Part 15

9.2K 680 3
                                    

Gue bengong menatap Lilia bergandengan tangan dengan Kiara. Sejak kapan anak ini mau dekat-dekat sama cewek yang gue bawa ke rumah?

"Kak Alex, maafkan Lilia ya. Lilia selama ini enggak pernah dengerin Kak Alex bicara dulu. Lilia pasti langsung marah-marah. Lilia pengen hubungan kita kayak dulu lagi, Kak," kata Lilia berlari menuju gue. Dia memeluk gue. Gue terkejut. Gue terharu mendengar perkataan Lilia. Enggak! Dia enggak salah, tapi gue yang salah selama ini.

"Selama ini Kak Alex yang salah. Kak Alex lupa sama Lilia. Lilia maafkan kak Alex ya," kata gue lembut membalas pelukan Lilia. Aku menatap Kiara yang sedang tersenyum melihat kami. Aku melepaskan pelukan Lilia dan menatapnya bingung.

"Lilia mau sama Kak Kiara?" tanya gue heran. Lilia tersenyum sambil menatap Kiara.

"Karena Kak Kiara, Lilia yakin kalau Kak Alex itu sebenarnya sayang sama Lilia," jawabnya. Aku menoleh pada Kiara. Dia hanya tersenyum dan ikut bergabung di meja makan duduk di sebelah Lilia. Lilia menyerahkan piringnya pada Kiara minta diambilkan nasi dan lauk. Kiara dengan senang hati membantunya.

Kiara, cewek ini emang udah bener-bener berubah. Kayaknya julukan gadis dinginnya di sekolah sebentar lagi akan runtuh. Gue berhutang budi sama Kiara sudah membuat gue sama adek gue baikan. Entah sejak kapan, semua hal yang dilakukan Kiara tampak menarik bagi gue. Saat dia berbicara dengan Lilia. Saat dia mengambilkan Lilia makanan. Dan Lilia kelihatan senang sama Kiara. Tapi selalu, yang gue suka dengan Kiara adalah senyumannya yang limited edition. Cowok macam apa gue ini? Cewek sebaik Kiara gini, gue jadikan bahan taruhan. Rasa bersalah menyelimuti hati gue. Harga diri cewek ini enggak pantas dibuat taruhan. Gue harus apa sekarang?

Jam 8 Kiara pamit pulang. Lilia minta Kiara di rumah sampai jam 9 tapi gue melarangnya. Yaiyalah, Kiara bisa telat sekolah besok karena kecapekan. Biasanya nih kalau gue bawa cewek ke rumah, Lilia langsung berharap cewek itu pergi.

Sepanjang perjalanan gue dan Kiara enggak ada yang saling bicara. Hanya ada alunan musik yang mengisi heningnya mobil gue.

"Ra, makasih ya atas semuanya," kata gue tanpa mengalihkan pandangan dari jalan. Kiara tidak menjawab. Hanya ada suara hembusan nafas. Gue menoleh pada Kiara dan menemukan gadis itu tengah tidur bersandarkan pintu mobil gue. Gue tersenyum kecil.

Gue enggak langsung membangunkan Kiara waktu udah sampai di rumahnya. Gue memperhatikan wajahnya yang kelelahan. Perlahan, gue elus rambutnya. Dia itu berbeda dengan cewek yang lain. Cewek-cewek lain hanya memandang gue sebatas Alex yang populer, yang keren, yang kaya. Tapi Kiara, dia bahkan enggak tertarik sama gue, tapi dia udah bantu hubungan gue dan adek gue jadi lebih baik.

"Kiara, bangun. Udah sampai," panggil gue lembut. Kiara mengerak-ngerakkan tubuhnya di kursi. Kemudian membuka matanya dan meregangkan otot-ototnya. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri.

"Eh udah sampai ya?" tanya Kiara. Gue mengangguk. Tuh kan, bahkan lihat dia bangun tidur aja juga menjadi hal yang menarik bagi gue.

"Makasih ya, Lex atas antar jemput gratisnya dan makan malamnya. Aku senang diantar jemput sama dikasih makan malam lagi," katanya jahil. Gue tertawa.

"Iye, iye. Nanti gue jemput lu lagi sama ngajak lu makan malam. Turun sana! Jangan tidur malam-malam," kata gue mengusir dia. Dia membuka pintu. Namun dia enggak segera turun. Dia kembali menoleh padaku.

"Inget ya janji yang tadi! Sampe aku dengar Lilia ngambek lagi gara-gara kamu, aku enggak akan tampar kamu ajq! Aku akan tendang kamu di depan Lilia biar dia puas!" katanya tegas. Gue kembali tertawa mendengarnya.

"Siap, siap, Bos!" kata gue berlagak tentara. Kemudian dia langsung turun. Apa? Dia enggak ngomong selamat malam gitu? Huh, kenapa sih dia enggak tertarik sama gue?

Setelah gue lihat Kiara masuk ke rumahnya, gue langsung pulang. Gue langsung disambut dengan Lilia. Dia langsung menanyaiku kapan bawa Kiara ke rumah lagi. Gue sampai pusing dengernya. Eh, apa gue cerita aja ya sama Lilia masalah taruhan itu. Mungkin dia bisa kasih solusi.

"KAK ALEX JAHAT BANGET SIH!" jerit Lilia setelah gue akhirnya memutuskan untuk cerita padanya. Gue langsung menutup mulutnya.

"Iya, iya! Tapi jangan teriak-teriak, dong!" seru gue kesal. Lilia mendelik kepada gue.

"Pokoknya batalin taruhan itu! Lilia enggak mau tahu! Kak Kiara itu udah baik banget sama kita! Aaaa, Kak Alex jahat, jahat, jahat!" seru Lilia marah sambil memukul-mukul. Eh, eh, eh, kejam banget dia sama kakaknya sendiri.

"Eh iya, iya! Ngomongnya jangan sambil mukul-mukul dong. Kak Alex bingung nih," kata gue berusaha menghentikan pukulan-pukulan Lilia. Lilia berhenti. Tapi dia masih menatapku kesal.

"Iya, iya, Kak Alex bakal batalin taruhannya," kata gue akhirnya.

"Janji?" tanya Lilia mengacungkan kelingkingnya.

"Janji!" seruku sambil melingkarkan jari kelingkingku padanya. Ini keputuan gue akhirnya. Gue enggak akan menjadikan Kiara bahan taruhan gue lagi.

Keesokan harinya, gue menepati janji gue pada Lilia. Gue membatalkan taruhan itu saat istiaraht yang langsung di sambut protes sama ketiga teman gue.

"Kok gitu sih, Bro? Lu kalah ya?" tanya Adit.

"Enggak. Belum ada yang kalah dan menang. Gue mulai berpikir kayaknya jahat banget jadiin cewek bahan taruhan," kata gue santai.

"Kayaknya lu mulai keracunan ya sama Kiara," kata Bram. Keracunan? Apaan maksudnya? Di pikir Kiara nenek sihir apa?

"Yah kok gitu sih, Lex. Berarti lu ngasih kita masing-masing satu juta?!" tanya Handy.

"Ya enggaklah. Kan gue batalin. Kalau gue ngasih berarti gue kalah," kata gue.

"Yaelah. Padahal gue udah seneng banget pasti bakal dapat satu juta. Taunya malah gini. Lu batalin taruhan sepihak. Ah enggak asik banget sih lu," kata Adit. Bram dan Handy mendukunya. Gue marah mendengarnya. Jadi mereka temenan sama gue cuma karena uang? Gila, jahat banget mereka. Ternyata perkataan Kiara malam itu bener.

"Oh, jad lu temanan sama gue cuma karena uang?!" tanya gue kejam.

"Lah, lah, lu kenapa?" tanya Bram bingung.

"Eh... ya enggaklah. Kan maklum sih kalo temen minta traktir gitu," kata Adit.

"Dengan cara taruhan cewek? Itu beda!" seru gue kesal. Sebelum gue ngamuknya parah, gue langsung meninggalkan meja makan. Gue memutuskan untuk menemui Kiara. Tiba-tiba pengen ketemu aja. Tumben juga dia enggak ke kantin.

"Ha? Enggak masuk?" tanya gue pada salah seorang teman sekelasnya.

"Iya. Enggak ada kabar," jawabnya. Gue bingung. Perasaan kemaren dia baik-baik aja. Jangan-jangan dia sakit? Gue bertemu Vera saat gue akan kembali ke kelas. Gue langsung menghadangnya. Dia terlihat kaget melihatku.

"Kiara mana?" tanya gue.

"Aku enggak tahu juga. Sepulang sekolah nanti aku akan kerumahnya," jawab Vera.

Aneh!



AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang