Partner For Life - Part 13

3K 86 0
                                    

"Sesuai dengan Pasal 340 KUHP tentang tindakan kejahatan pembunuhan berencana yang menyebutkan : Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembuhuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. Maka, dengan ini kami selaku hakim pengambil keputusan terhadap perkara, memutuskan untuk menjatuhkan hukuman mati kepada terdakwa Gabriel Stevent Damanik atas kasus pembunuhan berencana yang telah terdakwa lakukan pada 26 Desember 2014 yang lalu."

Suara ketukan palu hakim sebanyak tiga kali itu begitu sakral. Dengan keputusan hakim yang baru saja didengar oleh seluruh orang yang berada di ruang persidangan itu berarti menguatkan bahwa hukuman yang dijatuhkan pada Gabriel adalah hukuman mati seperti yang diajukan oleh jaksa penuntutnya, Alvin.

Gabriel terkejut dengan keputusan hakim. Ia merasa lemas dan tidak dapat berbuat apa – apa. Tangan kanannya mengepal. Hingga tak lama kemudian, dua orang petugas menggandeng tangannya dan menyuruhnya untuk berdiri dari kursi pesakitan.

Dua petugas itu kemudian membawa Gabriel keluar dari ruang persidangan untuk menuju mobil di depan gedung itu. Sudah tidak ada gunanya untuk membela diri, hukuman yang telah diputuskan hakim harus dilaksanakan. Ia pun harus kembali ke dalam sel penjara dan menunggu waktu di mana eksekusi hukumannya akan dilakukan.

Rio, Ray, Dayat, Debo, dan Ozy berjalan mendekati Gabriel yang diapit oleh dua orang petugas itu.

"Iel..." ucap Rio. Ia memandang Gabriel dengan tatapan menyesal. Dan Gabriel, ia memandang Rio dengan tatapan yang sulit untuk diartikan, kemudian mengalihkan pandangannya satu per satu kepada Ray, Dayat, Debo, dan Ozy.

"Gue mengucapkan banyak terima kasih buat kalian semua. Selama ini kalian udah mau berteman sama gue. Dan gue... gue juga minta maaf kalau selama ini gue ada banyak salah ke kalian semua." Kata Gabriel.

"Iel, kita pasti masih bisa buat nyelamatin loe,bos." Sahut Debo.

"Itu terserah kalian, tapi walau bagaimanapun juga gue udah ikhlas dan menerima hukuman ini, mungkin inilah yang terbaik buat gue. Gue yakin, Acha di surga sanapun pasti nggak menginginkan hal seperti ini terjadi, tapi gue bakal terima ini semua. Satu yang gue minta sama kalian,jangan sampai kalian jadi seperti gue. Mulailah untuk menjadi orang yang lebih baik. Hmm... take care ya, dan satu lagi, tolong sampaikan salam gue buat Cakka. Bilang sama dia, gue sangat berterima kasih sama dia." Setelah mengatakan itu, Gabrielpun beranjak pergi masih dijaga oleh dua petugas. Rio, Ray, Dayat, Debo, dan Ozy hanya bisa memandang kepergian Gabriel. Mereka tidak menyangka semua akan menjadi seperti ini.

Rio yang begitu tidak terima dengan keputusan hakim, ia mengalihkan pandangannya untuk mencari keberadaan Alvin. Dapat dilihatnya jaksa dingin itu sedang berjabat tangan dengan hakim. Hingga tanpa sengaja, mata Alvinpun melihat Rio yang sedang menatapnya dengan tatapan membunuh. Alvin menatap Rio dengan senyum penuh kemenangan, ia tersenyum meremehkan Rio.

"Alvin, tunggu pembalasan gue." Ucap Rio geram. Iapun mengepalkan tangan kanannya, ia tidak terima dengan hukuman yang dijatuhkan kepada Gabriel. Bagi Rio, dendam tetaplah dendam, dan ia adalah seseorang yang tidak pernah main – main dengan apa yang ia katakan.

***

Sabtu, 17 Januari 2015 ( 09:00 WIB )

Jalan Kaliurang KM 6, Yogyakarta

House of Nuraga

Di sebuah ruang keluarga, sepasang suami istri sedang duduk tanpa pembicaraan. Sang suami yang berusia sekitar 50 tahun sedang membaca koran di sofa, sedangkan sang istri yang terlihat masih cantik meski kini usianya sudah memasuki 49 tahun sedang duduk menikmati secangkir tehnya, dan tak lama kemudian meletakkan kembali cangkir putih itu ke meja di hadapannya.

Sang istri memandang suaminya dengan tatapan sayu. Ia melihat suaminya asyik sendiri menelusuri kata demi kata dalam koran di tangannya. Kacamata pun bertengger rapi di kedua matanya. Wanita cantik itu lalu menghela nafas.

Ya, mereka adalah kedua orang tua Cakka. Tunggul Dhewa Nuraga dan Idha Nuraga. Kedua orang tua yang selama tiga tahun ini dirindukan oleh seorang Cakka Kawekas Nuraga.

"Pa, mama kangen sama Cakka." Tiba – tiba wanita itu berkata kepada suaminya yang masih asyik membaca. Dan perkataan yang baru saja keluar dari mulut wanita itu membuat sang suami melipat korannya dan menoleh ke arah sang istri yang duduk di sampingnya.

"Mama kenapa kok tiba – tiba membicarakan Cakka ?" Lelaki itu bertanya pada istrinya mencoba mencari tahu apa yang diinginkan oleh wanita itu.

"Hhh, asal papa tahu aja sejak semalam mama nggak bisa tenang pa, mama kepikiran terus sama Cakka kita. Perasaan mama nggak enak sejak tadi malam dan sampai sekarang masih nggak enak, pa. Mama takut terjadi apa – apa sama Cakka."

"Mama ditenangin dulu deh, kan cuma perasaan mama aja. Selama dia pergi dari rumah kan nggak ada hal yang mengkhawatirkan terjadi sama Cakka. "

"Nggak Pa ! Mama merasa ada apa =- apa sama Cakka. Mungkin aja asmanya sedang kambuh Pa. Papa tahu sendiri kan kalau asmanya sedang kambuh, Cakka kesakitan seperti apa." Mama Cakka begitu khawatir pada Cakka, hati seorang Ibu memang selalu peka dengan apa yang sedang terjadi pada anaknya.

"Iya, papa ngerti ma, papa juga khawatir kalau asma Cakka kambuh. Papa juga rindu sekali sama putra papa itu. Terus mama maunya gimana ? Papa harus gimana biar mama tenang?" Papa Cakka pun sebenarnya sangat merindukan putranya itu.

"Mama mau kita pergi ke rumahnya Cakka, Pa. Mama mau ketemu sama Cakka, siapa tahu asmanya memang sedang kambuh."

"Apa ? Ke rumah Cakka ? Mama serius ? Mama tahu kan kalau putra kita itu keras kepala. Gimana kalau Cakka nggak mau ketemu sama kita, Ma ?"

"Mas Tunggul, tolong mas, urusan dia mau ketemu sama kita atau nggak, itu urusan nanti, yang penting hari ini juga kita ke rumahnya, Pa. Kali ini tolong turutin permintaan Mama. Ini demi Cakka kita, putra kita satu – satunya.."

"Hhh,,, baiklah kalau itu memang keinginan kamu, Idha. Nanti kamu tolong telfon Ify untuk menemani kita pergi ke rumah Cakka. Tapi Papa pun berharap asma Cakka nggak kambuh, Ma. Bagaimana Cakka bisa bertahan saat asmanya kambuh kalau kita berdua nggak ada di sampingnya. Ah, kasihan putra kita." Akhirnya Papa Cakka menuruti permintaan istrinya itu, dan ia sendiripun sebagai seorang ayah yang memiliki putra, merasa berkewajiban untuk mengetahui kondisi jagoannya itu.

"Iya, makasih mas Tunggul. Mamapun nggak akan bisa melihat putra kita itu kesakitan, maka dari itu kita harus ke sana untuk mengecek kondisi Cakka." Ujar Mama Cakka, akhirnya hari ini ia dan suaminya akan pergi menemui Cakka. Momen yang sangat ia nantikan, meski dalam hatinya masih tidak tenang tentang kondisi putra kesayangannya itu.

***

Bersambung...

Partner For LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang