The Day

4.6K 307 19
                                    

Memutuskan untuk tidak mencintai lelaki manapun sebelum waktu yang Allah tentukan, membuat Shafa kebal pada segala upaya laki-laki yang mendekat tanpa nyali yang kuat untuk berkomitmen.

Hal tersebut membuatnya mengukuhkan diri dan hatinya hanya pada siapa yang akan menjadi suaminya, lelaki yang berani mengikatnya dengan ijab qabul. Sekalipun bukan cinta yang bisa Shafa jaminkan di perjumpaan pertama setelah halal. Tapi Shafa sudah menundukkan seluruh baktinya.

Ijab qabul, prosesi yang beberapa detik lalu dilaluinya. Semula, ia mengira akan tumbang dan tak mampu menjadi saksi dengar ijab qabul yang dilafalkan suara berat yang kini menjadi suaminya. Suara bergetar Hassan selaku walinya pun tak serta merta menarik fokusnya dan lupa pada segala rasa sedih, sepi dan tegang yang mengaduk seluruh hati dan pikirannya.

Saking antusiasnya mendengar dalam jarak terdekat, kakak ipar dan sahabat-sahabatnya memilih merapat ke ruang tengah, berbaur dengan tamu perempuan dan memasang telinga, melupakan Shafa di kamar tamu yang sudah disulap menjadi kamar pengantin bernuansa putih dan beraroma mawar kesukaannya. Meninggalkan Shafa sendirian yang sibuk merindukan sosok ibu untuk sekedar mengelus punggungnya.

Nyaris runtuh pertahanannya kalau semenit sebelum ijab qabul seorang sosok teduh dengan garis-garis ayu yang tidak dapat ditutupi dengan kerutan sekalipun tidak masuk ke dalam kamarnya, memeluknya. Rasa-rasanya, pelukan seperti itu adalah pelukan yang sama hangatnya dengan pelukan ibunya.

"Sudah... sudah. Jangan menangis lagi. Masa pengantin matanya bengkak."

Bukannya berhenti, air mata Shafa malah tak tahu diri dan terus mengalir. Ia sendiri masih bingung, perasaan seperti apa yang sebenarnya berkecamuk di pikirannya. Sementara sosok lembut di depannya sudah beberapa kali mengusap lelehan air matanya.

"Te-terima kasih sudah ada di sini, Bu." Terbata Shafa berujar, sekalipun air matanya sudah mampu ia bendung, tapi isaknya masih bersisa.

"Kamu boleh memanggilku mama Ami. Atau mama, seperti Adam memanggilku. Sekarang aku pun mamamu, jangan sungkan lagi. Oke?"

Kalau melati menggambarkan kelembutan, suci dan polos. Maka ketika melihat mertuanya, Shafa seperti melihat bunga matahari, cantik, cerah, segar dan menarik. Tersedot pesona mertuanya, Shafa mengangguk manut sebelum kemudian mereka berangkulan sebentar.

"Papa sudah meninggal setahun lalu. Kalau anak mama, bocah laki-laki tua itu menyakitimu. Laporkan pada mama. Biar mama yang eksekusi."

Shafa terkekeh mendengar perintah konyol mertuanya. Lupa dengan air mata yang tadinya berurai.

"Kamu harus sabar, anak mama itu mirip papanya, dingin, kayak beruang kutub masuk freezer."

Hampir saja Shafa tergelak dengan tawanya kalau saja ketukan di pintu tidak menginterupsinya.

Tok tok tok.
Lagi. Pintu diketuk pelan. "De, ini Abang."

Shafa sedikit terkesiap. "Masuk, Bang."

Pintu dibuka, Hassan menyembul dari luar, ada ekspresi kelegaan dan bekas air mata haru di wajahnya. Sebelah tangannya membawa sebuah map batik. Senyum santun Hassan lepaskan melihat mertua Shafa, mama Ami. Kemudian ekor matanya kembali ke Shafa. "Ini berkas yang harus kamu tandatangani."

Shafa mengangguk, kemudian beranjak menghampiri Hassan, menandatangani berkas sesuai arahan abangnya kemudian mengulurkannya kembali. Bukannya berbalik, Hassan justru meraih Shafa dalam dekapannya. "Berjanjilah untuk abang, kamu akan bahagia."

Shafa mengangguk dalam pelukan Hassan. "InsyaAllah, Bang."

♡♡♡

SECOND CHANCE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang