Mission (2)

4.4K 278 30
                                    

"Aku serius, Mas. Aku rela dia jadi maduku."

♡♡♡

Hari ini tak biasa. Jangan salahkan harinya, karena semua hari itu baik. Jangan salahkan pula pada langit yang seperti tak lelah memerah awan jadi hujan hingga subuh hampir menjelang, karena selalu ada keberkahan di setiap tetes air hujan. Tapi yang membuatnya tak biasa adalah suasananya, hal yang tak kasat mata tapi mudah dirasa. Sebabnya jelas, ucapan seringan bulu yang di sampaikan Khansa di penghujung malam.

Adam memang tipikal suami yang sangat handal dalam pengendalian diri. Nyaris tak bisa marah, dirinya seperti terbentuk dari bongkahan es. Ekspresinya terlalu dingin, kaku dan hmmm... irit. Hingga sepertinya marah tidak termasuk dalam koleksi ekspresinya.

Terlebih, dari awal ia tahu, bahwa dirinya dan istrinya ibarat dua sisi daun pintu. Satu sisi diukir bercorak, sisi belakangnya polos. Kalau tak sepaham dan sevisi, maka mana bisa mereka membuat sebuah ruang khusus yang dinamakan barokah.

Tapi kalimat itu, "Aku serius, Mas. Aku rela dia jadi maduku." Terlalu mengusik pertahanan Adam, hingga sukar untuk diacuhkannya, alih-alih ditepis.

Delapan tahun membersamai seorang Adam. Sedingin-dinginnya seorang suami, sebuah adaptasi yang berjalan hitungan bertahun-tahun pasti akan membuat siapa saja mengerti. Seperti Khansa pada Adam.

Khansa hafal, kebiasaan Adam untuk menghindar dari sekedar memarahinya atau dibeberapa kesempatan memang sedang enggan membagi masalah. Seperti malam ini, ia melarutkan diri mengulang hafalannya dengan suara yang sedikit lebih dinyaringkannya. Pertanda ia sedang berkeras mengusir kecamuk di pikiran.

Padahal normalnya, setelah tahajjud ia akan menemani Khansa menengok kedua buah hati mereka. Sekedar mendampingi Khansa memberikan ASI. Kemudian mengisi keheningan dengan saling setor hafalan.

Tapi ketika menjelang Subuh sosok Adam tak jua menyembul dari balik pintu. Khansa sudah paham....

"Mas..." desisnya, hampir serupa desau angin yang tertahan. Habis pula komprominya untuk mendiamkan suaminya lebih lama. Komprominya memang selalu minimum untuk tidak berbicara pada Adam. Dengan nyali yang masih bersisa, suaranya berhasil menahan langkah Adam tepat selangkah di depan pintu rumah mereka.

Adam memang tak memasang wajah garang. Ia pun masih pasrah dilayani Khansa sepagian ini, tapi jelas Khansa tahu bahwa suaminya sedang 'tidak biasa-biasa' saja.

Adam berbalik. Bersitatap dengan mata pekat istrinya.

"Maaf, Mas... Maaf, aku cuma___" satu telunjuk Adam mendarat tepat di ujung bibirnya, membuat sisa kalimatnya tertahan di tenggorolan. Batal keluar.

"Kita cukupkan bahas itu. Nggak usah lagi. Oke?"

Mata Khansa membulat. Benar-benar melihat keengganan di kalimat Adam. Ia pun mengangguk pasrah.

"Abi!" Sebuah teriakan menyentak Adam dan Khansa. Perhatian mereka terpusat ke seorang bocah yang menyembulkan kepalanya di jendela mobil. "Ayo buruan, Naura nanti telat."

Adam mengangguki seruan putri kecilnya. kemudian berbalik sebentar ke Khansa. "Kami berangkat. Assalamu'alaikum."

♡♡♡

"Abang!" Pekikan Shafa sukses membuat sesosok lelaki yang tengah berdiri menyander sembari memainkan ponsel canggihnya tersentak hebat. Beruntung refleks tubuhnya masih baik, jadi ia tak sampai melempar ponsel canggihnya.

"Ngapain disini?"

Yang ditanya malah nyengir tanpa dosa. "Mampir. Sekalian mau ngajakin kamu lunch." Tangannya bergerak posesif, merangkul bahu sang adik.

SECOND CHANCE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang