"Kamu nggak lagi salah makan atau salah nelen obat kan, Fa?"
Shafa mencibir. Ayla emang rada-rada nggak jelas kalau sok tahunya sedang kumat. "Apaan sih."
"Ya kamu yang apaan? Gimana sejarahnya coba, keluar dari laboratorium dengan wajah sesumringah kamu? Biasanya juga butek. Kaya tabung reaksi kerendem oli."
Nah kan Ayla makin ngawur.
"Nggak pake kumat ngawurmu, Ay."
"Aha! Aku tau! Kamu dapet tawaran kencan sama pak dosen ya?"
Tuk.
Sebuah penghapus melayang dari kotak pensil Shafa menuju jidat Ayla. Ia sebal bercampur geli, satu sisi ingatannya melayang ke adegan sarapan pagi tadi, yang kemudian menjadi sebab sumringahnya Shafa hari ini."Ini..." Dagu Adam menunjuk mangkuk yang barusan disuguhkan Shafa.
"Bakso tahu, Mas."
Adam manggut-manggut. Asam lambungnya sudah naik ingin turut menyicip. Satu suapan sudah berhasil lolos di tenggorokannya. "Hmm... rasanya masih sama...."
Shafa yang baru mengangsurkan semangkuk bakso ke Naura pun tertoleh sebelum duduk di kursi sebelah Adam. "Ini kali pertama aku bikin, Mas."
"Di rumah ini mungkin iya..."
Shafa mengangkat alis. "Maksud, Mas?"
"Ini sudah kesekian kalinya, hmmm, nyaris di setiap pekan kurasa...."
Kali ini kedua alis Shafa tertaut. Mungkinkah... Mbak Khansa?? Air muka Shafa berubah sendu. "Oh, mungkin tidak bisa seenak buatan__"
"Nyaris setiap pekan... Sejak sebelas tahun lalu saat kamu mengirimi abang tengilmu itu dengan menu requestnya yang tak jauh dari tahu."
"Ha?" Shafa ternganga, sesendok bakso tahu diabaikannya di udara lalu kembali turun ke mangkuk. "Sebelas tahun lalu?"
Masih dengan mengunyah, Adam mengangguk. Lalu setelah meloloskannya ke tenggorokan, ia menyahut, "Iya, saat kamu kirimi abangmu itu makanan kan kami juga ikut nimbrung makan."
Tuk.
Shafa meringis saat penghapus yang sebelumnya mendarat ke jidat Ayla kini malah mendarat ke jidatnya."Udah berapa seri tuh lamunanmu? Sampe hp geter-geter nggak berasa?" sindir Ayla, dagunya menunjuk ponsel Shafa.
Shafa nyengir. Benar saja, ponselnya yang tertelungkup di atas meja taman bergetar.
"Assalamu'alaikum... Ya, Mas?"
"...."
"Di depan lab ini."
"...."
"Ha?"
"...."
"Oh. Iya. Sama Ayla. Kenapa, Mas?"
"...."
"Emm... Belum sih. Ini baru mau...."
"...."
"Oh. I-iya... Segera."
"...."
"Wa'alaikumsalam."
Klik.
Shafa mengunci ponselnya, memasukkannya ke dalam tas lalu berkemas. Kotak pensil yang sebagian isinya berserakan di meja pun dipungutinya."Dari pak dosen?"
Masih dengan mengemas barang-barangnya ke dalam tas selempang ia mengangguk.

KAMU SEDANG MEMBACA
SECOND CHANCE
Spiritual#1 Inspiratif (08-08-2018) ...... Dalam takaranku, kami bahagia... Delapan tahun menikahinya dengan dianugerahi dua orang buah hati yang lucu membuatku merasa sempurna. Bagiku, aku telah memenuhi hak kedua buah hatiku, yakni menjadikan mereka terla...