"Ingatanmu cukup baik. Dan... Oh ya, bagaimana? Kamu suka mawar merah tadi pagi?"
Pertanyaan seringan kapas itu sukses membuat petir di kepala Shafa menggelegar.
Mawar merah? Jadi?
Tap.
Selangkah lelaki itu maju. Selangkah pula Shafa mundur. Sialnya. Langkahnya terhenti dihitungan itu juga. Di belakang punggungnya ada tembok pagar tinggi."Be-berhenti!" Cicit Shafa.
Lelaki itu tertawa. "Aku kira kamu tidak punya rasa takut," lalu sebelah tangannya berniat meraba wajah Shafa, tapi gagal, karena lengan Shafa sigap menangkisnya. "Kamu... cantik juga ya...."
"A-aku sudah menikah." Shafa berharap, dengan mengetahui statusnya, lelaki di depannya akan menyerah dan pergi.
Lelaki itu semakin terbahak. "Apa peduliku?!"
Shafa menelan ludah. Jantungnya sudah tidak bisa dirayu untuk tenang.
"Kamu pikir? Apa yang bisa diberikan suamimu yang duda itu? Cinta? Baru sebulan ditinggal mati istrinya, lalu menikahimu. Kamu pikir? Dia mencintaimu?"
Jujur.
Sekuat hati Shafa menahan ngilunya ribuan jarum yang ditancapkan dari kata-kata lelaki di depannya. Ia hendak mengelak, tapi ia tak bermodal untuk melakukannya. Terlalu percaya diri bila ia menyebut bahwa ia telah dilimpahi cinta suaminya."Jadi... Bagaimana kalau kamu bersamaku saja?"
Setengah mati Shafa menahan gemetar tubuhnya. Batinnya merapalkan doa.
"Aku akan__"
Tin. Tin!!!
Belum sempat lelaki itu meneruskan bicara, sebuah sedan berhenti di sisi mereka. Lelaki itu refleks memundurkan langkah saat jendela mobil itu terbuka dan memperlihatkan lelaki berseragam dinas polisi.
"Shafa?" sapanya, mengenali wanita yang tertahan di dinding dengan wajah tertekan. Tatapannya menyelidik.
Setengah berlari Shafa mendekat. "M-mas Shiddiq? Boleh saya ikut?" pintanya cepat.
"Kenapa?" selidik Shiddiq, pandangannya berlari, ke pemuda yang tatapannya sulit diartikan lalu ke Shafa. "Kamu baik-baik saja?"
Shafa mengangguk cepat. "Bo-boleh, Mas?"
Shiddiq mengangguk. "Naiklah...."
Shafa berlari cepat ke sisi belakang mobil dan membukanya dengan cepat. Sengaja ia memilih duduk di kursi belakang. Menghindari persis bersebelahan dengan pengemudi. Sepanik apapun dirinya, tak akan menumpulkan pemahamannya terhadap kewajiban menjaga dirinya dari prasangka.
Shiddiq tahu, pasti ada yang tidak beres, tapi ia sadar batas. Memperpanjang komunikasi di antara mereka saat ini jelas tidak memungkinkan. Ia tak mau mengambil resiko kebablasan dalam berkomunikasi. Jadi, biar diam dan tetap memunggungi yang menjadi jarak. Keadaan yang tetap dipertahankannya sampai pedal rem perlahan diinjaknya tepat di depan rumahnya.
"Tunggulah disini sebentar... Aku panggilkan ibu," pikir Shiddiq, barangkali dengan ibunya, mungkin ada yang akan Shafa bagi.
Shafa mengangguk. Berdiri mematung di luar pagar rumah Shiddiq. Urung meneruskan langkahnya ke kontrakan yang padahal pintu pagarnya hanya berjarak tak lebih dari sepuluh langkah dari tempatnya berdiri.
"Shafa... Kata Shiddiq, ka__" Bruk! Seorang ibu yang biasa dipanggil Bude Mimi itu tertegun ketika tiba-tiba tubuhnya dipeluk erat oleh wanita gemetaran.
"Tenang... istighfar..." dielusnya kepala Shafa yang sudah menangis sesegukan.

KAMU SEDANG MEMBACA
SECOND CHANCE
Espiritual#1 Inspiratif (08-08-2018) ...... Dalam takaranku, kami bahagia... Delapan tahun menikahinya dengan dianugerahi dua orang buah hati yang lucu membuatku merasa sempurna. Bagiku, aku telah memenuhi hak kedua buah hatiku, yakni menjadikan mereka terla...