Partner For Life - Part 9

2.4K 106 0
                                    

Shilla memakan mie rebusnya dengan lahap. Ia juga menyantap kuah mie instant itu dengan semangat. Setelah Cakka menawarkan mie instant tadi, iapun membuatkan semangkuk mie rebus untuk Shilla, dan dapat dilihat jika Shilla justru mau memakan mie daripada semua makanan yang telah dibelikan Cakka.

Lima menit kemudian mie rebus itu habis, hanya menyisakan mangkuk dan garpu. Tangan kiri Shilla masih diborgol di sofa, dan ia hanya makan dengan tangan kanannya saja.

"Gimana, enak ? Loe mau lagi ?" tanya Cakka yang duduk di hadapan Shilla, entah mengapa tanpa ia sadari ia mulai terpesona pada Shilla sejak gadis itu makan mie tadi.

"Nggak usah, ini udah cukup. Makasih." Jawab Shilla. Ia tersenyum manis pada Cakka. Kali ini gadis itu berbicara dengan halus kepada pemuda itu.

Tiba – tiba mata Cakka dan Shilla saling bertatapan. Ada sesuatu yang membuat mereka sulit untuk mengalihkan pandangan mata mereka. Baik Cakka maupun Shilla, keduanya merasakan ada suatu rasa bergemuruh di dalam dada mereka, seperti menyiksa namun tak menyakitkan.

Shilla pernah merasakan ini sebelumnya, namun itu sudah lama sekali, bahkan saat pertama bersama Alvinpun Shilla tidak merasakannya sampai sedahsyat ini. Sedangkan Cakka, inilah yang sebenarnya selalu ia hindari seumur hidupnya, bahkan saat bersama Ify pun ia sama sekali tidak merasakannya. Cakka bukanlah laki – laki yang mudah jatuh cinta, namun entah mengapa hanya karena seorang gadis yang baru beberapa jam dikenalnya ia justru merasakan debaran jantung yang lebih cepat dari biasanya. Bahkan saat ini nafasnyapun mulai sulit untuk ia kontrol, dan jika Cakka terus dalam posisi seperti ini, ia yakin kalau penyakit asmanya bisa kambuh dan kembali menyerangnya.

Beberapa detik kemudian secara bersamaan, Cakka dan Shilla mengalihkan mata mereka. Kemudian keduanya berada dalam situasi yang serba kebingungan dan tidak tahu apa yang harus mereka katakan. Shilla mencoba untuk tenang dan memutar otaknya untuk berpikir sebuah kalimat yang mungkin bisa ia katakan untuk menetralkan suasana. Sedangkan Cakka, ia berusaha untuk menarik nafas dalam – dalam sebisa mungkin untuk tetap bernafas normal, ia tidak boleh panik, tidak boleh lupa bagaimana caranya bernafas, dan jika tidak, asmanya yang sialan itu bisa menyerangnya dengan tiba – tiba.

"Eh, loe kenapa ? Nafas loe kenapa?" tanya Shilla spontan, ia merasa khawatir pada Cakka yang terlihat seperti kesulitan bernafas sambil memegang dadanya.

"Hhh...nggak kok, gue nggak papa." Jawab Cakka, ia masih mencoba mengatur nafasnya.

"Hmm...boleh tahu siapa nama loe?" Shilla mulai mengajukan pertanyaan untuk Cakka. Gadis itu menatap Cakka dengan tatapan lembut, tidak seperti sebelum – sebelumnya yang selalu menatap tajam kepada Cakka.

"Hmm... nama gue Cakka, sorry kalau gue udah menculik loe, memborgol tangan kiri loe kayak gini, seperti yang udah gue bilang di awal tadi, gue cuma nurutin perintah aja karena gue emang lagi kerja." Jawab Cakka, iapun berkata dengan halus.

"Cakka ? Oh, nama loe Cakka... hmm, kalau nama gue..."

"Shilla... nama loe Shilla kan ?" sahut Cakka. Belum sampai Shilla selesai berbicara, Cakka sudah memotongnya.

"Dari mana loe tahu kalau nama gue Shilla ?" tanya Shilla. Dan Cakka mengalihkan pandangannya pada sebuah jam dinding di kamarnya

"Seorang penjahat tentu udah tahu banyak hal tentang target yang jadi sasaran kejahatannya. Apalagi hanya soal nama, tentu hal itu adalah yang pertama kali harus diketahui oleh penjahat." Jawab Cakka dengan pandangan menerawang, fokusnya masih tertuju pada jam dinding di kamarnya, ia tidak ingin melihat ekspresi Shilla. Ia tahu kalau gadis itu pasti akan mulai takut setelah ia mengatakan itu.

Shilla hanya terdiam, ia tidak tahu lagi harus mengatakan apa.


Aku bahkan bukan matahari...

Partner For LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang