yang masih diganti perban kepalanya oleh suster.  Tak lama kemudian datang seorang suster lagi membawa nampan berisi sarapan. Aku mengucapkan terima kasih. Setelah perban di kepala Vera diganti Dokter Vero dan susternya pamit.

"Vera, makan dulu ya," kataku mengambil mangkuk berisi bubur. Vera mengangguk.

"Berapa lama aku pingsan?" tanya Vera.

"Empat hari sama hari ini," jawabku. Vera menghela nafas. Aku membantu Vera agak duduk di ranjangnya. Aku menyuapi Vera sampai buburnya habis. Alvin hanya diam di sofa. Suasanya sangat sunyi. Aku membantunya minum dan kembali tidur.

"Istirahat dulu, Ver. Jangan banyak gerak," kata Alvin bersuara. Aku tersenyum.

"Emm, Ra," panggil Vera. Aku yang baru saja menaruh mangkuk bubur menoleh.

"Kamu sayang sama Alex?" tanyanya. Heh? Dia baru sadar, dan langsung bertanya hal ini padaku?

"Eee..." aku bingung harus menjawab apa. Aku melirik Alvin. Alvin hanya melirikku juga. Aku menghela nafas.

"Maaf," kataku menundukkan kepala.

"Cemburu melihat orang yang kusayang bersama orang lain itu hal memang sakit. Tapi aku akan lebih menyakitkan kalau aku merusak hubungan dua orang yang saling sayang. Apalagi itu sahabatku," kata Vera lembut. Aku mengangkat kepala. Vera tersenyum.

"Aku lega kamu mengakuinya," lanjut Vera. Aku terharu mendengarnya. Aku langsung berlari memeluknya. Vera membalas pelukanku.

"Mungkin, perasaanku ke Alex hanya sebatas kagum," kata Vera.

"Lagi pula," Vera menoleh pada Alvin. "Aku mendengar perkataan Alvin tadi malam," kata Vera setengah berbisik padaku tapi cukup keras dengan wajah menggoda pada Alvin. Alvin terkejut. Mukanya langsung merah padam. Aku tertawa.

"Aa... a.. apa?" tanya Alvin salah tingkah.

"Aku hanya koma, Vin. Aku masih hidup. Aku dengar semua perkataanmu tadi malam. Percakapanmu dengan Kiara tadi malam juga. Karena itu, aku langsung bertanya pada Kiara agar aku cepat lega," kata Vera. Aku tersenyum senang. Begitu juga dengan Vera dan Alvin.

Vera, terima kasih. Kamu adalah sahabat yang paling mengerti aku. Gadis yang sangat dewasa. Aku bersyukur telah mengenalmu.

*****

Senin, aku sekolah seperti biasa. Hari Minggu kemarin, aku sama sekali enggak berhubungan dengan Alex. Dia enggak ke rumah sakit. Dia enggak telepon, sms, ataupun line. Alvin menyuruhku untuk telepon. Tapi aku enggak mau. Aku akan berbaikan padanya hari ini.

BRAK! Tanpa sengaja aku menabrak seseorang. Aku terjatuh. Duh, keasikan melamun sih. Siapa sih? Aku mengangkat kepala. Aku terkejut saat mengetahui ternyata Alex yang menabrakku.

"Eh?! Alex!" seruku.

"Eh maaf, Ra. Gue barusan keluar dari kelas enggak tahu ada lu lewat," katanya sambil membantuku berdiri.

"Iya gapapa," kataku.

"Enggak ada yang sakit, kan?" tanyanya. Aku mennggeleng.

"Syukurlah. Gue pergi dulu ya," katanya. Kemduian dia berjalan melewatiku. Hah? Sudah gitu aja? Enggak ada sapaan selamat pagi gitu? Kok jadi canggung gini sih. Aku menoleh. Aku melihat Alex didatangi beberapa adek kelas perempuan. Huh, pasti fansnya. Alex melirikku. Aku langsung memalingkan wajah dan berjalan. Belum sampai aku di kelas, seorang lelaki menghentikanku. Aku terkejut. Aku mengenalinya. Lelaki ini... temannya Alex yang dulu. Kalau enggak salah, Handy namanya.

"Sorry ganggu. Gue Handy, temannya Alex," katanya memperkenalkan diri. Nah aku bener kan.

"Oh iya, kenapa?" tanyaku.

"Bisa ketemu di taman belakang sekolah waktu istirahat?" tanyanya. Aku mengangkat alis. Taman belakang sekolah? Setahuku, itu termasuk daftar tempat menyeramkan di sekolaku.

"Ini masalah Alex. Gue butuh bicara sama lu," katanya. Aku mengangguk pelan.

"Oke kalau gitu. Gue duluan," katanya kemudian pergi. Aku kembali melanjutkan perjalanan menuju kelas.

*****

Saat istirahat aku langsung menuju taman belakang. Aku mulai berpikir seharusnya aku enggak ke sini sendiri saat melihat keadaan taman belakang. Terdapat tiga siswa laki-laki juga berada di sana. Mereka dulunya adalah teman-teman Alex. Sekarang, aku enggak tahu sebenarnya hubungan mereka dengan Alex gimana. Mereka menoleh padaku.

"Akhirnya datang juga," kata Handy.
"Kenalin ini Adit dan Bram," kata Handy mengenalkan dua orang yang ada di samping kanan dan kirinya. Aku tahu yang Bram, yang waktu itu menemani Alex ke UKS.

"Kita dulu temannya Alex," kata Handy.

"Dulu?" tanyaku balik.

"Iya. Sebelum dia kenal lu," jawab Adit. Aku mendelik. Kayaknya aku benar-benar salah datang ke sini sendirian.

"Gue pikir lu enggak mau dateng ke sini. Ternyata emang lu cewek gampangan," timpal Handy. Haaa???!! Cewek gampangan??!!

"Oh, kalau gitu aku pergi dulu," kataku memutuskan untuk pergi.

"Eh, cewek tiga juta!" seru Handy. Aku berhenti. Aku menoleh dan mengerutkan kening.

"CEWEK TIGA JUTA, HAH?" tanyaku marah.

AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang