Canggung.
Itu kata yang sepagian ini memeluk Shafa. Tak usah heran sebabnya. Bangun tidur dan menyadari dirinya berbantal lengan Adam sembari memeluk pinggang Adam dengan erat. Terlebih pada aktivitas yang mereka lalui malamnya. Aish!! Jangankan ngobrol, melihat Adam saja ia salah tingkah.Shafa tahu betul, bahwa dirinya memiliki pengendalian yang sangat payah kalau terkait ekspresi wajah. Ekspresi wajahnya sangat sukar untuk menipu, makanya, pada setiap hal yang membuatnya merona, wajahnya bisa manteng semerah buah naga.
Kalau sudah begitu, Shafa lebih memilih tidak melakukan kontak mata dan kontak bicara pada Adam yang entah kenapa pagi ini terlihat berlipat-lipat lebih mempesona dari sebelumnya. Nah kan, dari sini saja Shafa tahu, dirinya semakin tak waras.
"Bunda nggak ikut sarapan?" Naura gemas, melihat Shafa yang sedari tadi bolak-balik tapi tak kunjung duduk dan menemaninya sarapan.
Adam mati-matian menahan agar bibirnya tak semakin melengkung melihat wajah Shafa yang salah tingkah.
"Eh. Oh. I-iya... ini, Bunda mau sarapan." Masih menunduk, menarik kursi dan duduk.
"Abi. Bunda. Naura udah selesai. Duluan ya..." setelah diangguki Adam dan Shafa, Naura beranjak, membawa piring dan gelas kotornya ke dapur, mencucinya sesuai dengan apa yang telah Shafa ajarkan padanya. Harus mandiri.
"Kamu tidak sedang berusaha menghindariku kan, Shafa?"
Demi apa, nasi yang sudah dikunyahnya lembut itu ketika ditelan seolah mengeras kembali jadi kerikil. Susah payah Shafa menelannya. "Eh. Eng... Enggak, Mas."
Adam mengulum senyum. Ada gelenyar aneh setiap mendengar Shafa memanggilnya dengan 'Mas'.
Melihat Shafa sudah selesai dengan sarapannya, Adam berdehem. "Ehm. Shaf..." Shafa mendongak, mata lugu Shafa membuat Adam mendadak gagap, "Eng... Anu. Itu... Apakah. Apakah masih sakit?"
Alis Shafa melengkung karena dahinya berkerut. "Sakit? Enggak, Mas. Aku sudah sehat kok."
Oke. Adam serasa ingin menggigiti pinggiran meja saat ini juga. "Bukan sakit itu maksudku. Tapi... Ah sudahlah. Ayo berangkat." Adam berdiri. Nyalinya sudah rontok untuk bertanya lebih frontal.
"Eng...."
Adam urung untuk langsung beranjak. Menunggu Shafa melanjutkan bicara.
"Eng... Aku pake motor aja, Mas."
Adam mendengus. Bola matanya sudah berputar. "Jangan bilang kamu lupa. Subuh tadi aku bilang kalau hari ini aku ikut denganmu. Mobil kan lagi dipinjem Ihsan untuk berangkat agenda Rohis kampus ke Samarinda."
Shafa nyengir. "Oh iya, Mas. Maaf."
"Ya udah, yuk. Kan harus antar Faiz ke tempat Hassan dulu."
"Eng..." takut-takut Shafa berucap, "Faiz biar aku bawa aja ya, Mas. Nanti aku titip Maryam di kontrakan kalau pas aku bimbingan. Boleh nggak, Mas?"
Dahi Adam berkerut. Tapi tak lama. "Selama kamu yakin bisa dan Faiz baik-baik aja aku izinkan."
Shafa mengangguk riang. "InsyaAllah, Mas. Maryam juga sering kok dititip anak ustadzah. Aku juga paling bimbingan nggak sampe sejam."
"Oke. Jadi. Aku jemputnya di kontrakanmu nantinya?"
"Iya, Mas."
♡♡♡
"Sudah?" Adam melirik Shafa di belakang, di boncengannya. Mereka masih di halaman sekolah Naura, sementara Naura baru saja mereka turunkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SECOND CHANCE
Spiritual#1 Inspiratif (08-08-2018) ...... Dalam takaranku, kami bahagia... Delapan tahun menikahinya dengan dianugerahi dua orang buah hati yang lucu membuatku merasa sempurna. Bagiku, aku telah memenuhi hak kedua buah hatiku, yakni menjadikan mereka terla...