Duk duk duk!!
Pintu kamar Shafa tak lagi diketuk, melainkan digedor dari luar. Sepertinya, seseorang di luar benar-benar akan mendobrak pintu kamar tersebut bila semenit saja Shafa abai.Shafa yang sedang leyeh-leyeh membaca buku di atas tempat tidur pun terlonjak dan langsung melompat membuka pintu. Suara gedoran di pintunya boleh jadi memang dapat meruntuhkan daun pintu. Hanya saja bukan itu yang dikhawatirkannya, melainkan bangunnya Maryam, teman di sebelah kamarnya yang terbiasa tidur selepas Isya. Yang bila terganggu tidurnya bisa mengeluarkan kata-kata ajaib yang pedasnya seperti lada dicabein, apalagi disaat jam masih menunjuk angka sepuluh, jauh dari target bangunnya.
"Ya Allah Ayla! Kamu mau ngerontokin pintu kamarku ya?" Gerutu Shafa, melihat sosok Ayla yang berdiri dengan masih mengenakan setelan seragam bimbel tempatnya mengajar, wajahnya tak ramah, atau... sedang berusaha untuk tidak tersenyum tepatnya.
"Hmmm..." Ayla bersedekap, berjalan acuh masuk ke dalam kamar Shafa. "Bagus ya kamu, Shafa Khumaira, begini ternyata yang kamu bilang kita bersaudara. Sudah berapa abad sih kita kenal?" Ayla sengaja menyemburkan kalimat-kalimat penuh penekanan di beberapa kata, bernada ambigu yang sukses memancing kerut-kerut heran di kening Shafa. Kalimat hiperbolanya pun sengaja, agar kalimatnya lebih provokatif.
"Maksudmu apa sih?" Shafa duduk di pinggiran tempat tidurnya. Berhadapan dengan Ayla yang lebih dulu duduk di kursi belajarnya, dengan mata menyipit tajam, seperti singa yang mengincar buruan.
"Jadi kamu bener-bener nggak niat buat cerita nih?" Gelagat Ayla semakin ambigu.
Shafa mulai terintimidasi. "Apaan sih, Ay. Kamu dateng-dateng hampir ngerontokin pintu. Terus ini malah ngomong nggak jelas."
Ayla mendelik. "Hei. Ini giliranku yang marah. Kamu nggak ada jatah kali ini."
Shafa tahu, Ayla hanya berlagak marah. Ia tak benar-benar marah. Tampak jelas di matanya. "Jadi... apa maksudmu?" Tantang Shafa.
Ayla mendengus. "Jadi, siapa lelaki itu?"
Shafa ternganga. "Lelaki?"
"Iya. Siapa lelaki yang melamarmu?"
Shafa tergelak. Beberapa kali matanya merem melek. Jadi... "Eh. Oh. Itu... ada, Ay. Kamu kenal kok."
"Aku lagi nggak minat tebak-tebakan. Namanya?"
Shafa menghela napas. Seolah udara yang dihirupnya bercampur air, yang bila dihidu serampangan dapat membuatnya tersedak sendiri. "Pak Adam...."
Wajah Ayla berubah. Kali ini tak berekspresi. Tubuhnya tiba-tiba mengejang. "Aku nggak lagi bercanda, Shaf."
"Berniat mencandaimu pun tidak, Ay."
"Katakan kali ini kamu sedang gegabah dan tidak berpikir panjang...."
"Kamu mengenalku, dan kamu tau bagaimana caraku berpikir."
Ayla mendadak kepayahan bernapas. Ia bingung sendiri, harus bahagia, atau malah miris. "Kamu masih punya kesempatan untuk merevisi keputusanmu kan?"
Shafa tersenyum. Senyum yang susah diartikan. "Masih. Kapanpun aku mau." Shafa berasimilasi dengan tenang, membuat Ayla membatin kagum pada pengendalian diri Shafa. "Sayangnya aku nggak berniat lari dari petunjuk-Nya, Ay. Dan kamu tahu maksudku."
Ayla berjalan mendekat. Duduk bersisian Shafa. Ditariknya tubuh mungil Shafa dalam pelukan. "Kapanpun... kapanpun kamu perlu, bahuku ini masih sangat luas dan kuat untuk kepalamu bersandar."
Shafa terkekeh dengan bahasa Ayla yang terkadang absurd dan kebaper-baperan. Tak ayal, dianggukinya jua tawaran Ayla sebelum mereka mengurai pelukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SECOND CHANCE
Spiritual#1 Inspiratif (08-08-2018) ...... Dalam takaranku, kami bahagia... Delapan tahun menikahinya dengan dianugerahi dua orang buah hati yang lucu membuatku merasa sempurna. Bagiku, aku telah memenuhi hak kedua buah hatiku, yakni menjadikan mereka terla...