Partner For Life - Part 34

2.4K 87 15
                                        

"Terus, gimana perkembangan keadaan Cakka selama lima bulan ini? Apa ada tanda – tanda respon dari Cakka?" Ray kembali bertanya.

"Ya, seperti yang lo lihat sekarang. Cakka masih terpejam meski terkadang jari – jarinya bergerak – gerak kecil dan air mata juga keluar dari sudut matanya yang terpejam. Tapi itu semua belum membuat Cakka membuka matanya hingga sekarang." jawab Shilla sambil membelai rambut Cakka lembut.

Ray, Dayat, Debo, dan Ozy hanya mampu memandang tubuh lemah Cakka yang koma. Mereka meneteskan air mata karena tidak tega melihat kondisi Cakka.

Rasa bersalah masih saja bertahta dalam hati dan pikiran mereka. Rasa bersalah yang mengakibatkan penyesalan yang sulit berujung.

Kalau saja saat itu mereka dapat mencegah Rio saat akan menembak Cakka, kalau saja saat itu mereka tidak hanya diam saja di teras gedung basecamp. Mungkin saja Cakka tidak akan terbaring koma hingga lima bulan ini.

Mungkin saja sekarang Cakka dapat menyambut mereka dan memaafkan mereka. Ah... sudahlah, semua sudah terlanjur terjadi. Cakka sudah terlanjur tertembak dan terbaring koma.

Ray menggenggam tangan kiri Cakka yang dipasangi jarum infus. Jemari Cakka terasa lemah dalam genggaman Ray. Air mata Ray masih berada di kedua pipinya. Entahlah, yang jelas saat ini tidak ada rasa malu baginya untuk menangis. Ia pandangi wajah Cakka yang tertutup masker oksigen itu.

"Cakka, ini gue Ray. Lo inget sama gue kan? Lo cepet sadar dong, Kka. Lo harus bangun dari koma. Jangan tidur terus, Kka. Gue, Dayat, Debo, dan Ozy ada di sini, kita semua dateng ke sini buat jengukin lo sekaligus minta maaf ke lo. Karena kita pun juga ikut terlibat bikin lo sampai koma kayak gini. Kita berempat minta maaf sama lo, Kka. Tolong maafkan kita. Lo harus segera sadar. Plis, bangun, Kka." Ujar Ray pilu.

Ray lalu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kain slayer berwarna hitam yang biasa digunakan untuk mengikat kepala. Ray menggenggam slayer yang masih dalam posisi terlipat rapi itu. Ia meremas pelan slayer itu hingga ingatan saat Cakka memberikan kain slayer itu kepadanya kembali teringat dalam otaknya saat ini.

Ya, kain slayer hitam itu adalah pemberian dari Cakka. Slayer itu semula adalah milik Cakka, dan satu tahun yang lalu Cakka memberikannya kepada Ray.

FLASHBACK ON...

Satu tahun yang lalu...

Dua orang pemuda sedang duduk di sebuah kafe kecil dengan cangkir kopi di atas meja mereka. Cakka dan Ray. Mereka sedang menunggu kedatangan yang lainnya.

"Yang lain pada kemana sih, Ray? Lama banget. Gue nggak punya waktu banyak hari ini." kata Cakka yang mulai frustasi menunggu. Ia sedikit meremas kepalanya, dan sebuah slayer warna hitam terikat rapi di keningnya yang membuat pemuda itu terlihat sangat tampan.

"Sabar aja deh, Kka. Bentar lagi juga paling dateng. Lo kayak nggak tau mereka aja yang pakai jam karet. Molor terus." jawab Ray santai.

Cakka menghela nafas panjang.

"Hhh... terserahlah." kata Cakka pasrah.

"Lo kenapa sih, Kka? Dari tadi megangin kepala melulu. Lo kayak orang yang lagi uring – uringan, tahu nggak?" tanya Ray sambil memandang wajah Cakka yang sedikit pucat namun tetap tampan.

"Gue lagi pusing kepala. Semalem gue nggak bisa tidur sama sekali. Tiga hari ini kurang tidur gue, dan sekarang kepala gue pusing." Jawab Cakka lesu.

Partner For LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang