Yaa Robb...
Cukupkan dan puaskan aku...
Dengan mengetahui ia lebih mencintaiMu dari apapun di dunia ini.
-Shafa-♡♡♡
"Engkau cahaya langit dan bumi serta makhluk yang ada di dalamnya. Milik-Mu segala Puji. Engkaulah Yang Maha benar, janji-Mu benar, pertemuan dengan-Mu adalah benar, perkataan-Mu benar, surga itu benar ada, neraka itu benar ada, para nabi itu benar, Nabi Muhammad SAW itu benar, dan hari kiamat itu benar ada. Ya Allah! Hanya kepada-Mu aku berserah diri, janya kepada-Mu aku beriman, hanya kepada-Mu aku bertawakkal, hanya kepada-Mu aku kembali."* Shafa menghela udara. Air matanya sudah berurai sedari sujud di rakaat pertama sholat Istikharahnya. Shafa sedang merayu Sang Pencipta dengan penuh puji yang juga selalu dilafadzkan di setiap Tahajjud manusia paling terpuji, Rasulullah SAW.
"Ya Allah... Yaa Robb... Sungguh aku tidak ingin mengemis cinta pada selain-Mu. Cukupkan dan puaskanlah aku dengan mengetahui ia lebih mencintai-Mu dari apapun di dunia ini. Dan bila ia memang jalanku untuk lebih mencintai-Mu. Maka lapangkanlah. Maka tunjukilah. Jangan Engkau biarkan aku bersama keraguan. Aamiin."
Shafa merebahkan dirinya begitu saja di atas sajadah. Membiarkan dirinya masih berkemul mukena yang sebagian ujungnya sudah basah oleh air mata, membentuk pola transparan seperti pulau. Pikirannya melompat ke belakang. Di Minggu pagi pekan lalu, saat sahabat karib Hassan bertamu.
"Selama sebelas tahun itu. Apa kamu pernah mendengarku berbicara asal dan tak serius?"
Hassan tak langsung menyahut, "Kamu bahkan harus menambahkan kata, 'nggak bisa becanda' di kalimatmu, Dam."
"Baiklah. Aku menganggap kamu selalu tahu kalau aku selalu serius dengan ucapanku."
"Udahlah, Dam. Kamu itu nggak jago berbasa-basi. Jadi apa yang membawamu ke sini?"
Adam berdehem. "Aku... berniat melamar adikmu, Shafa Khumaira Hamid...."
Saat itu, Shafa dapat merasakan telinganya berdenging. Refleks tubuhnya pun membuat matanya membulat kaget.
"Maaf, aku tidak pernah bermaksud membawa Shafa dalam tanggung jawab besar mengasihi dua anakku. Tapi ridho Khansa hanya ia jatuhkan pada seorang Shafa. Maka mungkin hanya Shafa yang diinginkannya menggantikan posisinya, bukan yang lain. Dan saat ia masih hidup pun, Khansa... Khansa pernah memintaku menikahi adikmu." Adam berhenti sejenak. Ada untaian kesedihan di sana, yang sukar untuk disembunyikannya. "Aku mungkin tidak bisa menjamin kebahagiaan adikmu. Tapi insyaAllah aku bisa menjamin tanggung jawabku sebagai suami."
Shafa bergetar di balik dinding. Entah kenapa, lantai yang dipijaknya seperti tak simetris. Hingga ia pun jatuh terduduk, luruh, dalam ketidakseimbangan tubuhnya. Suara dua lelaki itu terlalu jelas untuk ditangkap indera dengarnya. Harusnya, biarlah ia menjadi orang yang tidak tahu apa-apa. Dan sekarang, harus bagaimana?
Sekalipun Shafa sudah kehabisan daya, tetapi Shafa tetap berusaha merapat ke daun pintu dan menajamkan pendengarannya. Ia ingin mendengar jawaban Hassan.
Sedetik.
Dua detik.
Hingga detik ke enam dalam hitungan Shafa, Hassan baru bersuara. "Maaf, Dam. Aku memang walinya. Tapi keputusan aku berikan ke Shafa. Dia yang akan memutuskan. Dan mohon maaf, bila jawaban untukmu kami tangguhkan dulu."
♡♡♡
"Shafa bersedia, Bang."
Hassan yang sedang cekikikan gara-gara mengusili Nia di dapur pun beralih fokusnya mendapati Shafa yang sudah duduk manis di meja ruang makan. Dihampirinya adik semata mayangnya itu dengan antusias.
KAMU SEDANG MEMBACA
SECOND CHANCE
Espiritual#1 Inspiratif (08-08-2018) ...... Dalam takaranku, kami bahagia... Delapan tahun menikahinya dengan dianugerahi dua orang buah hati yang lucu membuatku merasa sempurna. Bagiku, aku telah memenuhi hak kedua buah hatiku, yakni menjadikan mereka terla...