Labil (?)

4.3K 306 35
                                    

Assalamu'alaikum...
Selamat membaca... jangan ragu sampaikan kritik dan sarannya ya shalih/ah....

♡♡♡♡♡♡♡

"Bapak nggak bisa melakukan ini pada saya."

Adam hanya beberapa kali menghela napas panjang menghadapi mahasiswi yang mulai kehilangan kontrol emosi dan yang menggagalkan rencana Adam untuk mengajak Shafa makan siang. Ah, memikirkannya Adam jadi pening... bagaimana mungkin istrinya itu telah merasa baik-baik saja dan ngeyel untuk ngampus lagi setelah apa yang terjadi kemarin.

"Ini nepotisme. Saya kira bapak cukup profesional dalam menyikapi masalah ini... ternyata dugaan saya salah." Ada nada kecewa yang di dramatisir.

Adam tertawa dalam hati. Wajahnya tetap datar dan sulit diartikan. "Mohon ingatkan. Masalah mana yang Anda maksud saudari Dilla?" Adam meilirik jam digital di sudut mejanya. Satu jam lagi sebelum waktu makan siangnya habis. "Masalah tentang kliping berita yang Anda tempel di mading yang melibatkan istri saya..." Adam menekankan kata terakhirnya. Momentum perdana menyebutkan tanda kepemilikannya di sekitar kampus. "Atau tentang alasan Anda melakukannya?"

Dilla merasa arah pembicaraannya berbelok dari niat awalnya menghadap dosen super dingin ini. "Apa maksud bapak?"

Adam berdehem. "Yah... barangkali sisa-sisa dendam itu masih bersisa. Karena merasa belum cukup membuat Shafa terjatuh." Menguak latar belakang mahasiswi bimbingannya bukan hal yang sukar untuknya.

Deg.
Dilla mengernyit, mulai gelisah. "Apa saya salah? Bila menganggap bahwa saat ini saya sedang berhadapan dengan seorang suami yang sedang marah. Bukan pada seorang dosen pembimbing."

"Saudari lupa atau bagaimana? Kalau sedang menghadap di jam istirahat saya?" Ekor mata Adam menangkap kedongkolan Dilla. Ingin menangkis, tapi semua kata tertahan dibibirnya. "Saya tahu. Saudari adalah mahasiswi yang cerdas. Tapi saya menyayangkan, bahwa saudari tak cukup teliti dalam memilih sasaran."

Kalimat Adam cukup ambigu bagi Dilla. "Bapak merendahkan saya?"

Adam tertawa pelan. "Baiklah. Biar saya perjelas. Sebelum waktu istirahat saya benar-benar habis." Kemudian jemarinya menggeser layar ponsel, membuka kunci, pesan yang di kirimnya via Whatsapp belum dibaca Shafa. "Dari awal... harusnya saudari tahu. Bahwa Shafa hanya korban. Menjadikannya sasaran kemarahan hanya akan membuat Anda tak berbeda dengan ayah Anda."

Dila tersengat. Bagaimana Adam bisa sejauh ini tahu tentang dirinya....

Adam sendiri, merasa dirinya melampaui batas sebenarnya. Sebelumnya ia tak pernah seliar ini dalam menekan seseorang. Tapi, entah kenapa, membela istrinya cukup realistis untuk dijadikan alasan. "Biar bagaimanapun. Harusnya saudari tahu. Bahwa Shafa hanya korban. Dan tak ada secuil pun hal yang dapat membenarkan apa yang telah ayah Anda lakukan."

Adam melepas kancing kemeja di pergelangan tangan. Hanya untuk mengalihkan sesak saat membayangkan tentang kejadian tujuh tahun silam. "Jadi, bila kemudian ayah Anda masuk bui dan Anda menanggung malu karena harga diri keluarga hancur. Itu bukan salah Shafa. Yang bahkan tak tahu latar belakang Anda dan ayah Anda, orang yang tidak hanya menjatuhkan harga dirinya, tapi memberikan efek trauma sepanjang hidupnya." Lalu Adam bersandar. Sedapat mungkin mengontrol diri. "Oh. Atau Anda harus merasakan menjadi korban percobaan pemerkosaan dulu untuk dapat merasakan apa yang istri saya rasakan?"

Oke. Yang terakhir itu Adam benar-benar lepas kendali. Ia seperti gadis PMS yang tersulut. Kepalanya kembali pening. Dilla sudah cukup tak berdaya dibuatnya, kicep dan shock.

♡♡♡

"Hallo, Mas. Assalamu'alaikum."

Nyess...
Segayung air es mengguyur kepalanya yang seperti berasap. Padahal, yang didengarnya hanya suara Shafa di telpon. Dilla sudah keluar dari bilik kerjanya sepuluh menit lalu sebelum Shafa meneleponnya.

SECOND CHANCE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang