Partner For Life - Part 20

2.4K 78 0
                                    

Sabtu, 17 Januari 2015 ( 12:50 WIB )

Jalan Wilhelmina, Yogyakarta

Ini membuatku kehilangan saparuh hati...

Dalam ketidakjelasan nasib yang mengguncang hidupku...

Pertemuan kita tidak kuharap namun begitu kusyukuri...

Jadi, jangan kau buat aku merana karena kebodohanku sendiri...

Shilla masih duduk di sebuah kursi dan berada dalam ikatan di tangan dan kakinya. Kondisi gadis cantik itu masih sama, ia tidak bisa bergerak untuk melarikan diri dari sekapan Rio dan yang lainnya. Air matanya seakan sudah habis karena terlalu lama menangis sejak tadi. Ia menangisi Cakka yang hingga saat ini tidak kunjung datang.

Ketakutan luar biasa begitu menghantui Shilla, apakah Cakka, pemuda yang dicintainya itu masih berada dalam kondisi koma atau mungkin dalam kondisi lainnya yang membuatnya tidak bisa menyelamatkannya. Entahlah, yang pasti kini Shilla sudah seperti orang gila yang tidak bisa berbuat apa – apa. Seperti seorang tahanan penjara yang tinggal menunggu eksekusi mati.

Sungguh kejam orang seperti Rio, mengapa motif dendam begitu berperan besar dalam merencanakan pembunuhan kepada Shilla. Kalau saja Alvin tidak menuntut Gabriel dengan vonis hukuman mati di pengadilan, mungkin saja Rio tidak akan berniat membunuh Shilla, dan mungkin saja saat ini Cakkapun tidak akan terbaring koma di rumah sakit karena pukulan keras dari Ray di dada pemuda tampan itu dan juga karena penyakit asma parahnya.

Shilla terduduk dengan tatapan kosong. Ia tidak bisa berpikir jernih, bayangan wajah tampan Cakka yang dicintainya itu selalu muncul dalam pikirannya.

"Cakka... kamu sedang apa? Aku butuh kamu, Cakka. Aku mohon bangunlah, dan bawa aku pergi dari sini, Cakka. Kamu bilang kalau kamu juga cinta sama aku, kan ? Kalau kamu cinta sama aku, kenapa kamu jahat banget nggak mau bangun dan sadar dari koma untuk nolongin aku ?" kata Shilla. Ia berbicara sendiri masih dengan tatapan kosong. Sungguh, ia kini seperti seseorang yang sedang gila dan pasrah akan situasi.

"Hhh... apa benar kalau kamu itu memang orang jahat ? Apa yang dibilang Rio itu benar kalau kamu itu jahat, Kka? Kalau kamu nggak bangun untuk aku, dan kamu nggak nolongin aku saat Rio mau bunuh aku nanti, itu artinya kamu jahat, Cakka. Aku ingin kamu sadar dari koma dan sembuh, Cakka. Aku benar – benar takut, Kka. Ini membuatku bingung, aku sangat mencintai kamu, Cakka. Tapi kenapa aku sekarang berpikir kalau kamu itu jahat? Cakka..." ujar Shilla. Ia kini kembali menangis seenggukan. Entah apa yang merasuki pikiran gadis cantik itu, mengapa sekarang hati dan pikirannya mulai berputar – putar dalam ketidakyakinan. Hei, ayolah Shill! Cakka sedang terbaring koma di rumah sakit. Ia belum sadarkan diri dari komanya. Mengapa sekarang kamu berpikir Cakka itu jahat ?

Aku pikir aku masih memiliki harapan...

Harapan agar kau membuka matamu...

Untuk membawaku...

Dari senja pertama hingga senja yang terakhir...

Bangunlah... sekali lagi bangunlah...

Kembalilah padaku dengan senyuman cintamu selayaknya kau hidup...

Aku begitu membutuhkan dekapan tubuh tegapmu...

Hembusan nafas cintamu sangat kurindukan...

Beberapa saat kemudian, pintu ruangan itu terbuka. Shilla dapat melihat dengan jelas, Rio dan keempat temannya itu mulai berjalan mendekatinya. Dayat membawa seperangkat bom waktu yang akan digunakan untuk membunuh Shilla atas perintah Rio. Ozy membawa sebuah pisau tajam yang akan digunakan untuk melepaskan tali – tali yang sedari tadi mengikat tangan dan kaki Shilla. Sedangkan Debo sudah menggenggam erat sebuah benda mirip remote control dengan beberapa tombol, dan benda inilah yang merupakan alat untuk meledakkan maupun untuk menghentikan detakan waktu yang berjalan pada bom waktu itu. Dengan alat kecil itu, siapapun bisa meledakkan bom itu dan juga bisa menghentikan bom itu. Dan Ray, ia hanya berdiri dengan tangan kosong tanpa mampu berkata apapun, ingin sekali ia menghentikan semua ini, namun tetap saja ia tak punya kuasa.

Partner For LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang