Seperti perkataan Doket Hadi, fase-fase kritis adalah yang paling menguji. Gue memutuskan untuk enggak masuk sekolah saat Lilia menjalani fase kritis. Nyokap bokap gue mundur pulangnya dengan alesan jadwal penerbangannya diundur. Gue yang mendengar kabar itu langsung membanting ponselku dan marah-marah enggak jelas sampai membuat pelayan-pelayan gue takut. Kiara yang akhirnya selama seminggu ini nginep di rumah gue menenangkan gue berulang lagi. Untungnya ada dia. Kalau enggak, gue udah enggak tau bakal jadi apa gue. Dia sangat telaten mengurus Lilia sehingga gue enggak perlu khawatir lagi. Bahkan pelayan-pelayan gue kagum sama Kiara.
"Wih, Non Kiara itu baik banget ya," kata salah seorang pelayan yang sedang membersihkan meja makan. Gue yang sedang menonton televisi hanya tersenyum. Kiara sedang berada di kamar Lilia untuk mengecek keadaan Lilia.
"Iya! Kemarin aja Non Kiara sampe ketiduran di ruang tamu sambil ngerjain tugas. Sebelumnya dia selalu mengurus Non Lilia dulu," balas yang lainnya.
"Wah iya?" tanya yang lain lagi.
"Iya. Lalu, Den Alex menggendong Non Kiara ke atas. Mesra banget pokoknya mereka," jawab pelayan tadi.
"Akhirnya ceweknya Den Alex kayak gini. Aduh coba deh cewek-ceweknya Den Alex dulu. Kulitku aja masih ada yang berbekas karena siraman air panas waktu itu," keluh seorang pelayan. Gue hanya geleng-geleng kepala. Gue inget itu ulah Sinta waktu itu menyiram pelayan gue gara-gara supnya keasinan. Padahal panas banget supnya itu. Kalau gue pikir-pikir, kenapa ya kok gue dulu mau sama dia?
"Sshh.. nantin Den Alex kedengaran. Eh Non Kiara juga udah turun tuh," kata pelayan lain. Gue melirik dan melihat Kiara baru saja turun. Dia menyapa ramah para pelayan yang sedang membersihkan meja. Kemudian Kiara langsung menghempaskan diri di sofa.
"Akhirnya besok Sabtu juga. Lilia sudah mulai baikan. Besok pinjam dapur ya, aku mau bikin kue buat Lilia ," katanya. Gue mengangguk. Kiara menghela nafas. Wajahnya terlihat kelelahan.
"Ah, kalau gitu aku mau ngerjain tugas sekarang aja deh," lanjutnya kemudian berdiri. Ha?! Makhluk apaan sih dia? Wajahnya kelelahan gitu, masih maksa ngerjain tugas. Gue langsung menarik tangannya untuk duduk lagi.
"Lu itu kecapekan Kiara! Istirahat dulu malam ini," kata gue mengingatkan.
"Kata siapa aku capek? Aku semangat banget hari ini. Daripada nanti tugasnya enggak selesai," kata Kiara beralasan. Dia kembali berdiri tapi gue menariknya lagi dan langsung memeluknya.
"Gue enggak akan ngelepasin lu sampe lu janji enggak berdiri lagi," kata gue pelan tapi tegas. Kiara berusaha mendorong gue menjauh. Tapi gue bukan tandingannya.
"Kamu kok sukanya main peluk mendadak sih!" keluh Kiara kesal.
"Ya makanya janji dulu lu ga berdiri lagi habis ini," kata gue.
"Lex, pembantu kamu ngeliatin kita nanti," kata Kiara. Gue menatap pelayan-pelayan gue dari balik punggung Kiara yang ternyata memang beneran lagi menatap gue dan Kiara. Begitu melihat tatapan tajam gue, mereka langsung buru-buru pergi.
"Gue enggak peduli. Pokoknya malam ini lu harus istirahat. Badan lu udah mulai lemes kayak gini," kata gue tetap memeluknya erat. Tubuh Kiara melemas. Dia menghela nafas.
"Iya, janji!" katanya akhirnya. Gue melepaskan pelukan. Kiara menundukkan kepalanya. Gue mengangkat dagu Kiara. Wajah putih Kiara merah padam. Gue bengong. Tapi kemudian gue tertawa.
"Lu kalau tersipu lucu banget sih," goda gue. Kiara menatap gue kesal.
"Yaudah aku mau belajar ajaa!" seru Kiara ngambek.
"Eh iya, iya! Gue cuma bercanda," kata gue buru-buru. Kiara mendengus kesal.
Kiara's POV
Jantungku masih berdetak kencang. Cewek mana sih yang enggak malu di peluk di depan orang banyak, walau hanya para pembantunya Alex, tapi enggak ada hubungan apa-apa? Mungkin sekarang rasanya sudah beda saat pertama kali aku bersama dengan Alex. Tapi aku masih enggak tau apa perasaan ini sungguhan atau hanya sekedar kekaguman?"Ayo tidur sana!" perintah Alex. Aku melirik jam. Masih jam 8. Sungguh aku males kalau sekarang harus ke kamar. Aku baru sajaa turun dan harus naik lagi. Aku tidur di kamar tamu yang ada di depan kamar Lilia.
"Masih jam 8. Nanti aja kalau udah jam 9," kataku memohon.
"Oh, lu mau gue gendong lagi? Mata lu itu udah tinggal berapa watt?" tanyanya. Aku kembali menahan malu. Kesannya kayak aku mau digendong lagi. Bohong kalau aku enggak tahu kalau Alex yang selama ini memindahkanku ke kamar kalau aku ketiduran. Dari mana aku tahu? Dari para pembantu Alex yang kayaknya hobi banget ngomongin aku dan Alex.
"Duh, Lex, aku lagi males gerak nih. Ya kalau aku ketiduran, bangunin aja. Enggak usah digendong juga," kataku. Alex menatapku sebentar. Kemudian dia menghela nafas dan mengangguk. Aku bersorak senang. Mataku langsung beralih kepada televisi. Sudah lama aku enggak nonton.
Tapi aku kecewa karena yang ditonton Alex film tentang bela diri. Jelas enggak ada menariknya buat aku. Kalau aku enggak males, mungkin aku lebih milih tidur tadi. Kayaknya setan-setan memang sedang menyebarkan hawa malas padaku. Aku menguap.
"Nah, ngantuk, kan?" tanya Alex.
"Ih enggak! Kata siapa? Filmnya bagus nih. Masa aku tidur," kataku berbohong. Ugh, aku mau tidur di sini saja!
Alex mengambil bantal sofa. Kyaaa, mau satu dong! Tanpa kusadari, Alex menarik pundakku dan menidurkanku dengan kepala di bantal yang ada di atas pahanya. Aku memekik karena kaget. Aku berniat bangun tapi ditahan Alex. Aduh, anak ini kok sukanya maksa orang sih. Udah hobinya meluk tiba-tiba juga.
"Lu males pindah ke kamar, kan? Ya udah tidur di sini aja. Nanti gue bangunin lu kalau udah jam 9," kata Alex santai. Aku hanya diam. Hari ini aku telalu lelah untuk berdebat dengannya. Jadi aku menurut saja. Lagi pula nyaman juga rasanya.
"Lex, aku mau tanya sesuatu boleh enggak?" tanyaku tanpa melihat ke arahnya. Mataku tertatap pada televisi. Tapi ada sebuah pikiran yang menganggu.
"Lah itu lu tanya gue," jawab Alex. Aku meliriknya. Dia tertawa kecil.
"Kamu kok enggak pernah bareng sama tiga temenmu lagi sih? Siapa itu namanya? Bram... Adit... sama siapa tuh, Handy? Itu bukan sih namanya?" tanyaku. Alex tidak menjawabku. Aku menoleh padanya. Ekspresinya berubah jadi tegang. Eh, apa aku salah bicara ya?
"Lu emang bener, Ra. Mereka temenan sama gue cuma karena duit. Gue bertengkar sama mereka dan mereka enggak pernah mencari gue. Dan menurut gue, Alvin jauh lebih menyenangkan," ceritanya.
"Yaahh, maaf banget pasti gara-gara ucapanku malam itu," kataku merasa bersalah.
"Stop berkata maaf! Lu enggak salah apa-apa," katanya. Aku hanya menghela nafas.
"Kamu berubah banyak banget yah," komentarku kembali memperhatikan televisi yang menyala.
"Dulu aja waktu pertama kali kita ketemu, kamu kayaknya benci banget sama aku," lanjutku.
"Bagus, kan? Itu semua karena gue ketemu sama lu," gombalnya. Aku tertawa mendengarnya. Kemudian suasa hening. Hanya terdengar suara televisi. Aku mulai merasa mengantuk lagi. Aku memejamkan mata. Tapi otakku belum berhenti bekerja. Agak lama, aku merasakan tangan Alex yang tiba-tiba mengelusku. Membuatku semakin nyaman saja.
"Makasih, Ra atas semuanya selama ini. Inget perkataan gue malam itu, gue enggak akan tinggalin lu. Lu juga jangan pernah tinggalin gue, Ra," bisiknya pelan tapi bisa kudengar. Aku yakin, dia pasti mengira aku sudah tertidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alone
Teen Fiction[Beberapa part hanya bisa dibaca oleh followers] Kiara tidak pernah ingin jatuh di lubang yang sama. Tidak untuk kesekian kalinya merasakan sakit hati. Baginya hidup sendiri itu lebih menyenangkan. Sampai akhirnya dia bertemu dengan mereka, yang me...