Rumah

4.4K 278 31
                                    

Membiasakan.
Terbiasa.
Terpaksa biasa.
Harus bisa biasa.
Bisa biasa saja.
Pada kehilangan...
(ADAM-SHAFA)

♡♡♡

Adam baru merampungkan dua rakaat shalat Dhuhanya, saat didengarnya tempat tidur Shafa berdecit. Segera Adam mengakhiri wiridnya, dilipat dan disampirkan sajadah yang dipinjamnya dari Hassan dengan asal di bahu sofa rumah sakit.

Dipandanginya Shafa yang terbaring, kedua matanya bergerak-gerak, nafasnya tak seteratur beberapa waktu lalu.

"Shafa?" bisik Adam. Lembut dan menuntut. Menuntun Shafa untuk bangun, barangkali Shafa tersesat dalam tidurnya.

Jemari Shafa bergerak, disusul matanya yang terbuka pelan, susah payah beradaptasi dengan sinar yang berton-ton menerjang retinanya.

Demi seluruh jiwa dalam genggaman-Nya, Adam tak pernah merasa selega ini ketika melihat ekor mata Shafa begitu hidup dan tepat menatapnya. Rona merah di wajah Shafa memudarkan warna kulitnya yang sempat pucat pasi. "Alhamdulillah ya Allah..." Dikecupnya dahi Shafa dengan bahagia.

"Mas... Adam...."

Adam mengangguki suara lemah dan serak Shafa. "Iya. Aku di sini. Apa yang kamu rasakan?"

"Haus...."

"Oh..." Tangan Adam bergerak cepat meraih sebotol air mineral dan sedotan. Lalu membantu menopang kepala Shafa, "Minumlah... Bismillah...."

Shafa mengangguk pelan, memberi isyarat cukup. "Mas... Ba__"

"Ssstt... Jangan banyak bicara dulu ya. Aku panggil dokter untuk memeriksamu."

♡♡♡

"Gimana, Dok?" Adam menyongsong dokter Rika, detik setelah pintu ruang rawat Shafa terbuka.

"Alhamdulillah semua normal. Kondisi ibu Shafa juga dalam keadaan baik. Hanya saja...."

Adam waspada. Ada sekelumit kekhawatiran dirasanya.

"Keguguran tentu akan mempengaruhi sisi pgikologisnya. Ibu Shafa tentu sangat membutuhkan dukungan penuh dari keluarga dan lingkungannya. Itu sangat berarti untuk mengembalikan kepercayaan diri ibu Shafa...."

Mendadak, seperti ada sesuatu yang menyumbat dada Adam. Sesak. Kalau dirinya saja sudah sedemikian merasa kehilangan bayi yang bahkan belum genap sebulan diketahuinya, apalagi Shafa. "Baik, Dok. InsyaAllah kami akan selalu mendampinginya. Terimakasih..." Adam menangkupkan kedua tangannya di depan dada saat dokter Rika mengangguk dan pergi.

Adam menghela udara, ia harus tampak baik-baik saja untuk menguatkan Shafa. Diputarnya handle pintu. Dan membekulah Adam melihat Shafa terbaring meringkuk memeluk tubuh, membelakangi dirinya dengan bahu rapuh yang naik turun, sesegukan tanpa suara. Sekeras itukah kemauan Shafa untuk menikmati rasa sakitnya sendiri.

Adam menguatkan dirinya. Melangkah mendekat, disentuhnya bahu Shafa. Seketika, tubuh Shafa kaku. "Shafa...."

Adam membalik tubuh Shafa. Menarik Shafa dalam dekapannya. Memahamkannya, bahwa ada bahu yang siaga untuk dijadikannya sandaran. Dan benar saja, tangis yang sebelumnya setengah mati ditahannya, kini luber lagi. Shafa menangis, terisak, sesegukan.

"Hiks. Hiks. Dia pergi, Mas... Hiks. Hiks.Dia meninggalkanku... Aku gagal jadi ibu. Allah mengambilnya. Hiks. Hiks."

Adam tertegun. Ngilu hatinya. Dieratkan dekapannya. Dibenamkannya kepala Shafa dalam dadanya. Dikecupnya berkali-kali puncak kepala Shafa. Begitulah, disaat seseorang sudah kepalang hilang kata-kata, perlakuan manis kadang dapat menjadi penguat. Saat ini, Adam hanya ingin Shafa membagi lukanya.

SECOND CHANCE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang