Partner For Life - Part 3

2.8K 111 0
                                        

"Hhh... mama... maafin Cakka, ma." ucapnya dengan amat lirih, tubuh tegapnya yang tinggi itu merosot ke lantai, ia terduduk mengepalkan tangan kanannya.

Kini dadanya terasa sesak mengingat segala hal yang berhubungan dengan keluarganya. Tak ia pungkiri, iapun sangat merindukan sosok kedua orang tua yang selalu melindunginya. Sosok seorang ayah yang selalu mencium keningnya setiap malam, dan sosok ibu yang selalu memeluknya setiap pagi agar ia segera terbangun dari tidurnya. Bisakah ia membangunnya kembali ? Tetapi Cakka tetaplah Cakka, seseorang yang selalu saja keras kepala.

Dan sekali lagi, mana yang lebih penting ? Harga diri atau melepas kerinduan yang selama ini ia pendam dalam kesendiriannya ?

Hidup bukan sekedar bahagia atau menangis...

Lebih dari itu...

Setiap orang menginginkan yang belum pernah ia dapatkan...

***

Senin, 12 Januari 2015 ( 12:30 WIB )

Jalan Andromeda, Yogyakarta

Di sebuah restoran yang tidak terlalu mewah, tepatnya di meja nomor delapan sedang terisi oleh dua orang laki – laki muda. Mereka terlihat berada dalam situasi serius dan terlibat dalam pembicaraan yang tidak main – main. Kedua laki – laki itu saling bertatapan satu sama lain. Salah satu dari mereka adalah pria berkulit putih berdasi dengan kacamata yang melindungi kedua mata sipitnya. Dan yang seorang lagi adalah pria berkulit hitam mengenakan jaket hitam dan bertubuh kurus tinggi.

"Lama sekali kita tidak bertemu. Apa kabar jaksa Alvin Jonathan Sindhunata ?" laki – laki bertubuh kurus tinggi memulai percakapan.

"Udah, nggak perlu juga basa – basi. Apa mau loe, Mario ? Nggak perlu untuk kita mengingat masa – masa indah kita. Semua cuma masa lalu yang tak ada hubungannya dengan sekarang." Laki – laki berkacamata itu menanggapi dengan santai namun kata – katanya cukup pedas bagi seorang Rio.

"Wah, sumpah gue terkejut, ternyata loe masih ingat dengan persahabatan kita sepuluh tahun yang lalu. Gue pikir loe udah lupa."

"Rio... Rio...mana mungkin gue melupakan loe, seorang sahabat yang tega merebut pacar sahabatnya sendiri. Seorang pengkhianat yang bersembunyi di balik senyum yang terlihat tulus. Ternyata bakat menjadi seorang gangster sudah terlihat sejak hari itu. Nggak heran, sekarang loe masuk dalam komplotan mafia, bukankah begitu Mario Stevano Aditya Haling ?" Alvin berbicara panjang lebar dengan penuh rasa kemenangan, membuat Rio mengepalkan tangan kanannya seiring tumbuh rasa kebencian pada mantan sahabatnya itu.

"Baiklah jaksa Alvin yang terhormat, berhubung waktu luang gue nggak banyak, jadi to the point. Gue tau kalo loe adalah jaksa penuntut untuk kasus Gabriel. Jadi gue minta agar loe ngalah di pengadilan, bebasin Iel dari penjara dan dari segala tuntutan loe itu."

"Rio... Rio...loe pikir ini permainan anak kecil ? Hukum tetaplah hukum, dan meja pengadilan bukanlah papan permainan yang bisa loe obrak – abrik seenak loe."

"Alvin...Alvin...sejak kapan loe konsisten dengan apa yang loe kerjakan ? Yang gue tahu loe hanya seorang anak manja yang suka mempermainkan hati orang lain. Loe pikir gue ngerebut pacar loe tanpa alasan ? Asal loe tahu, pada saat itu Agni nangis – nangis di depan gue, dia cerita tentang semua perlakuan loe. Loe benar – benar nggak peka dengan perasaan Agni." Kata – kata Rio membuat rahang Alvin mengeras dan ingin memukul laki – laki di hadapannya itu.

"Loe terlalu banyak bicara, mengait – ngaitkan masa lalu dengan masa sekarang. Itu semua nggak ada hubungannya. Dan jangan harap gue akan ngalah di pengadilan. Penjahat tetaplah penjahat !" ucapan Alvin pun sukses membuat Rio mencengkeram cangkir kopinya dengan tangan kanannya.

Partner For LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang