"Naura mau sekolah diantar bunda ya, Bi." Naura merengek tepat saat Adam menggandengnya menuju garasi.
Adam melenguh. Lelah. Sejak seminggu kepulangan Shafa ia kurang tidur dan jadwal yang harus direvisi mendadak, membuat dirinya cukup kepayahan menata emosi dan kocar-kacir menyusun kesabaran. Dua hari putrinya absen dari sekolah, merengek berujung tangis saat dipaksa untuk sekolah. Alibinya, ingin bersama bunda. Sementara, Adam sendiri harus cerdik mengambil cela waktu untuk membuat soal-soal ujian bagi mahasiswanya.
Sekali lagi adam melenguh, memejamkan mata sejenak sebelum jongkok menyejajari putrinya. "Bunda kan lagi sakit. Jadi, bunda harus istirahat di rumah...."
"Abi bohong! Bunda bilang kalau bunda udah nggak papa...."
Adam terkesiap. Belum sempat disahutinya, Naura sudah kembali berlari ke dalam. Menuju kamar di dekat tangga, kamarnya sejak Shafa diizinkan untuk pulang. Terlalu riskan bila mereka tetap menempati kamar utama di lantai dua.
Adam melirik pergelangan tangannya. Dalam sepuluh menit, kalau tak jua berangkat, Adam memastikan dirinya akan telat untuk mengajar.
"Naura!!" panggilnya, menyusul Naura. Putri kecilnya yang berseragam batik sekolah islam terpadu itu malah glendotan di sisi Shafa yang tampak kebingungan. Drama pagi, lagi.
"Lho. Lho... Kok udah rapi gini nggak jadi berangkat?"
Sebagian kesuntukan Adam longsor seketika, dielus-elus oleh suara Shafa yang terkekeh mengusap Naura.
"Naura nggak mau dianter abi. Naura maunya dianter bunda..." rengeknya, kadar manjanya berlipat-lipat dari saat merengek pada Adam.
Shafa melirik Adam. Adam mengangkat bahunya sedikit. Lalu duduk menyusul Naura, di sisi tepat tidur.
"Naura... Bunda memang sudah sehat. Tapi bunda harus tetap istirahat buat jagain dede bayi yang masih di dalam perut bunda."
Shafa tersenyum getir. Diliriknya Adam yang tengah bernegosiasi dengan Naura.
"Jadi, dede bayi di perut bunda yang sakit ya, Bi?"
Adam terkekeh kecil dan menganggu. "Kalau bunda capek dan jalan-jalan, nanti dedenya yang sakit. Naura mau?"
Naura menggeleng cepat. Lalu bergerak cepat turun dari tempat tidur. "Ya sudah. Naura diantar abi aja. Yuk, Bi."
Adam dan Shafa mengulum tawa. Lalu diusapnya kepala Shafa yang mendadak terduduk tegak dan kaku. "Jangan coba beralih dari tempat tidurmu. Mama masih di tukang sayur sebentar. Dan aku akan pulang dua jam lagi."
Izinkan Shafa untuk merasa diperhatikan. Sepagian ini saja sudah beberapa kali Adam menitahkannya untuk tidak beralih dari tempat tidur. Gilanya, Shafa justru merasa seperti remaja puber yang sedang digombali setiap mendengarnya.
"Shaf...."
"Eh? Ya?"
"Mengangguklah."
"Oh..." Shafa mengangguk cepat. "Iya...."
Adam tersenyum. Seperti ketika terjebak ditengah terik matahari, lalu senyum Adam itu seperti pohon rindang yang sejuk dan meneduhkan. Dimana akan selalu ingin terus bernaung dibawahnya. Tapi mungkin hanya Shafa yang seberlebihan itu.
♡♡♡
"Mau kemana?"
Shafa membeku dalam gerakannya. Terduduk di sisi tempat tidur dengan satu kakinya yang sudah menjuntai ke bawah.
Aura di sekeliling Shafa mendadak horror. Terlebih saat Adam berjalan mendekat.
"Oh... Emm. Aku mau ke kamar mandi."
![](https://img.wattpad.com/cover/68952390-288-k118035.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SECOND CHANCE
Espiritual#1 Inspiratif (08-08-2018) ...... Dalam takaranku, kami bahagia... Delapan tahun menikahinya dengan dianugerahi dua orang buah hati yang lucu membuatku merasa sempurna. Bagiku, aku telah memenuhi hak kedua buah hatiku, yakni menjadikan mereka terla...