Bagi seorang kakak, seorang adik tetaplah adik takkan pernah beranjak dewasa.
Seberapapun bertambahnya usia♡♡♡
Demi apaa???
Shafa sampe melongo di depan pintu. Kali ini bukan pada seseorang di depannya yang sedang tersenyum lebar. Melainkan pada apa yang dibawanya."Kenapa nggak sekalian pasarnya yang dibawa, Bang?" Dagu Shafa menunjuk empat kantong plastik besar yang ditenteng abangnya. Dua di kanan, dua di kiri.
Hassan terkekeh. Ekspresi adiknya kali ini lucu, matanya sok-sok ditajamkan dengan kedua tangan bersedekap. "Terima kasih sambutannya adik manis," sahut Hassan, diselingi kedipan genit disebelah matanya. "Sini, peluk dulu...."
Shafa melotot. Ingin bergerak mundur. Tapi pergerakannya kalah cepat dengan Hassan yang kini telah memeluknya gemas. Kebiasaan. Yang ada, Shafa cuma bisa menggeliat-geliat protes dalam rengkuhan tubuh kekar abangnya.
"Iiiih. Lepasiin, Bang. Malu tau diliat tetangga."
Lagi-lagi Hassan terkekeh. Lalu melepaskan pelukannya. "Kan semua tetanggamu sudah tau aku abangmu. Lagian enak lagi dikira udah punya suami. Biar nggak ada yang godain. Hihi."
"Yee... turun pasaran Shafa, Bang."
"Dih. Yang ada abang lah yang turun pasaran. Masa dapet istri mini kayak kamu gini," olok Hassan. Kata 'mini' yang dimaksudkan oleh Hassan sebenarnya bukan menunjukkan pada tinggi adiknya. Karena untuk ukuran seorang gadis, Shafa masuk dalam kategori ideal, khususon untuk rata-rata perempuan Asia. Kata tersebut jelas sekali merujuk pada ukuran tubuh Shafa, lingkar pinggangnya terutama.
Sekalipun harusnya akan lebih tepat bila Hassan menyebutnya dengan kurus. Dan hal itu hanya akan disadari oleh orang yang sering memeluknya seperti Hassan. Karena Shafa selalu mengenakan gamis longgar yang takkan memamerkan lekuk tubuhnya sama sekali.
"Tadi aja bilangnya biar aja dikira suami. Huuu." Shafa mencibir Hassan, setelahnya ia berbalik masuk ke dalam rumah.
Hassan tertawa kecil, langkahnya mengekor di belakang Shafa. Duduk di kursi ruang tamu dengan sebelumnya menaruh empat kantong plastik yang dibawanya di atas meja.
Shafa yang sudah menghilang di balik tirai penutup pintu yang menjadi pemisah ruangan. Membuat Hassan sedikit berteriak, "De, bikinin kopi aja ya!!" seru Hassan. Ukuran kontrakan Shafa yang tidak terlalu besar pasti membuat suara Hassan tertangkap jelas oleh Shafa di dapur.
Tidak sampai sepuluh menit Shafa sudah muncul kembali dengan membawa nampan berisi dua gelas minuman. Dia mengambil posisi duduk berimpit dengan Hassan. Segelas minuman diulurkannya ke Hassan. Segelas lagi untuk dirinya. Teh melati memang selalu jadi favoritenya.
Hassan menerima dengan dahi mengernyit. "Kok teh?"
Shafa mengangkat bahu melihat ekspresi protes abangnya, "Kopinya abis. Dan kalau pun masih, nggak bakal Shafa bikinin."
"Huft. Kamu sama mbakmu emang sekongkolan jauhin Abang dari kopi. Sedihnya..." sungut Hassan dengan ekspresi sedih yang dibuat-buat.
Shafa mencebik. Memutar kedua bola matanya, eneg melihat tingkah konyol abangnya. "Lebay!"
Hassan terkikik. Hobinya menggoda Shafa memang takkan berhenti, sekalipun mereka sudah sama-sama berumur.
"Sepi amat. Pada ke mana yang lainnya?"
"Ayla ke toko buku. Nisa lagi pulkam. Terus Maryam lagi ngisi mentoring kayaknya..." papar Shafa, memetakan kepergian teman-teman sekosnya.
"Nambah satu orang lagi ya?"
![](https://img.wattpad.com/cover/68952390-288-k118035.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SECOND CHANCE
Spiritual#1 Inspiratif (08-08-2018) ...... Dalam takaranku, kami bahagia... Delapan tahun menikahinya dengan dianugerahi dua orang buah hati yang lucu membuatku merasa sempurna. Bagiku, aku telah memenuhi hak kedua buah hatiku, yakni menjadikan mereka terla...