10 menit

4.2K 262 13
                                    


Happy Reading.....
ヽ('▽`)/

♡♡♡

Shafa benar-benar merutuki kecerobohannya kali ini. Hal langka, karena ia nyaris terlalu teliti dalam segala hal. Terlatih mengurus diri sendiri sedari remaja membuatnya lebih bisa mengatasi kecerobohan. Bahkan untuk urusan manajerial, boleh jadi Shafa bisa diandalkan. Karena ia terbiasa to do list, yah, sebagai manusia yang selalu dekat dengan sifat lupa membuatnya meminimalisir hal tersebut dengan membuat sebuah list kegiatan di sebuah agenda kecil yang selalu ia bawa ke mana-mana, yang terkadang membuatnya lebih berharga dari pada dompet atau ponselnya.

Dan hari ini, hanya karena kemampuan tubuhnya kepayahan dalam mengatasi lelah. Ia menghancurkan segala keteraturan yang telah dicapainya. Ia bahkan meninggalkan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya.

Imbas dari kecerobohannya itulah yang membuatnya harus berlari secepat yang ia bisa, dengan langkah selebar mungkin hingga roknya harus berirama 'sruk-sruk-sruk' dalam setiap langkahnya. Dua hal yang selalu menjadi perhatiannya selain jalanan koridor adalah jam tangannya yang detiknya bergerak tanpa kompromi, setengah jam menjelang maghrib.

Baru kali ini Shafa merasa jarak antara parkiran motor dengan laboratorium Fisika yang menjadi tujuannya jauhnya seperti Kutub Utara dan Selatan. Ah, entahlah....

Tap tap tap.
Shafa bahkan tak berniat meredam suara langkah kakinya. Ruangan yang ditujunya sudah di ujung mata dan... ternganga. Shafa benar-benar ternganga melihat ruangan itu sudah tertutup rapat. Dengan pintu utama plus pintu bertralis besi yang mengokohkannya.

Harapan terakhirnya hanya... ruang dosen. Sekuat tenaga batinnya merapalkan doa, berharap dosen penanggung jawab laboratorium yang baru itu masih ada di sana. Sekalipun sangat teramat begitu kecil kemungkinannya. Nyaris ke 'tidak mungkin' bahkan.

Kaki Shafa sudah berasa kebas saking berlari tanpa jeda. Tapi ia bersyukur, setidaknya usahanya membuahkan hasil. Sosok yang diharapkannya sedang berjalan keluar dari ruang dosen, menenteng berkas dan sebuah tas laptop. Tanpa pikir panjang Shafa langsung melesat mendekat.

Sosok itu berbalik, suara tapak kaki Shafa rupanya menarik perhatian beliau.

Shafa berhasil menghentikan langkahnya tepat di hadapan lelaki berkemeja biru donker yang lengannya dilipat hingga siku itu. "Hahhh... hhh... hh... Assalamu'alaikumhh...hh..hh." Shafa terengah-engah. Dadanya naik turun mengatur napas.

"Wa'alaikumussalam," jawab lelaki itu. Dahinya berkerut heran.

"Mohon maaf mengganggu waktu bapak. Saya mahasiswa yang sedang penelitian di lab Fisika. Apakah saya bisa meminjam kunci lab sebentar saja, ada barang saya yang tertinggal di sana..." terang Shafa, setenang mungkin. Tapi enggan memelas. Jelas itu bukan dirinya.

"Besok saja. Kamu datang lebih pagi."

Shafa menelan ludah. Tidak-tidak. Ia harus mengambilnya hari ini. Besok? Terlalu beresiko. Bagaimana kalau justru ditemukan orang lain lebih dulu?!  Tapi sosok itu sudah berbalik dan akan melangkah pergi. "Sekali lagi mohon maaf, Pak. Sepuluh menit. Hanya sepuluh menit saya memohon waktu bapak. Saya akan mengambilnya dengan cepat. InsyaAllah."

"Apa yang tertinggal? Ponselmu?"

Shafa semakin menundukkan kepalanya. "Bu... bukan, Pak. Yang tertinggal itu... Eumm. Diary saya..." Aaargh. Shafa seperti sedang mencekik dirinya sendiri ketika mengucapkannya. Ia menyesali pilihannya sendiri, karena tiba-tiba pagi tadi memasukkan diary kesayangannya itu ke dalam tas.

"Saya kira, kebanyakan mahasiswa tingkat akhir lebih suka membawa buku referensi daripada diary."

Jleb.
Suara itu... datar, dingin, nyaris tanpa ekspresi. Tapi hal itu benar-benar ampuh menyindir Shafa.

SECOND CHANCE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang