"Ngapain, De?" Suara berat Hassan menyentak lamunan Shafa. Tangannya memang melayang diudara sembari sesekali menaburkan pakan untuk ikan mas koki di kolam kecil milik abangnya, tapi mata dan pikirannya seolah sudah lepas dari raga.
"Eh, Abang...."
"Abis ujan gini kamu malah di luar. Kalau masuk angin gimana?" Bibir Hassan boleh ngomel, tapi langkahnya malah mendekat ke Shafa dan turut menghempaskan dirinya untuk duduk di kursi dari batang kayu. Kulitnya tak setebal Shafa yang sudah ndeprok di pinggiran kolam. Belum lagi ia hanya mengenakan celana pendek selutut dan kaos oblong abu-abu. "Udah sholat lail belum?"
"Sudah, Bang."
"Ini masih jam dua, kalau kamu mau lanjut tidur, tidur aja. Nanti Subuhan Abang bangunin."
"Shafa udah nggak bisa tidur. Abang kalo mau lanjut tidur, duluan aja...."
"Abang nungguin mbakmu ngasih ASI ke Najma sama Faiz."
Shafa langsung menoleh setengah terpana. "Faiz mau dikasih ASInya mbak Nia, Bang?"
Hassan mengangguk. "Iya, alhamdulillah. Dia juga nggak rewel. Abang berasa punya dua bayi. Hihihi." Hassan terkekeh.
"Tapi Abang udah izin kan sama Pak Adam? Biar gimanapun kan itu artinya Najma jadi saudara sesusuan sama putranya."
"Iyaa. Sudah," sahutnya. "Gagal deh Abang besanan sama dia."
Shafa mendengus sebal dengan ide konyol yang kadar absurdnya udah stadium empat itu. Bagaimana bisa ada seorang bapak sudah mikirin jodoh putrinya yang bahkan hari lahirnya masih bisa dihitung dengan jam.
"Bang, Shafa kepikiran mbak Khansa..." Enggan meladeni keabsurdan abangnya, Shafa beralih topik. Topik yang menjadi alasannya terdampar di tepian kolam ikan dini hari ini.
"Kemarin malam. Adam SMS Abang, ngabarin kalau istrinya udah siuman. Jadi insyaAllah kondisinya sudah lebih baik."
"Alhamdulillah kalo gitu, Bang..." Pernah merasa lega? Dimana rasa leganya itu sama seperti saat mendapat kabar kelulusan saat SMA. Nah, kelegaan seperti itu yang Shafa rasanya, sekalipun sebab kecemasannya berbeda. Yang satu tentang masa depan, satunya lagi tentang nyawa seseorang.
Shafa beranjak berdiri menghampiri Hassan, dan duduk di kursi kayu di sampingnya. "Bang, kita ziarah ke makam abah sama ibu yuk. Shafa kangen mereka."
"Ziarah itu untuk mengingatkan kita pada kematian. Kalau kangen ya kirim doa, mau di mana pun tempatnya insyaAllah sampe. Apalagi anaknya cantik shalihah kayak Shafa Khumaira Hamid."
Shafa mencebik, kalimat Hassan yang terakhir membuatnya terkekeh geli. Anak yang shalihah memang dapat menjadi ladang pahala jariyyah untuk orang tua yang telah meninggal. Tapi cantik? Itu mah teori ngaco abangnya aja.
"Bang...."
"Hmm...."
"Kalau aja dulu Shafa lebih peka dengan kondisi abah. Pasti kita nggak akan terlambat menyadari penyakit abah ya, Bang?!" Shafa memang tak sampai menangis ketika mengucapkannya, tapi nada sesal itu terlalu transparan terlihat.
Selama lebih dari seperempat abad usianya, Hassan tak pernah sekalipun mendapati kata-kata sepayah ini dari lisan adiknya. Sekalipun momen Shafa berbicara sebanyak dan sedalam ini sangat langka. Dan dari sini pula Hassan baru sadar dengan perasaan macam apa yang selama ini disimpan adiknya. Adik yang bahkan tak memberikannya kesempatan untuk sekedar merasa khawatir, dan karena ia selalu tampil dengan kokohnya.
"Siapa yang mengajarimu menyesali takdir yang sudah Allah gariskan, De?" Lembut saja Hassan bertanya, tapi pemilihan katanya sangat jelas menohok Shafa.
KAMU SEDANG MEMBACA
SECOND CHANCE
Spiritual#1 Inspiratif (08-08-2018) ...... Dalam takaranku, kami bahagia... Delapan tahun menikahinya dengan dianugerahi dua orang buah hati yang lucu membuatku merasa sempurna. Bagiku, aku telah memenuhi hak kedua buah hatiku, yakni menjadikan mereka terla...